Rabu, 15 Oktober 2014

LOGIKA dan BERFIKIR ILMIAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas berpikir. Dengan berpikir manusia mampu memberi makna bagi realitas yang hadir dihadapan kesadarannya dalam pengalaman dan pengertian. Artinya orang itu benar-benar dikatakan sebagai manusia ketika ia mampu memaknai realitas yang mewujud dihadapannya. Dan mampu memberikan reaksi secara proposional dan professional.
Tujuan langsung dari logika hanya menelaah hal-hal yang berksar pada teknik berpikir yang menjadi milik manusia. Adapun tujuan berpikir lebih lanjut yaitu sebagai tujuan terakhir ialah mencapai kebenaran.
Dengan kata lain ditunjuk sasaran atau bidang logika, yaitu kegiatan pikiran atau akal budi manusia. Dengan berpikir dimaksudkan kegiatan akal untuk “mengolah” pengetahuan yang telah kita terima melalui panca indra, dan ditunjukkan untuk mencapai suatu kebenaran.
Jadi dengan istilah “berpikir” ditunjukkan suatu kegiatan akal yang khas dan terarah. Dengan kata-kata yang lebih sederhana dapat dikatakan berpikir adalah “berbicara dengan diri sendiri didalam batin” (Plato, Aristoteles); mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari berbagai hal yang berhubungan satu sama lain, mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi, serta membahas suatu realitas.
Dengan ini ditunjukkan segi khusus yang diperhatikan dalam logika, yaitu tepatnya pemikiran kita. Suatu jalan yang tepat dan jitu, yang sesuai dengan patokan-patokan seperti yang dikemukakan dalam logika disebut “logis”. Jalan pikiran yang tidak mengindahkan patokan-patokan logika itu tentu berantakan dan sesat dan dari pikiran yang tersesat akan timbul tindakan yang sesat pula.


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Prinsip-prinsip dasar logika
Dasar logika yang kedudukannya sebagai bagian langsung dari bentuk logika adalah pernyataan, karena pernyataan inilah yang digunakan dalam pengolahan dan perbandingan.[1]
Prinsip-prinsip dasar logika :
1)      Prinsip Identitas (Principium Identitas)
Prinsip ini sebetulnya amat sederhana tetapi sebaliknya amatpenting. Prinsip ini adalah dasar dari semua pemikiran dan bahkan prinsip yang lain. Kita tidak mungkin dapat berpikir tanpa prinsip ini. Prinsip ini mengatakan “sesuatu hal adalah sama dengan halnya sendiri” dengan kata lain bahwa sesuatu itu adalah dia sendiri bukan lainya. Jika kita mengatakan Z maka ia adalah Z dan bukan A, B atau C. Bila kita beri perumusan akan berbunyi “Bila proposisi itu benar maka benarlah ia”.[2]
2)      Prinsip Keindividuan (Principium Individuationis)
Prinsip ini sebetulnya hanya merupakan penegasan dari prinsip pertama. Disini ditegaskan bahwa suatu hal bagaimana nampaknya sama dengan hal yang lain, toh tidak mungkin sama benar-benar, tidak identik! Tiap-tiap hal merupakan suatu individu, jadi lainlah dengan yang lain.
Mungkin seorang, Ahmad misalnya, mempunyai banya persamaan sifat dengan orang lain yang bernama Budi. Walaupun demikian tak pernahlah si Ahmad sama persis (identik) dengan Budi. Selama suatu hal dapat dihitung, jadi dapat disebut “satu”, lainlah ia dari yang lain. Tak aa dua buah batu yang sama. Tiap-tiap satu merupakan individu, dan yang dimaksudkan dalam prinsip ini adalah benda kongkrit.[3]
3)      Prinsip Kontradiksi (Principium Contradictoris)
Pendapat yang dikeluarkan secara positif disebut pengakuan, disitu diakui hubungan sesuatuterhadap sesuatu. Kalau disamping pengakuan ini dimajukian pengingkarannya dengan menambahkan “tidak” atau “bukan”, maka hanya satu pendapat saja yang benar, maksudnya hanya satu pendapat sajalah yang dianggap benar. Prinsip ini mengatakan bahwa pengingkaran sesuatu tidak mungkin sama dengan pengakuan. Jika kita mengakuibahwa sesuatu itu bukan A maka tidak mungkin pada saat itu ia adalah A, sebab realitas ini hanya satu sebagaimana disebut oleh prinsip identitas. Dengan kata lain = Dua kenyataan yang kontradiktoris tidak mungkin bersama-sama secara simultan. Jika hendak kita rumuskan, akan berbunyi “Tidak ada proposisi yang sekaligus benar dan salah”
4)      Prinsip Penolakan Kemungkinan Ketiga (Principium Exclusi Tertii)
Prinsip ini mengatakan bahwa antara pengakuan dan pengingkaran kebenarannya terletak pada salah satunya. Pengakuan dan pengingkaran adalah pertentangan yang mutlak, karena itu disamping tidak mungkin benar keduanya juga tidak mungkin salah keduanya. Bila pernyataan dalam bentuk positifnya salah berarti ia memungkiri realitasnya, atau dengan kata lain realitas ini bertentangan dengan pernyataannya. Dengan begitu maka pernyataan berbentuk ingkarlah yang benar, karena inilah yang sesuai dengan realitas. Juga sebaliknya, jika pernyataan ingkarnya salah, berarti ia mengingkari realitasnya, maka pernyataan positifnya yang benar, karena ia sesuai dengan realitasnya.
Pernyataan kontradiktoris kebenarannya terdapat pada salah satunya (tidak memerlukan kemungkinan ketiga). Jika kita rumuskan, akan berbunyi “suatu proposisi selalu dalam keadaan benar atau salah”[4]
5)      Prinsip Alasan yang Cukup (Principium Rationis Sufficientis)
Prinsip ini sebenarnya melengkapi sekali lagi prinsip identitas. Memang suatu hal yang merupakan individu itu sama dengan dirinya dan hanya dengan dirinya sendiri. Prinsip identitas dan individuation masih tetap berlaku setelah ada perubahan itu. Jadi kalau dikatakan A ya A, kalu A itu menjadi B, maka dalam keadaan itu harus lalu berlaku B ya B. prinsip alasan yang cukup ini hanya mengatakan, bahwa berubahnya A menjadi B itu haus ada alasannya yang cukup.[5]



B.   Pengertian berfikir ilmiah
Berpikir Ilmiah merupakan suatu pemikiran atau tindakan seorang manusia yang menggunakan dasar-dasar dan ilmu tertentu. Sehingga ide tersebut dapat diterima orang lain. Berpikir ilmiah juga harus melalui proses yang panjang dan benar karena akan menyangkut kebenaran. Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan dsb. secara ilmu pengetahuan (berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengethuan. Atau menggunakan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian. [6]
Dalam berpikir ilmiah seseorang harus memperhatikan dasar-dasarnya. Yang didalamnya menyangkut apa, siapa, dimana, kapan, dan bagaimana. Biasanya hal itu digunakan untuk mencari rumusan masalah dan mencari solusi atau kesimpulan suatu masalah. Berpikir ilmiah sangat penting dalam melakukan sesuatu, tidak hanya di lingkungan masyarakat tetapi juga di lingkungan sekolah atau kampus. Jika dalam suatu pekerjaan untuk menunjukkan hasil dari pekerjaan kita. Kita pasti akan dituntut untuk menunjukkan apa saja hasil dari pekerjaan kita dan semua itu pasti akan diuji kebenarannya sehingga orang lain akan percaya dengan pekerjaan kita.
Berpikir ilmiah juga sangat penting dalam melakukan penelitian sesuatu, baik tentang tanaman, hewan, manusia dan sebagainya. Pasti dalam membuat dan mengumpulkan data itu sendiri harus sesuai dengan kebenaran karena untuk menjelaskan hasil dari penelitian kita dibutuhkan suatu pemikiran yang ilmiah. Selain itu berpikir ilmiah juga tanpa emosi dan berpikir sesuai kebenaran yang ada. Untuk itu sebagai manusia yang ingin selalu menjadi terbaik, kita harus selalu menggunakan pemikiran ilmiah dalam setiap pendapat rasional orang–orang sekitar kita akan selalu menganggap kita tidak berpendapat yang omong kosong. Setiap manusia disamping berpikir ilmiah harus didukung dengan berpikir positif serta pemikiran-pemikiran yang yang baik. Untuk menjadikan setiap pendapat kita selalu dapat dipercaya dan diterima oleh semua orang.
Kegiatan berfikir kita lakukan dalam keseharian dan kegiatan ilmiah. Berpikir merupakan upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berfikir ilmiah merupakan berfikir dengan langkah – langkah metode ilmiah seperti perumusan masalah, pengajuan hipotesis, pengkajian literatur, menguji hipotesis, menarik kesimpulan. Kesemua langkah – langkah berfikir dengan metode ilmiah tersebut harus didukung dengan alat / sarana yang baik sehingga diharapkan hasil dari berfikir ilmiah yang kita lakukan mendapatkan hasil yang baik. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengehahuan yang memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari. Ditinjau dari pola berfikirnya, maka ilmu merupakan gabungan antara pola berfikir deduktif dan berfikir induktif, untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif .Penalaran ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berfikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berfikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah kearah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berfikir tersebut dalam keseluruhan berfikir ilmiah tersebut
Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis adalah masuk akal, dan  empiris adalah dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan, selain itu  menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, dan mengembangkan. Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Berpikir ilmiah adalah kegiatan akal yang menggabungkan induksi dan deduksi. Induksi adalah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat umum ditarik dari pernyataan-pernyataan atau kasus-kasus yang bersifat khusus, sedangkan, deduksi ialah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat khusus ditarik dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.[7]

C.   Karakteristik berfikir ilmiah
Para mahasiswa selalu diajak untuk berpikir ilmiah.  Cara berpikir itu tidak saja terkait dalam kegiatan riset, atau tatkala mengikuti  perkuliahan di ruang kelas, melainkan juga dalam segala tindakannya sehari-hari.     Setiap  komunitas memiliki cara berpikir yang berbeda-beda. Orang kampus adalah disebut sebagai masyarakat ilmiah, sehingga cara berpikirnya pun juga harus mengikuti cara berpikir ilmiah. 
Setidaknya ada empat ciri berpikir ilmiah.
1.      Harus obyektif. Seorang ilmuwan dituntut  mampu berpikir obyektif atau apa adanya.   Seorang yang berpikir obyektif selalu menggunakan  data yang  benar.  Disebut sebagai data yang benar, manakala data itu  diperoleh dari sumber dan cara  yang benar.  Sebaliknya,   data yang tidak benar oleh karena diperoleh dengan cara yang tidak benar. Data itu  dibuat-buat, misalnya.  Data yang benar  adalah data yang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada, tidak kurang dan tidak lebih.
Ternyata untuk mendapatkan data yang benar juga tidak mudah. Lebih mudah mendapatkan data palsu. Seorang ilmuwan  harus mampu membedakan antara data yang benar itu dari data yang palsu.  Data yang benar tidak selalu mudah mendapatkannya, dan hal itu sebaliknya adalah data palsu. Banyak orang berpikir salah, oleh karena mendasarkan pada data yang salah atau bahkan data palsu. Dari kenyataan  seperti ini, maka seorang yang  berpikir ilmiah,   harus hati-hati terhadap  data yang tersedia.
2.      Rasional  atau secara sederhana orang menyebut masuk akal.   Seorang berpikir ilmiah harus mampu menggunakan logika yang benar.  Mereka bisa  mengenali  kejadian atau peristiwai mulai    apa yang  menjadi sebab dan apa pula  akibatnya.  Segala sesuatu   selalu mengikuti  hukum sebab dan akibat.  Bahwa sesuatu ada, maka pasti ada yang mengadakan. Sesuatu menjadi  berkembang,  oleh karena  ada kekuatan yang mengembangkan. Seseorang menjadi marah oleh karena terdapat sebab-sebab yang menjadikannya marah. Manakala sebab itu tidak ada, tetapi tetap marah,  maka  orang dimaksud dianggap di luar kebiasaan,  atau tidak masuk akal.
Orang berikir ilmiah tidak akan terjebak atau terpengaruh oleh hal-hal yang tidak masuk akal. Informasi, pendapat atau pandangan baru  bagi  seseorang yang selalu berikir ilmiah  tidak segera diterimanya. Mereka akan mencari tahu informasi itu tentang sumbernya, siapa yang membawa, dan kalau perlu diuji  terlebih dahulu  atas kebenarannya. Begitu pula tatkala menghadapi pandangan atau pendapat, maka seorang  yang berpikir ilmiah akan  berusaha mendapatkan alasan atau dasar-dasar yang digunakan hingga muncul pandangan atau pendapat itu. Atas sikapnya seperti  itu, maka seorang  yang berpkir ilmiah dianggap kritis.
3.      Terbuka. Ia  selalu  memposisikan diri bagaikan gelas yang terbuka dan  masih bisa diisi kembali. Seorang yang terbuka adalah selalu siap mendapatkan masukan,  baik  berupa  pikiran, pandangan, pendapat dan bahkan juga data atau informasi baru dari manapun asal atau sumbernya. Ia tidak segera menutup diri, bahwa hanya pendapatnya  sendiri saja  yang benar dan  selalu mengabaikan lainnya  dari mana pun asalnya. Seseorang yang berpikir ilmiah tidak akan tertutup dan apalagi menutup diri.
4.      Selalu berorientasi pada kebenaran,  dan bukan pada kalah dan menang. Seorang yang berpikir ilmiah sanggup  merasa kalah tatkala buah pikirannya memang salah. Kekalahan itu tidak dirasakan sebagai sesuatu yang mengecewakan dan menjadikan dirinya  merasa rendah. Seorang yang berpikir ilmiah lebih mengedepankan kebenaran daripada sekedar kemenangan. Kebenaran menjadi tujuan utamanya. Oleh karena itu, seseorang yang berpikir ilmiah, dalam suasana apapun   harus mampu mengendalikan diri,  agar tidak bersikap emosional, subyektif,  dan tertutup. 
Keempat hal itulah karakteristik berpikir ilmiah, setidaknya yang harus disandang oleh warga kampus yang biasa disebut mampu berpikir ilmiah.[8]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ø Prinsip-prinsip dasar logika
Dasar logika yang kedudukannya sebagai bagian langsung dari bentuk logika adalah pernyataan, karena pernyataan inilah yang digunakan dalam pengolahan dan perbandingan.
Prinsip-prinsip dasar logika :
1)      Prinsip Identitas (Principium Identitas)
2)      Prinsip Keindividuan (Principium Individuationis)
3)      Prinsip Kontradiksi (Principium Contradictoris)
4)      Prinsip Penolakan Kemungkinan Ketiga (Principium Exclusi Tertii)
5)      Prinsip Alasan yang Cukup (Principium Rationis Sufficientis)
Ø Pengertian Berpikir Ilmiah
Berpikir Ilmiah merupakan suatu pemikiran atau tindakan seorang manusia yang menggunakan dasar-dasar dan ilmu tertentu. Sehingga ide tersebut dapat diterima orang lain. Berpikir ilmiah juga harus melalui proses yang panjang dan benar karena akan menyangkut kebenaran. Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan dsb. secara ilmu pengetahuan (berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengethuan. Atau menggunakan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian.
Ø Karakteristik berfikir ilmiah
Setidaknya ada empat ciri berpikir ilmiah.
1)      Harus obyektif.
2)      Rasional  atau secara sederhana orang menyebut masuk akal
3)      Terbuka
4)    Selalu berorientasi pada kebenaran,  dan bukan pada kalah dan menang.


BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Mundiri. 2012. Logika, Jakarta: Rajawali Pers.
Surajiyo. 2012. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Poespoprodjo. 2011. Logika Ilmu Menalar. Bandung: CV Pustaka Grafika.
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.
Poedjawijatna. 2000. Logika – Filsafat Berpikir. Jakarta: PT. Rineka Cipta.






[1] Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar(Jakata: cet. Ke-V, 2012), hal 34
[2] Mundiri, Logika (Jakarta: cet. Ke-15, 2012), hal 11
[3] Poedjawijatna, Logika-Filsafat Berpikir (Jakart: cet. Ke-9, 2000), hal 22
[4] Mundiri, Ibid., Hal 12
[5] Poedjawijatna, Ibid., Hal 25
[6] Kartono (1996, Khodijah, 2006) Hal 118
[7] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: 2009) Hal 68
[8] UIN Maliki Malang. Logika Filsafat (Malang 2009) hal. 73

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com