Rabu, 12 April 2017

Tentang Dua Lelaki

Sebuah Cerpen

“But when we first met
I got so nervous I couldn't speak
In that very moment
I found the one and
My life had found its missing piece”

Kamar ini lenggang, juga wangi. Hanya dengan semalam, kapal pecah itu berubah laiknya kamar seorang tuan putri kerajaan megah pada suatu istana di tengah desa. Serba putih dan hanya ada bunga berserahkan di sana-sini. Aku termangu duduk di depan kaca. Tapi merunduk, gemetar dan penuh resah. Ada ketakutan mencekam, tapi juga ada bahagia yang memeluk erat. Aku beranikan diri menatap wajahku pada kaca. Dan tak kutemui diriku di sana. Yang ada hanya seorang wanita cantik yang parasnya sudah berbalut bedak dan segala macamnya. Bibirnya merah kalem, bulu matanya lentik melengkung, lensanya tak kalah mencolok. Pipinya merah merona, rambutnya terikat berpola, menambah legit parasnya. Aku coba menyapanya, kuberi ia senyuman. Kemudian ia pun mengembalikan senyum padaku. Terlihat giginya putih. Semakin gelis pula dia.
Tiba saja pintu kamar terbuka, ternyata ibu yang berdiri di balik daun pintu itu. Tersenyum. Ia mengenakan kebaya merah muda dengan rambut bergelung, sangat cocok dengan wajahnya yang tenang. Menghampiriku, ada sebuah album keluarga dipegang oleh kedua tangannya. Semakin mendekat dan kini tepat dihadapanku. Meraih tubuhku, dipeluknya perlahan dan dikecupnya keningku. Tiada kata, dan ruangan ini tetap lenggang.
Kemudian ia duduk, membuka album keluarga berwarna biru yang ada di kedua tangannya. Lembar perlembar ia pandangi lamat-lamat. Ada foto pernikahannya dengan suaminya di sana. Masa-masa pengantin baru masih menghiasi halaman selanjutnya. Dibaliknya terus perlahan. Lalu berhenti pada sebuah potret gadis kecil yang menggunakan gaun mewah bak pengantin cilik. Lengkap dengan sanggul dan bungga hias di tangannya. Tersenyum manja dan masih lugu. Sangat lucu.
“Kau masih ingat saat ini ?” tanyanya membuka obrolan.
“Iya bu, aku jelas mengingatnya. Itu aku saat mengikuti karnaval di sekolah dasar dulu” jawabku gamblang begitu saja.
“Gadis kecil ibu sekarang sudah dewasa” kemudian ia menatapku penuh sayang. “Dulu ia mengenakan gaun pengantin untuk menghadiri karnaval di sekolahnya, dan sekarang ia menggunakan gaun pengantin lagi, untuk menjadi mempelai yang sesungguhnya.” Air matanya meronta jatuh, tapi tertahan di kelopak mata.
Serasa ada yang menyambar hati, merangkul erat seluruh dan segala perasaan yang seketika tiada artinya. Perasaannya mungkin lebih mengharukan.
“Ibu tahu kau sudah saatnya jalan sendiri, tapi ibu akan selalu membuka pintu lebar-lebar sebagai tempatmu kembali nduk. Kamu akan jadi tanggung jawab penuh lelaki yang hendak meminangmu nanti, sebentar lagi …”
“Ibu …” aku memotong kalimatnya. Tak kuasa menahan ruah air mata, hujan pun turun di mataku, dan mata ibu. Aku memeluknya erat.
“Eeeh, calon pengantin kok menangis, nanti bedaknya luntur nduk. Tuh lihat ..” ia menunjuk kaca, kemudian melanjutkan kalimatnya “sudah dandan cantik masak nangis. Gadis ibu yang suka nangis saat dulu terjatuh masak harus menangis lagi, ini momen bahagia Era. Hidupmu akan naik satu level, dan kau pasti sudah tahu itu. Semakin tinggi pohon, maka semakin kencang pula angin yang menerpa.”
Kalimat terakhirnya bak pecut yang menyambar dari langit. Seperti akan ada perang hebat yang hendak aku alami. Atau perjalanan panjang dengan berbagai rintangan tak terduga. Aku tahu ini pernikahan, tidak akan hanya ada bahagia. Bukan semata perwujudan cinta. Tak ada apa-apanya dibanding realita. Ancaman dan kekhawatirannya serasa lebih besar dibanding sekedar janji kebahagiaan semata.
Semuanya akan sepenuhnya jadi tanggungjawab pribadi. Mulai dari membuka mata hingga menutupnya kembali. Senja mungkin akan masih terlihat indah di hari-hari pertama, tapi tidak pada tahun selanjutnya. Itu yang mereka katakan.
“Jangan samakan persepsi orang lain dengan definisimu sendiri Era, setiap orang punya nasib dan takdirnya masing-masing. Mereka seperti dan mengatakan serupa karena mungkin ada yang kurang beres dengan apa yang mereka alami.” Kalimatnya berlanjut seolah mendengar gundahan yang tengah bercengkrama sendiri dalam hatiku.
“Kau punya kisah cinta yang unik, kamu sendiri yang menyimpulkannya kan. Dan dengan begitu kau menemukan kembali Afimu. Ibu sangat yakin, pernikahanmu tak semenakutkan kisah orang lain. Kamu dan lelaki itu, bukan orang yang biasa. Pemahaman kalian lebih dari biasa.”
Kembali lenggang, kami saling memandang.
Tiba-tiba ada bi mariyem memecahkan keheningan, ketukannya lembut pada pintu, tapi mampu membuyarkan pandangan kita masing-masing.
“Acaranya sudah mau dimulai bu, non”
####
Gaun putih ini melekat penuh menyelimutiku. Aku melangkah penuh pasti. Ini hari yang pernah aku impikan, mana mungkin akan aku hancurkan begitu saja. Ibu masih setia di sampingku. Semua mata tertuju padaku, seakan terpesona dan turut merasakan kebahagiaan.
Ada dua lelaki hebat telah berdiri di depanku, menatap penuh menanti kedatanganku. Aku tahu pasti siapa mereka. Satunya seorang laki-laki hebat yang tak pernah sekalipun membuat aku menangis, dan tak akan pernah membuatku menangis. Yang selalu berusaha penuh, mengucurkan begitu saja peluhnya tanpa keluh demi segalanya terbeli untukku. Yang tak akan diam saja melihat aku terjatuh, uluran tangannya selalu mendahului tak mau tersekiankan mendekapku, memberdirikan lagi kakiku yang terkadang lelah dan terjatuh di tengah perjalanan.
Yang satunya lagi, seorang lelaki hebat pula yang membuat aku menangis di awal perjumpaan. Membuatku tersungkur pilu karena segala rasa. Menanggung rindu yang tak kunjung bertepi. Dan kemudian membuat aku terpaksa berdiri dengan sendiri, melawan emosi dan seluruh sangka. Membuatku mau tidak mau sadar, merubah segala hal-hal buruk menjadi positif. Lelaki yang membuatku berubah hampir sepenuhnya hanya karena sebuah rasa, karena sebuah nama. Yang membuatku jatuh cinta, dan jatuh cinta lagi, kemudian dan selanjutnya untuk kesekian kali.
Tangan kasar itu meraih jemariku. Aku melihat binar pada pasang matanya. “Ayah” dalam hati kumenggumam. Dilihatnya lamat sekali aku, membaca segala yang kurasakan. Ia menyampaikan kata dalam pandangannya. Ada do’a dan harapan dalam genggamannya. Seolah ia sedang merayu Tuhan agar hidupku selanjutnya akan tetap dan selalu baik-baik saja, meski tanggungjawab atas diriku sudah tak lagi sepenuhnya jadi tanggungannya. Ada lelaki lain yang hendak mengambilalihnya, tapi meski seperti itu, ia tetap raja yang selalu hidup dan tinggal dalam hati.
Dan pangeran itu, yang kini berada tepat di belakangku sudah cukup lama menunggu. Kedua tangan ayah membalikkan badanku. Ia tak berkata apa-apa padaku. Tapi aku seolah telah mendengar percakapannya dengan Tuhan. Dan kini ia berbicara banyak pada mempelai pria.
“Jaga dia, buat dia bahagia” sebuah pesan singkat yang menjelaskan banyak pembicaraan, tersirat banyak permintaan dan tuntutan.
“Saya berjanji akan membahagiakannya, lahir dan batin.” Janji suci itu didengar alam, tak hanya oleh para undangan. Seluruh ruangan jadi membinar, haru dan penuh tenang.
Lelaki itu meraih tanganku dari tangan ayah. Semenjak saat itulah, ia mengambil seluruh tanggungjawabnya sepenuhnya sebagai seorang suami. Memandangku penuh kasih, menggenggamku penuh sayang.
“So as long as I live I love you, will have and hold you. You look so beautiful in white. And from now to my very last breath this day I'll cherish” kalimatnya memeluk jiwa. Hingga mulutku tak mampu menyangga apa-apa. Diam membisu, mengiyakan sepenuhnya dengan perasaan tak mampu terungkap dengan kata semata.
“You look so beautiful in white”

 *Choirotul Umayah

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com