Sebuah Cerpen
“But
when we first met
I
got so nervous I couldn't speak
In
that very moment
I
found the one and
My
life had found its missing piece”
Kamar ini
lenggang, juga wangi. Hanya dengan semalam, kapal pecah itu berubah laiknya
kamar seorang tuan putri kerajaan megah pada suatu istana di tengah desa. Serba
putih dan hanya ada bunga berserahkan di sana-sini. Aku termangu duduk di depan
kaca. Tapi merunduk, gemetar dan penuh resah. Ada ketakutan mencekam, tapi juga
ada bahagia yang memeluk erat. Aku beranikan diri menatap wajahku pada kaca. Dan
tak kutemui diriku di sana. Yang ada hanya seorang wanita cantik yang parasnya
sudah berbalut bedak dan segala macamnya. Bibirnya merah kalem, bulu matanya
lentik melengkung, lensanya tak kalah mencolok. Pipinya merah merona, rambutnya
terikat berpola, menambah legit parasnya. Aku coba menyapanya, kuberi ia
senyuman. Kemudian ia pun mengembalikan senyum padaku. Terlihat giginya putih.
Semakin gelis pula dia.
Tiba saja pintu
kamar terbuka, ternyata ibu yang berdiri di balik daun pintu itu. Tersenyum. Ia
mengenakan kebaya merah muda dengan rambut bergelung, sangat cocok dengan
wajahnya yang tenang. Menghampiriku, ada sebuah album keluarga dipegang oleh
kedua tangannya. Semakin mendekat dan kini tepat dihadapanku. Meraih tubuhku,
dipeluknya perlahan dan dikecupnya keningku. Tiada kata, dan ruangan ini tetap
lenggang.
Kemudian ia
duduk, membuka album keluarga berwarna biru yang ada di kedua tangannya. Lembar
perlembar ia pandangi lamat-lamat. Ada foto pernikahannya dengan suaminya di
sana. Masa-masa pengantin baru masih menghiasi halaman selanjutnya. Dibaliknya
terus perlahan. Lalu berhenti pada sebuah potret gadis kecil yang menggunakan
gaun mewah bak pengantin cilik. Lengkap dengan sanggul dan bungga hias di tangannya.
Tersenyum manja dan masih lugu. Sangat lucu.
“Kau masih ingat
saat ini ?” tanyanya membuka obrolan.
“Iya bu, aku
jelas mengingatnya. Itu aku saat mengikuti karnaval di sekolah dasar dulu”
jawabku gamblang begitu saja.
“Gadis kecil ibu
sekarang sudah dewasa” kemudian ia menatapku penuh sayang. “Dulu ia mengenakan
gaun pengantin untuk menghadiri karnaval di sekolahnya, dan sekarang ia
menggunakan gaun pengantin lagi, untuk menjadi mempelai yang sesungguhnya.” Air
matanya meronta jatuh, tapi tertahan di kelopak mata.
Serasa ada yang
menyambar hati, merangkul erat seluruh dan segala perasaan yang seketika tiada
artinya. Perasaannya mungkin lebih mengharukan.
“Ibu tahu kau
sudah saatnya jalan sendiri, tapi ibu akan selalu membuka pintu lebar-lebar
sebagai tempatmu kembali nduk. Kamu akan jadi tanggung jawab penuh lelaki yang
hendak meminangmu nanti, sebentar lagi …”
“Ibu …” aku
memotong kalimatnya. Tak kuasa menahan ruah air mata, hujan pun turun di
mataku, dan mata ibu. Aku memeluknya erat.
“Eeeh, calon pengantin
kok menangis, nanti bedaknya luntur nduk. Tuh lihat ..” ia menunjuk kaca,
kemudian melanjutkan kalimatnya “sudah dandan cantik masak nangis. Gadis ibu
yang suka nangis saat dulu terjatuh masak harus menangis lagi, ini momen
bahagia Era. Hidupmu akan naik satu level, dan kau pasti sudah tahu itu.
Semakin tinggi pohon, maka semakin kencang pula angin yang menerpa.”
Kalimat
terakhirnya bak pecut yang menyambar dari langit. Seperti akan ada perang hebat
yang hendak aku alami. Atau perjalanan panjang dengan berbagai rintangan tak
terduga. Aku tahu ini pernikahan, tidak akan hanya ada bahagia. Bukan semata
perwujudan cinta. Tak ada apa-apanya dibanding realita. Ancaman dan
kekhawatirannya serasa lebih besar dibanding sekedar janji kebahagiaan semata.
Semuanya akan
sepenuhnya jadi tanggungjawab pribadi. Mulai dari membuka mata hingga
menutupnya kembali. Senja mungkin akan masih terlihat indah di hari-hari
pertama, tapi tidak pada tahun selanjutnya. Itu yang mereka katakan.
“Jangan samakan
persepsi orang lain dengan definisimu sendiri Era, setiap orang punya nasib dan
takdirnya masing-masing. Mereka seperti dan mengatakan serupa karena mungkin
ada yang kurang beres dengan apa yang mereka alami.” Kalimatnya berlanjut
seolah mendengar gundahan yang tengah bercengkrama sendiri dalam hatiku.
“Kau punya kisah
cinta yang unik, kamu sendiri yang menyimpulkannya kan. Dan dengan begitu kau
menemukan kembali Afimu. Ibu sangat yakin, pernikahanmu tak semenakutkan kisah
orang lain. Kamu dan lelaki itu, bukan orang yang biasa. Pemahaman kalian lebih
dari biasa.”
Kembali
lenggang, kami saling memandang.
Tiba-tiba ada bi
mariyem memecahkan keheningan, ketukannya lembut pada pintu, tapi mampu
membuyarkan pandangan kita masing-masing.
“Acaranya sudah
mau dimulai bu, non”
####
Gaun putih ini
melekat penuh menyelimutiku. Aku melangkah penuh pasti. Ini hari yang pernah
aku impikan, mana mungkin akan aku hancurkan begitu saja. Ibu masih setia di
sampingku. Semua mata tertuju padaku, seakan terpesona dan turut merasakan
kebahagiaan.
Ada dua lelaki
hebat telah berdiri di depanku, menatap penuh menanti kedatanganku. Aku tahu
pasti siapa mereka. Satunya seorang laki-laki hebat yang tak pernah sekalipun
membuat aku menangis, dan tak akan pernah membuatku menangis. Yang selalu
berusaha penuh, mengucurkan begitu saja peluhnya tanpa keluh demi segalanya
terbeli untukku. Yang tak akan diam saja melihat aku terjatuh, uluran tangannya
selalu mendahului tak mau tersekiankan mendekapku, memberdirikan lagi kakiku
yang terkadang lelah dan terjatuh di tengah perjalanan.
Yang satunya
lagi, seorang lelaki hebat pula yang membuat aku menangis di awal perjumpaan.
Membuatku tersungkur pilu karena segala rasa. Menanggung rindu yang tak kunjung
bertepi. Dan kemudian membuat aku terpaksa berdiri dengan sendiri, melawan
emosi dan seluruh sangka. Membuatku mau tidak mau sadar, merubah segala hal-hal
buruk menjadi positif. Lelaki yang membuatku berubah hampir sepenuhnya hanya
karena sebuah rasa, karena sebuah nama. Yang membuatku jatuh cinta, dan jatuh
cinta lagi, kemudian dan selanjutnya untuk kesekian kali.
Tangan kasar itu
meraih jemariku. Aku melihat binar pada pasang matanya. “Ayah” dalam hati
kumenggumam. Dilihatnya lamat sekali aku, membaca segala yang kurasakan. Ia
menyampaikan kata dalam pandangannya. Ada do’a dan harapan dalam genggamannya.
Seolah ia sedang merayu Tuhan agar hidupku selanjutnya akan tetap dan selalu
baik-baik saja, meski tanggungjawab atas diriku sudah tak lagi sepenuhnya jadi
tanggungannya. Ada lelaki lain yang hendak mengambilalihnya, tapi meski seperti
itu, ia tetap raja yang selalu hidup dan tinggal dalam hati.
Dan pangeran
itu, yang kini berada tepat di belakangku sudah cukup lama menunggu. Kedua
tangan ayah membalikkan badanku. Ia tak berkata apa-apa padaku. Tapi aku seolah
telah mendengar percakapannya dengan Tuhan. Dan kini ia berbicara banyak pada
mempelai pria.
“Jaga dia, buat
dia bahagia” sebuah pesan singkat yang menjelaskan banyak pembicaraan, tersirat
banyak permintaan dan tuntutan.
“Saya berjanji
akan membahagiakannya, lahir dan batin.” Janji suci itu didengar alam, tak
hanya oleh para undangan. Seluruh ruangan jadi membinar, haru dan penuh tenang.
Lelaki itu
meraih tanganku dari tangan ayah. Semenjak saat itulah, ia mengambil seluruh
tanggungjawabnya sepenuhnya sebagai seorang suami. Memandangku penuh kasih,
menggenggamku penuh sayang.
“So as long as I
live I love you, will have and hold you. You look so beautiful in white. And
from now to my very last breath this day I'll cherish” kalimatnya memeluk jiwa.
Hingga mulutku tak mampu menyangga apa-apa. Diam membisu, mengiyakan sepenuhnya
dengan perasaan tak mampu terungkap dengan kata semata.
“You look so
beautiful in white”
*Choirotul Umayah
0 komentar:
Posting Komentar