Refleksi Pasca Nobar Film “Kartini”
Film ini menjelaskan tentang
kesadaran gender dan kebebasan berfikir. Seorang putri keturunan bangsawan yang
diharuskan hidup dengan budaya dan tradisi yang mengekang perempuan untuk tak
berbuat lebih dari yang dia bisa. Menuruti adat dan kebiasaan, bahwa tugas
perempuan tak lebih dari mengurus rumah. Tapi, kesadaran itu muncul bagi
seorang Kartini (diperankan Dian Sastrowardoyo) dan kedua saudaranya, yakni
Kartina (diperankan Ayushita) dan Roekmini (diperankan Acha Septriasa). Mereka
bersama berusaha mendobrak pemikiran kuno tersebut, tentang perempuan yang
perlu dan wajib mengecam pendidikan, tentang kebebasan berpendapat, dan tentang
kesetaraan gender.
Yang menarik lagi dari film
ini adalah, dijelaskan di dalamnya mengenai sebuah ayat Al-Qur'an oleh seorang
ulama’ tersohor yakni Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang (lebih dikenal
dengan sebutan Kyai Sholeh Darat) yang kemudian menjadi pelopor penerjemah Al-Qur'an. Beliau adalah guru para ulama besar di
indonesia diantaranya: KH. A.Dahlan (pendiri muhamadiyah) KH. Hasyim Asyari
(pendiri Nahdlatul Ulama NU). Ayat Al-Qur;an yang dimaksud adalah surat
Al-Fatihah, yang mana maknanya belum diketahui sama sekali oleh Kartini. Setelah
mendengarkan pengajian yang disampaikan Kyai Sholeh tersebut, Kartini menjadi
tertarik untuk mempelajari makna Al-Qur’an dengan bahasa jawa yang selama ini
dilarang. Dengan begitu ia sadar akan sesuatu yang selama ini dilarang adalah
tidak baik dan menjadi ancaman bagi bangsa sendiri, yakni mengenai kitab suci
yang dibaca namun tak diketahui maknanya. Secara tidak langsung pada saat itu
Kartini sudah jadi sekuler dan penganut Feminisme.
Selain itu juga tentang ayat
yang pertama kali diturunkan ke bumi, yakni "Iqro' bismirobbikalladzi Kholaq"
yang artinya "Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Menciptakan".
Dari ayat ini kita diperintahkan untuk membaca, tidak hanya sebatas membaca
tulisan, tetapi juga membaca hal lain, seperti membaca situasi, membaca kondisi
lingkungan, membaca keadaan masyarakat, dan membaca yang lain, dalam artian
kita sebagai manusia berakal dituntut untuk peka terhadap permasalahan sosial
dan peduli sesama. Dalam ayat tersebut tidak disebutkan bahwa yang
diperintahkan untuk membaca tidak hanya berlaku bagi kaum laki-laki, tapi
semua, baik itu bagi perempuan, kaya ataupun miskin. Yang kemudian ayat ini menjadi
motivasi Kartini dalam memperjuangakan feminisme. Dari sini kita mengetahui
bahwa peran tidak diklasifikasikan berdasarkan gender, melainkan semua setara
dan berhak atas pendidikan, kehidupan dan kebebasan berfikir.
Yang perlu kita sadari adalah
bahwa perjuangan di masa lampau adalah bentuk kepedulian para tokoh pejuang
terdahulu untuk memberikan kehidupan yang setara baik di kehidupan masa lampau,
juga bagi kita di masa sekarang. Sebagai generasi penerus, kita dituntut untuk
melek sejarah dan membuktikan bahwa perjuangan feminis yang telah dilakukan
sebelumnya tidak akan sia-sia di masa sekarang. Terutama bagi perempuan
Indonesia. Kita memang perlu patuh dan menjaga tradisi, tapi kita harus lebih
bebas dalam berfikir dan menentukan sikap, seperti dalam hal menghadapi
globalisasi, medernisasi dan segala macam perubahan dunia, baik dalam dunia
pendidikan maupun dalam menghadapi revolusi teknologi, khususnya media
komunikasi dan informasi yang semakin hari semakin canggih. Banyak efek yang
termaksud di dalamnya, baik itu efek negatif atau efek positif. Selain itu,
pemanfaatan yang baik atas perubahan tersebut juga perlu dilakukan, sebagai
bukti bahwa feminisme ataupun kesetaraan gender itu memang pantas
diperjuangkan.
Kita, Kartini modern itu ditunggu aksinya, buktinya dan ensesinya. Perjuangan Feminisme sudah usai. Bukan lagi tentang berkobar menegakkan kesetaraan, tapi waktunya mempertahankan dan mmemperkokoh kesetaraan tersebut, biar tak jadi sia-sia, lalu mati begitu saja, kemudian kembali ke penindasan semula, dan kita tak lebih dari sekedar generasi payah. Maka, jadilah Kartini yang tangguh terhadap segala hal, dalam semua kondisi, dan segala macam perubahan. Karena sesungguhnya telah terwarisi darah Kartini bagi diri kita, perempuan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar