Jumat, 14 April 2017

“Komunikasi Profetik : Filosofi, Humanisasi, Liberasi dan Transendensi perspektif Idealisme”


PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Ada tiga hal pokok selama masa 23 tahun karir kenabian Muhammada saw : pertama, penegasan identitas umat atau nation building. Kedua, menejemen pengolahan konflik. Ketiga, prinsip etik. Karena berbagai sebab dan alasan, umat beragama dimana pun, termasuk di Indonesia akan selalu memiliki benih dan akar persoalan konflik dan ketidakrukunan. Konflik berskala kecil atau besar, bisa terjadi secara terbuka atau tertutup.
Dalam dimensi keilmuan, jauh sebelum ilmu itu ada, berawalah semua ilmu dari filsafat. Yang mana filsafat sendiri yaitu sering kali dianggap sebagai dasar ilmu. Beberapa diantara aliran-aliran filsafat juga membahas mengenai profetik, dalam artian komunikasi kenabian.
Kata “profetik” berasal dari bahasa inggris prophetical yang mempunyai makna Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Dalam sejarah, Nabi Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan Fir’aun, Nabi Muhammad yang membimbing kaum miskin dan budak belia melawan setiap penindasan dan ketidakadilan, mempunyai tujuan untuk menuju kearah pembebasan. Menurut Ali Syari’ati dalam Hilmy (2008:179) para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan do’a tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan.
Secara definitif, pendidikan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik. Kuntowijoyo sendiri memang mengakuinya, terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu seperti hendak memasukan sesuatu dari luar atau menolak sama sekali ilmu yang ada
B.  Rumusan Masalah
1)      Apa pengertian Idealisme ?
2)      Filosof dan Filsafat Idealisme ?
3)      Humanis dan Filsafat Idealisme ?
4)      Liberalis dan Filsafat Idealisme ?
5)      Transendensi dan Filsafat Idealisme ?
C.  Tujuan
1)      Pengertian Idealisme
2)      Filosof dan Filsafat Idealisme
3)      Humanis dan Filsafat Idealisme
4)      Liberalis dan Filsafat Idealisme
5)      Transendensi dan Filsafat Idealisme


PEMBAHASAN

A.  Idealisme
A.1. Pengertian Idealisme
Idealisme adalah aliran filsafat yg menekankan idea (dunia roh), sebagai objek pengertian dan sumber pengetahuan. Idealisme berpandangan bahwa segala sesuatu yg dilakukan oleh manusia tidaklah selalu harus berkaitan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah, tetapi harus berdasarkan prinsip kerohanian (idea). Oleh sebab itu, Idealiseme sangat mementingkan perasaan dan fantasi manusia sebagai sumber pengetahuan.[1]
          Idealisme berpendirian, bahwa kenyataan tersusun atas gagasan-gagasan (ide-ide) atau spirit. Segala benda yang nampak berhubungan dengan kejiwaan dan segala aktivitas adalah aktivitas kejiwaan. Dunia ini dipandang bukan hanya sebagai mekanisme, tetapi dipandang sebagai sistem, dunia adalah keseluruhan (totalitas). Unsur material tetap ada, tetapi hanya merupakan bagian yang saling bersangkut paut dengan keseluruhan, dan segala penampakan secara materi hanya manifestasi dari pada aktifitas jiwa. Jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam susunan keseluruhan. Dan Segala fakta empiris diakui adanya dan hal itu mengandung konsepsi yang serba mungkin. Tetapi segala unsure materi dan fakta itu bukanlah sebagai realita yang sebenarnya.[2]
          Seperti kita ketahui bersama aliran idealisme dalam metafisika berpendirian bahwa
wujud yang paling dalam dari kenyataan ialah yang bersifat kerohanian.Dalam persoalan etika aliran idealisme ini berpendapat bahwa perbuatan manusia haruslah tidak terikat pada sebab- musabab lahir tetapi setiap perbuatan manusia haruslah didasarkan pada prinsip kerohanian yang lebih tinggi.[3]
A.2. Latar belakang Idealisme
Aliaran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarahpemikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan yang menempati ruang ini hanya berupa bayangan saja dari alam idea.
            Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam idea sebagai suatu tenaga yang barada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa paham idealisme sepanjang masa tidak pernah hilang sama sekali. Dimasa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli fikir adalah dasar idealisme ini. Pada zaman Aufklarung para filosof yang mengakui aliran serba dua (dualisme) seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan, maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting dari pada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan pada penganutidealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam.
Puncak zaman idalisme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika priode idealisme.Secara historis, idealisme diformulasikan dengan jelas pada abad IV sebelum masehi oleh Plato (427-347 SM). Athena, selama Plato hidup, adalah kota yang barada dalam kondisi transisi (peralihan). Peperangan bangsa Persia telah mendorong Athena memasuki era baru. Seiring dengan adanya peperangan –peperangan tesebut, pedagangan dan perniagaan  tumbuh subur dan orang-orang asingtinggal di berbagai penginapan  Athena dalam jumlah besar untuk meraih keuntungan pendapatan  kekayaan yang melimpah. Dengan adanya hal itu, muncul berbagai gagasan-gagasan baru kedalam lini budaya bangsa Athena. Gagasan-gagasan baru tersebut dapat mengarahkan warga Athena untuk mengkritis pengetahuan dan nilai-nilai tradisional. Saat itu pula  muncul kelompok baru dari kalangan pengajar (para Shopis).[4]
Ajarannya memfokuskan pada individualisme, karena mereka berupaya menyiapkan warga untuk menghadapi peluang baru terbentuknya masyarakat niaga. Penekanannya terletak pada individualisme, hal itu disebabkan karena adanya pergeseran dari budaya komunal masa lalu menuju relativisme dalam bidang kepercayaan dan nilai.Idealisme dengan penekanannya  pada kebenaran yang tidak berubah, berpengaruh pada pemikiran kefilsafatan. Selain itu, idealisme ditumbuh kembangkan dalam dunia pemikiran modern.[5]
            Pada awal abad ke-20 aliran filosof yang dominan di Inggris adalah idealisme. Kadang-kadang juga disebut neohegelianisme Inggris, karena filsafat Hegel jelas sekali merupakan sumber inspirasi yang utama bagi para penganut idealisme Inggris. Tetapi itu tidak bearti bahwa filsuf-filsuf besangkutan hanya dipengaruhi oleh Hegel saja, sebab filsafat Kant misalnya sering kali digunakan juga dan dari filsuf-filsuf Yunani mereka menaruh perhatian khusus akan Plato. Sebelumnya idealisme merupakan suatu aliran yang pada pandangan pertama tidak begitu cocok dengan tradisidan kecondongan pemikiran Inggris.           Dalam sejarah filsafat Inggris sudah sejak Abad Pertengahan dapat dilihat suatu kecenderungan akan hal-hal empiris dan semacam rasa segan tehadap metafisika. Karena itu sangat mengherankan jika idealisme dapat mengalami sukses begitu besar di Inggris, karena aliran ini adalah corak pemikiran yang jelas bersifat spekulatif dan metafisis. Namun demikian, ada Sejara-sejarawan yang berpendapatbahwa dalam sejarah pemikiran Inggris terdapat beberapa unsur yang seakan-akan mempersiapkan idealisme itu (terutama Mazhab Platonistis di Cambrigde dalam abad ke-17 dan filsafat Berkeley dalam abad ke-18). Anehnya, idealisme menguasai filsafat di Inggris pada waktu Hegel sendiri sudah tidak berpengaruh lagi di negri asalnya.
            Idealisme Inggris ini dapat dimengerti sebagai reaksi atas materialisme dan positivisme yang merajalela di Eropa pada waktu itu dan khususnya atas filsafat John Stuart Mill yang menguasai generasi filsuf-filsuf Inggris sebelum timbulnya idealisme. Seperti  sudah tampak dalam bagian trakhir kutipan William James tadi, pada permulaan pasti ada harapan juga bahwa filsafat yang mencari inspirasinya pada Hegel dapat menyajikan suatu dasar filosofis yang teguh bagi agama Kristen. Tentu demikian halnya dalam buku yang dianggap sebagai yang merintis jalan bagi gerakan neohegelian di Inggris. Tetapi kita melihat bahwa dalam perkembangan lebih lanjut Idealisme Inggris akhirnya tidak berkaitan lagi dengan agama.[6]
A.3. Pandangan Beberapa Filsuf Mengenai Idealisme
A.3.1. Realitas
Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Parmenides, filosof dari Elea (Yunani Purba), berkata, ”apa yang tidak dapat dipikikan adalah nyata”. Plato, seorang filosof idealisme klasik (Yunani Purba), menyatakan bahwa realitas trakhir adalah dunia cita. Hakikat manusia adalah jiwanya, rohaninya, yakni apa yang “mind”. Mind merupakan suatu wujud yang mampu menyadari dunianya, bahkan sebagai pendorong dan penggerak semua tingkah laku manusia. Jiwa (mind) merupakan faktor utama yang menggerakkan semua aktivitas manusia, badan atau jasmani tanpa jiwa tidak memiliki apa-apa.
A.3.2. Pengetahuan
Tentang teori pengetahuan, idealisme mengemukakan pandangannya bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui indera tidak pasti dan tidak lengkap, karena dunia hanyalah merupakan tiruan belaka, sifatnya maya (bayangan), yang menyimpang dari kenyataan yang sebenarnya, pengetahuan yang benar hanya merupakan hasil akal belaka, karena akal dapat membedakan bentuk spritual murni dari benda-benda di luar penjelmaan materi.
Hagel menguraikan konsep Plato tentang teori pengetahuan dengan mengatakan bahwa pengetahuan dikatakan valid, sepanjang sistematis, maka pengetahuan manusia tentang realitas adalah benar dalam arti sismatis. Dalam teori pengetahuan dan kebenaran, idealisme merujuk pada rasionalisme dan teori koherensi seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya.
Dalam hal ini Henderson (1959:215) mengemukakan bahwa :
Rasionalism mendasari teori pengetahuan idealisme, mengemukakan bahwa indra kita hanya memberikan materi mentah bagi pengetahuan. Pengetahuan tidak ditemukan dari pengalaman indera, melainkan dari konsepsi, dalam prinsip-prinsip sebagai hasil aktvitas jiwa.
A.3.3. Nilai
Menurut pandangan idealisme, nilai ini absolut.Apa yang dikatakan baik,benar, salah, cantik, atau tidak cantik, secara fundemental tidak berubah dari generasi ke generasi.Pada hakikatnya nilai itu tetap.Nilai tidak diciptakan manusia melainkan merupakan bagian dari alam semesta. Menurut Kant, Henderson mengemukakan, “Every human bing looU upon himself as an end, that is, of value in and of Kim self.He in not, in Kioe own eyes, valuable only as a means to sometKing; else. He has value, infinite value, as human being”. Imperative kategoris dan imperative praktis merupakan perlakuan dan pembuatan kemanusiaan, baik mengenai diri sendiri maupun orang lain.
Pandanglah manusia sebagai tujuan, bukan sebagai alat semata.Setiap manusia memandang dirinya sebagai tujuan, sebagai nilai yang datang dan berada dalam dirinya sendiri.Ia, menurut pandangannya sendiri, tidak dapat dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan orang lain.Manusiamemiliki nilai dan harkat kemanusiaan yang tidak terbatas sebagai mahkluk manusia.
A.3.4. Pendidikan
Selanjutnya,menurut Horne, pendidikan merupakan proses abadi dari proses penyesuaian dari perkembangan mental maupun fisik, bebas, dan sadar terhadap Tuhan, dimanipestasikan dalam lingkungan Intelektual, emosional dan berkemauan. Pendidikan merupakan pertumbuhan ke arah tujuan, yaitu pribadi manusia yang ideal.Mengenai teori pengetahuan, intelek atau akal memegang peran yang sangat penting dan menetukan dalam proses belajar mengajar. Mereka yakin bahwa akal manusia dapat memproleh pengetahuan dan kebenaran sejati. Jadi, pengetahuan yang diajarkan disekolah harus besifat intelektual. Filsafat, logika bahasa, dan matematika akan memperoleh porsi yang besar dalam kurikulum sekolah. Inilah konsep pendidikan yang bedasarkan pandangan idalisme.
Power (1982-89) mengemukakan implikasi filsafat pendidikan idealisme sebagai berikut:
1)      Tujuan Pendidikan
Pendidikan formal dan informal bertujuan membentuk karakter, dan mengembangkan      bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial.
2)      Kedudukan Siswa
Bebas untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasarnya atau bakatnya.
3)      Peran Guru
Bekerja sama dengan alam dalam proses pengembangan manusia, terutama betanggung jawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan siswa.
4)      Kurikulum
Pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan rasional, dan pendidikan praktis untuk memperoleh pekerjaan.
5)      Metode
Diutamakan metode dialetik, tetapi metode lain yang efektif dapat di manfaatkan.[7]
A.4. Prinsif-Prinsif Idealisme
1.      Menurut idealisme bahwa realitas tersusun atas substansi sebagaimana gagasan-gagasan atau ide (sprit). Menurut penganut idealisme, dunia beserta bagian-bagiannya harus dipandang sebagai suatu sistem yang masing-masing unsurnya saling berhubungan. Dunia adalah suatu totalitas, suatu kesatuan yang logis dan besifat spritual.
2.      Realitas atau kenyataan yang tampak di alam ini bukanlah kebenaran yang hakiki, melainkan hanya gambaran atau dari ide-ide yang ada dalam jiwa manusia.
3.      Idealisme berpendapat bahwa manusia mengaggap roh atau sukma lebih beharga dan lebih tinggi dari pada materi bagi kehidupan manusia. Roh pada dasarnya dianggap sebagai suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Demikian pula terhadap alam adalah ekspresi dari jiwa.
4.      Idealisme borientasi kepada ide-ide yang theo sentris (berpusat kepada Tuhan), kepada jiwa, spritualitas, hal-hal yang ideal (serba cita) dan kepada norma-norma yang mengandung kebenaran mutlak. Oleh karena nilai-nilai idalisme bercorak spritual, maka kebanyakan kaum idealisme mempercayai adanya Tuhan sebagai ide tertinggi atau Prima Causa dari kejadian alam semesta ini.
A.5. Kelompok Dalam Aliran Idealisme
Bermacam-macam bentuk terdapat dalam aliran idealisme, namun kesemuanya tercakup dalam pengertian sebagai berikut, Idealisme ialah suatu fikiran metafisika yang mengatakan bahwa fikiran/roh (idealis) mempunyai wujud (bentuk) sendiri yang terlepas dari alam semesta, dan bahwa fikiran (atau semacam fikiran), menjadi semua sumber yang ada. Dengan demikian, maka aliran idealisme merupakan kebalikan dari aliran materialisme, dan realisme.[8]
Ada tiga kelompok dalam aliran ini. Pertama adalah apa yang disebut Berkeleian Idealisme yang dibangsakan kepada Berkeley yang berpendapat bahwa analisis yang benar menunjukkan obyek material hanya semata-mata terdiri dari gagasan-gagasan (ideas), baik dalam ilmu Tuhan atau pada wakil-wakilnya sadar.
Kedua disebut Transcendental Idealisme (Idealisme transedental). Istilah ini berasal dari Immanuel Kant yang dalam teorinya tentang dunia eksternal. Kelompok ini terkadang juga disebut Critical Idealisme. Ini merujuk kepada pendapatnya bahwa obyek-obyek pengalaman manusia, dalam pengertian benda-benda yang wujud dalam ruangan dan bertahan dalam waktu tetentu, tidak lain dari pada penampakan (appearances), dan tidak punya eksistensi yang tepisah diluar pemikiran manusia. Istilah transcendental menunjukkan penalaran Kant untuk pandangan ini, yakni bahwa hanya dengan menerimanya, kita baru dapat mendapatkan pengetahuan apriori tentang obyek-obyek.
Ketiga adalah Idealisme Obyektif, juga terkadang disebut Idealisme Absolut. Ini adalah sejenis Idealisme yang pertama sekali di kembangkan oleh Hegel. Jika Idealisme Berkeleian dan Idealisme obyektif bersifat monistik (satu) dengan mempertahankan  bahwa seluruh yang ada merupakan bentuk dari akal yang satu, yaitu”Akal yang Absolut” (AbsolutMind). Disamping Hegel, beberapa penganut Idealisme Inggris, seperti Green, Bradley dan Bosanquet adalah pengikut aliran ini.[9]
A.6. Tokoh-Tokoh Aliran Idealisme
A.6.1. Plato (477-347) Sebelum Masehi
Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak diantara gambaran asli dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indra. Dan pada dasarnya sesuatu itu dapat dipikirkan oleh akal, dan yang berkaitan dengan ide atau gagasan. Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang dikenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Menurut Plato kebaikan merupakan hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakannya sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasi dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.
A.6.2. Immanuel Kant (1724-1804)
Ia menyebut filsafatnya idealis transedental atau idealis kritis dimana paham ini menyatakan bahwa isi pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap sebagai miliknya sendiri melainkan ruang dan watak adalah forum intuisi kita. Menurut Khant, pengetahuan yang mutlak sebenarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indera. Akan tetapi, bila pengetahuan itu datang dari luar melalui akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman. Dapat disimpulkan bahwa filsafat idealis transendental menitik beratkan pada pemahaman tentang sesuatu itu datang dari akal murni dan yang tidak bergantung pada sebuah pengalaman.
A.6.3. Pascal (1623-1662)
Kesimpulan dari pemikiran filsafat  Pascal antara lain:
Pengetahuan diperoleh melalui dua jalan, pertama menggunakan akal dan kedua menggunakan hati. Ketika akal dengan semua perangkatnya tidak dapat lagi mencapai suatu aspek maka hatilah yang akan berperan. Oleh karna itu, akal dan hati saling berhubungan satu sama lain. Apabila salah satunya tidak berfungsi dengan baik, maka dalam memperoleh suatu pengetahuan itu juga akan mengalami kendala.Manusia besar karena pikirannya, namun ada hal yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia yaitu pikiran manusia itu sendiri. Menurut Pascal manusia adalah makhluk yang rumit dan kaya akan variasi serta mudah berubah. Untuk itu matematika, pikiran dan logika tidak akan mampu dijadikan alat untuk memahami manusia. Menurutnya alat-alat tersebut hanya mampu digunakan untuk memahami hal-hal yang bersifat bebas kontradiksi, yaitu yang bersifat konsisten. Karena ketidak mampuan filsafat dan ilmu-ilmu lain untuk memahami manusia, maka satu-satunya jalan memahami manusia adalah dengan agama. Karena dengan agama, manusia akan lebih mampu menjangkau fikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha mencari kebenaran, walaupun bersifat abstrak.[10]
Filsafat bisa melakukan apa saja, namun hasilnya tidak akan pernah sempurna. Kesempurnaan itu terletak pada iman. Sehebat apapun manusia berfikir ia tidak akan mendapat kepuasan karena manusia mempunyai logika yang kemampuannya melebihi dari logika itu sendiri. Dalan mencari Tuhan Pascal tidak akan menggunakan metafisika, karena selain bukan termasuk geometri tapi juga metafisika tidak akan mampu. Maka solusinya ialah mengembalikan persoalan ke Tuhan pada jiwa. Filsafat bisa menjangkau segala hal, tetapi tidak bisa secara sempurna. Karena setiap ilmu itu pasti ada kekurangnnya, tidak terkecuali filsafat.
A.6.4. J. G. Fichte (1762-1914) Sebelum Masehi
Ia adalah seorang filsuf Jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M). Pada tahun 1810-1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin. Filsafatnya disebut “Wissenschaftslehre” (Ajaran Ilmu Pengetahuan).Secara sederhana pemikiran Fichte: manusia memandang objek benda-benda dengan indranya. Dalam memgindra objek tersebut, manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya unuk membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya. Hal tersebut bisa dicontohkan seperti, ketika kita melihat sebuah meja dengan mata kita, maka secara tidak langsung akal (rasio) kita bisa menangkap bahwa bentuk meja itu seperti yang kita lihat (bebentuk bulat, persegi panjang, dll). Dengan adanya anggapan itulah akhirnya manusia bisa mewujudkan dalam bentuk yang nyata.
A.6.5. F. W. S. Schelling (1775-1854 M)
Schelling telah matang menjadi seorang filsuf disaat dia masih amat muda. Pada tahun 1798 M, dalam usia 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Univesitas Jena. Dia adalah filsuf Idealis Jerman yang telah memutlakkan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan  Idealisme Hegel.
   Inti dari filsafat Schelling: yang mutlak atau rasio mutlak adalah sebagai identitas murni atau indefernsi, dalam arti tidak mengenal perbedaan antara yang subyektif dengan yang obyektif. Yang mutlak menjelmakan diri dalam 2 potensi yaitu yang nyata (alam sebagai objek) dan ideal (gambaran alamyang subyektif dari subyek). Yang mutlak sebagai identitas mutlak menjadi sumberroh (subyek) dan alam (obyek) yang subyektif dan obyektif, yang sadar dan tidak sadar. Tetapi yang mutlak itu bukanlahroh dan bukan pula alam, bukan yang obyektif dan bukan pula yang subyektif, sebab yang mutlak adalah identitas mutlak atau indiferensi mutlak.Maksud dari filsafat Schelling adalah, yang pasti dan bisa diterima akal adalah sabagai identitas murni atau indeferensi, yaitu antara yang subjektif dan objektif sama atau tidak dari perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh atau ide) sebagai subjek, keduannya saling bakaitan. Dengan demikian yang mutlak itu tidak bisa dikatakan hanya alam saja atau jiwa saja , melainkan antara keduannya.
A.6.6. J. G. W. F. Hegel (1770-1031 M)
Ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh gelar Doktor. Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang tidak mutlak. Yang mutlakitu roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya, roh itu dalam intinya ide (befikir).[11]

B.  Pandangan Filosof dan Filsafat Idealisme
Filsafat idealisme memandang hakikat manusia itu sebenarnya adalah roh, atau jiwa dan bukan materi, bukan fisik. Hakikat roh ini dapat berupa ide atau pikiran.[12] Menurut aliran ini, fungsi mental adalah apa yang tampak dalam tingkah laku. Jasmani adalah alat jiwa untuk melaksanakan tujuan, keinginan, dan dorongan jiwa manusia.
Hakikat manusia adalah jiwa atau rohaninya (adayang menyebutnya “mind”), yang merupakan suatu wujud yang bukan hanya mampu menyadari dunianya, bahkan sebagai pendorong dan penggerak semua tingkah laku manusia.[13] Mind, yang dalam pandangan George R. Knight adalah akar pikir, merupakan hal dasar atau lebih dulu ada bagi materi, dan bahkan menganggap akal-pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan materi adalah akibat yang ditimbulkan oleh akal-pikir/ jiwa (mind).[14] Imam Barnadib menyatakan bahwa Idealisme memandang kenyataan itu terdiri dari atau tersusun atas substansi sebagaimana gagasan-gagasan (ide-ide) atau spirit, alam fisik tergantung dari jiwa universal atau Tuhan, yang berarti pula bahwa alam adalah ekspresi dari jiwa tersebut.[15]
Idealisme Katolik berpandangan bahwa realitas akhir adalah “God” dari tiga pribadi yang isebut “Trinitas”. Kaum ini menganggap bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang menggunakan kemauan bebas (free will), dan secara personal bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya. Idealism agamis ini tetap mengakui wahyu sebagai sumber otoritas kebenaran.[16]
Plato, seorang filosof idealism klasik mengatakan bahwa jiwa manusia sebagai “roh” yang berasal dari “ide” eksternal dan sempurna.[17] Pemikiran Plato ini kemudian diwarisi oleh Immanuel Kant yang mrnyatakan bahwa manuisa itu bebas, sepanjang ia sebagai spirit (jiwa), dan terikat, karena manusia juga makhluk fisik yang tunduk terhadap hokum alam.[18]
Kaum idealis memandang anak sebagai bagian dari alam spiritual yang memiliki pembawaan spiritual sesuai dengan potensialitasnya. Apabila manusia mempelajari dunia alamiah, tidak akan melibatkan atau menganggapnya sebagai mesin yang hebat dan besar yang berfungsi tanpa isi dan tujuan.

C.  Pandangan Humanisme dan Filsafat Idealisme
C.1. Pengertian Humanisme
Istilah humanisme berasal dari kata latin “humanitas” (pendidikan manusia dan dalam bahasa yunani disebut paidoia pendidikan yang didukung oleh manusia-manusia yang hendak menempatkan seni liberal sebagai materi atau sarana utamnya.
Dilihat dari segi kebahasaan, humanisme berasal dari kata Latin humanus dan mempunyai akar kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti sifat manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia (A.Mangunhardjana dalam Haryanto Al-Fandi, 2011:71). Sebagai paham, pendukungnya disebut humanis. Secara terminologi, humanisme berarti martabat dan nilai dari setiap manusia, dan semua upaya untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan alamiahnya (fisik nonfisik) secara penuh. (Hasan Hanafi dalam Haryanto Al-Fandi, 2011:71).
Abdurrahman Mas’ud (2004:135) mengemukakan bahwa humanisme dimaknai sebagai kekuatan atau potensi individu untuk mengukur dan mencapai ranah ketuhanan dan menyelesaikan permasalahan-permasalah sosial. Menurut pandangan ini, individu selalu dalam proses menyempurnakan diri.
Humanisme sebagai suatu aliran dalam filsafat, memandang manusia itu bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri, dan dengan kekuatan sendiri mampu mengembangkan diri. Pandangan ini disebut pandangan humanistis atau humanisme.
Pemakaian istilah humanisme mula-mula terbatas pada pendirian yang terdapat di kalangan ahli pikir di zaman Renaissance yang mencurahkan perhatian kepada pengajaran kesusateraan Yunani dan Romawi Kuno dan kepada perikemanusiaan.
Posisi humanisme sama dengan reformasi. Keduanya sama-sama mengunggulkan pencapaian individu. Perbedaannya adalah bahwa humanisme, kebenaran yang mereka pikirkan tidak terikat pada kebenaran Tuhan. Manusia adalah pusat, bukan Tuhan. Pemikiran tersebut dipengaruhi oleh ilmu alam, kelak menjadi aliran rasionalisme. Senaliknya aliran reformasi tidak memuja manusia dan keindahan, tetapi memuja Tuhan. Kebahagiaan bukan di dunia, melainkan di surga.
Sejarah lahirnya humanisme
Humansme lahir di italy, pelopornya yaitu: petrarca dan boceaccio pusat gerakan ini ialah filorence. Dari itali humanisme kemudian meluas ke eropa barat, dibantu oleh kepandaian mencetak buku (1450).  Dimana-mana dicari karangan orang klasik. Setelah istanbul jatuh ke tangan orang turki (1453) banyak sejarah yunani mengungsi ke ialy, mereka mengembangkan kepandaian klasik. Perpustakaan didirikan di roma, venesia, florence, dan ditempat-tempat lain. Dengan demikian dapatlah paham-paham baru itu berkembang dengan cepat. Suasana iklim abad pertengahan diarahkan kepada diessctgkeit. Tuhan sebagai pusat norma tertinggi mulai ditinggalkan orang. Cita-cita manusia dicari pada manusia sendiri. Ukuran kebenaran, kesusilaan, keindahan dicari dan didapatkan pada manusia pula.
Humanisme memiliki tujuan yaitu untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan gereja dan membebaskan akal budi dari kungkunganya  yang mengikat.
C.2. Humanisme dan Filsafat Idealisme
Arti dari kata idealisme sendiri adalah suatu setandar kesempurnaan, Keunggulan, Keindahan, dan kebaikan, dapat juga diartikan sebagai objek tujuan sempurna dan hasrat untuk mencapai suatu keinginan, Dalam Filsafat idealisme doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya bisa difahami dengan ketergantungan pada jiwa dan spiritual. Istilah ini diambil dari kata “idea” yang berarti jiwa. Secara mudah idealisme dapat diartikan sebagai cita-cita yang ingin dicapai oleh seseorang atau kelompok orang. Idealisme bukan sebarang cita-cita, namun cita-cita yang tinggi dan luhur, suatu nilai kebenaran dan harga diri, serta hasrat untuk mencapai hasil yang istimewa. Pada dasarnya setiap orang mempunyai idealisme, dan merupakan salah satu hal penting dalam hidup seseorang. Dengan idealisme orang dapat melakukan hal yang luar biasa, bertahan pada suatu prinsip yang diyakini bahkan rela hidup menderita demi mempertahankan pandangan dan kehormatan. Untuk apa mempertahankan idealism ? Jawabnya, untuk mendapatkan kepuasan jiwa yang begitu mahal harganya. Kepuasan dan kebahagiaan itu, tentu saja tidak dapat diukur dengan nilai uang atau materi.
Humanisme adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik.[19] Cita-cita manusia mengarah kepada tingkah laku dan kesusilaannya. Manusia itu amat tinggi derajatnya karena akal budinya, dan karena itu manusia lebih tinggi dari makhluk lain di dunia ini. Dikenal pula idealisme estetis yang menganggap kebaikan tertinggi adalah keindahan. Berarti manusia harus indah. Indah dalam hal ini adalah indah baik rohani maupun jasmaninya. Keindahan ini dicapai dengan menyempurnakan dirinya dan menyelaraskan segala kemampuannya dengan keadaan dunia yang mengelilinginya.
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia setelah mengalami dehuminasi.[20] Dehumanisasi merupakan suatu proses yang menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, melainkan hanya bisa menirukan atau melaksanakan sesuatu yang di ukur dengan apa yang di milikinya dalam bentuk tertentu atau bisa disebut juga penghilangan harkat martabat manusia.[21]  Selain itu juga bertujuan untuk berusaha mengangkat derajat manusia. Agar manusia tidak terobjectivasi (manusia hanya menjadi objek) ditengah-tengah industrialisasi yang diciptakannya sendiri.[22]  Jika objektivasi teknologi ini terjadi, maka hakikat manusia telah direduksikan dan hanya dilihat secara persial. Manusia hanya menjadi robot alias mesin-mesin industri.
Bentuk-bentuk objektivasi yang konkret dalam kehidupan sehari-hari diantaranya yaitu manusia membuat program, tapi kemudian deprogram oleh programnya sendiri. Manuisa memprouksi barang konsumsi, tapi justru dipaksa menjadi konsumennya yang setia. Manusia menciptakan birokrasi untuk memperlancar urusan, tapi justru kemudia mempersulitnya.
Objektivasi manusia menunjukkan bagaimana manusia tidak berdaya oleh mesin-mesin, oleh sistem yang bahkan diciptakan oleh dirinya sendiri, ini artinya jiwa tidak mampu lagi menuntun manusia untuk mengangkat derajat manusianya. Manusia sudah seperti benda mati yang tak punyak perasaan, keinginan, dan hanya patuh pada sistem dimana ia berada didalamnya.
Suatu aktivitas atau tindakan manusia digerakkan oleh jiwa (mind). Kegoncangan atau ketidakstabilan jiwa akan menyebabkan menusia tidak mampu mengontrol aktivitasnya.jiwanya akan menjadi labil, mudah terombang-ambing dan tidak berdaya terhadap suatu mekanisme (sistem) yang diciptakn.akibat tuntutan realitas, manusia saat ini mudah sekali tersinggung, melakukan aksi-aksi anarkis dan kerusuhan missal. Hal tersebut diakibatkan aleh kekumuhan spiritual, yang merupakan musuh utama humanisasi. Gejala hidup individual, privat, tak mau tahu terhadap masyarakat sekitar juga merupakan musuh humanisasi. Dalam kehidupan post modern ini, hamper lazim diperkotaan, sebuah keluarga yang tahu dan tak mau tahu perihal tetangga sebelah. Gejala ini sering disebut dengan individualis
Kehidupan dengan model individualis seperti ini membuat manusia mudah mengalami kekeringan jiwa, maka upaya untuk mengangkat spiritualitas manusia yang hampir sirna ini sangatlah dibutuhkan, demi keberlangsungan kehidupan manusia yang mensejahteraan manusia. Pada dasarnya manusia tidak akan bisa mengingkari dirinya bahwa dia hidup bermasyarakat, dan butuh adanya  relasi yang baik, berinteraksi, dan bergaul dengan sesamanya sesuai dengan naluri kemanusiaan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Masyarakat industrialis telah menjadikan manusia sebagai masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Manusia dilihat secara persial, sehingga hakikat kemanusiaan itu sendiri hilang.
Humanisme memiliki dua arah, yakni humanisme individu dan humanisme sosial. Humanisme individu mengutamakan kemerdekaan  berpikir, mengeluarkan pendapat dan berbagai aktifitas yang kreatif. Kemampuan ini disalurkan melalui kesenian, kesusastraan, musik, teknologi dan penguasaan tentang ilmu kealaman. Humanisme sosial mengutamakan pendidikan bagi masyarakat keseluruhan untuk kesejahteraan sosial dan perbaikan hubungan antar manusia.
Dengan begitu humanisme (amar ma’ruf) yang dibahas dalam komunikasi profetik yaitu bagaimana idealnya manusia yang memanusiakan manusia, yang kemudian direalisasikan pada kenyataan sebagai manifestasi idea tau gagasannya untuk membuat kehidupan atau hubungan manusia itu menjadi lebih baik.

D.  Pandangan Liberalis dan Filsafat Idealisme
D.1. Pengertian Liberalis
Liberalisme pertama kali disuara gelorakan oleh golongan borjuis perancis pada abad ke-18 sebagai reaksi protes terhadap kepincangan keganjilan yang telah lama berakar kuat di Perancis. Sebagai akibat warisan sejarah masa lampau, di Perancis terdapat pemisahan pembedaan yang tajam sekali antara golongan berhak istimewa dan golongan tanpa hak. Golongan pertama memiliki segala-galanya. Seakan-akan golongan inilah yang memiliki negara Perancis. Mereka terdiri dari kaum bangsawan dan kaum alim atau ulama (padri). Golongan kedua hanya memiliki kewajiban, tidak mempunyai hak apa-apa. Mereka itu adalah rakyat Perancis, baik golongan borjuis yang kaya raya maupun golongan rakyat biasa. Ibarat budak belian, rakyat harus selalu tunduk dan taat kepada tuannya, yaitu kaum bangsawan dan kaum padri. 
Golongan Borjius yang diperlakukan sewenang-wenang tadi lalu berjuang untuk memperoleh kebebasan kemerdekaan sebagai kaum penguasa mereka menuntut memperjuangkan kebebasan atau kemerdekaan berusaha. Jadi kebebasan kemerdekaan dalam bidang ekonomi. Karena sejak adanya Colbertisme (abad ke-17),  pemerintah Perancis terlalu banyak mencampuri masalah kebebasan ekonomi perdagangan, sehingga sangat mengekang kebebasan kemerdekaan berusaha. Lambat laun tuntutan perjuangan golongan borjius tadi tidak terbatas pada kebebasan kemerdekaan dalam bidang ekonomi saja, melainkan juga dalam bidang politik dan agama. Reaksi protes golongan borjius terhadap kepincangan atau keganjilan tata masyarakat dan tata pemerintahan Perancis banyak dipengaruhi oleh karya tulisan Philosophes, seperti Voltare (sebagai seorang penganut Rasionalisme banyak sekali mengemukakan kritikan atau kecaman terhadap kepincangan dan keganjilan yang terdapat di Perancis. ), Rousseau (membentangkan pendapatnya mengenai tata negara. Menurut dia kedaulatan dalam suatu negara harus berada ditangan rakyat.), dan Montesquie (menulis L'esprit des lois artinya jiwa undang-undang atau jiwa hukum. Dalam buku itu terdapat teorinya tentang Trias Politica. Ketiga kekuasaan yang dimaksud ialah : Legeslatif, Eksekutif dan Judikatif harus dipisah-pisahkan agar tidak terjadi sewenang-wenangan).
Buah pikiran para Philosophes itu bukan hanya mempengaruhi golongan borjius, melainkan juga mempengaruhi rakyat jelata yang lebih tertekan dan tertindas. Di Perancis makin lama makin tertimbun perasaan tidak puas. Pada abad ke-18 golongan borjius merupakan golongan minoritas. Bila mereka sendirian melancarkan aksi kebebasan kemerdekaan, maka tidak mungkin akan berhasil. Oleh sebab itu mereka lalu mengajak golongan rakyat jelata untuk bersama-sama melawan menantang golongan bangsawan dan padri. Sebagai akibatnya pada tahun 1789 meletus Revolusi Perancis. Jadi, Revolusi Perancis itu sebenarnya revolusinya golongan borjuis yang menuntut memperjuangkan kebebasan kemerdekaan. Mereka itu kemudian disebut Golongan Liberal (Golongan orang-orang yang bebas merdeka).[23]
Liberalisme adalah sebuah paham yang menghendaki adanya kebebasan kemerdekaan individu di segala bidang, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun agama.[24] Liberalisme adalah suatu ideologi dan pandangan falsafat serta tradisi politik yang mendasar pada kebebasan dan kesamaan hak. Pada umumnya liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat untuk bebas dengan kebebasan berfikir bagi setiap individu dengan menolak adanya pembatasan bagi pemerintah dan agama, hal tersebut merupakan paham dari liberalisme. Paham liberalisme berasal dari kata Spanyol yaitu “liberales” liberales merupakan nama suatu partai politik yang berkembang mulai pada abad ke-20 dimana pada waktu itu memiliki suatu tujuan demi memperjuangkan pemerintah yang berdasarkan konstitusi. Menurut faham itu titik pusat dalam hidup ini adalah individu karena ada individu, maka masyarakat dapat tersusun, dan karena ada individu pula negara dapat terbentuk. Oleh karena itu masyarakat atau negara harus selalu menghormati dan melindungi kebebasan kemerdekaan individu. Tiap-tiap Individu harus memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam bidang politik, ekonomi dan agama.
Dalam Bidang Politik  Terbentuknya suatu negara merupakan kehendak dari individu-individu, maka yang berhak mengatur menentukan segala-galanya adalah individu-individu itu, dengan kata lain kekuasaan tertinggi (kedaulatan) dalam suatu negara berada di tangan rakyat (demokrasi), supaya kebebasan atau kemerdekaan individu tetap di hormati dan dijamin, maka harus disusun dibentuk Undang-Undang, Hukum, Parlemen dan lain-lain. Demokrasi yang dikehendaki oleh golongan liberal tadi kemudian dikenal sebagai Demokrasi Liberal. Dalam alam, demokrasi liberal itu golongan yang kuat akan selalu memperoleh kemenangan, sedang golongan yang lemah akan selalu kalah. Meskipun demikian demokrasi itu hingga sekarang dapat berjalan dengan baik di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. [25]
Dalam bidang Ekonomi, Liberalisme menghendaki adanya sistem ekonomi besar. Tiap-tiap individu, tiap orang, harus memiliki kebebasan kemerdekaan dalam berusaha, memilih mata pencaharian yang disukai, mengumpulkan harta benda dan lain-lain. Pemerintah jangan mencampuri masalah perekonomian, karena masalah itu adalah masalahnya individu. Semboyan Kaum Liberal yang terkenal berbunyi adalah "Laisser faire, laisser passer, ie monde va de lui meme" artinya Produksi bebas, perdagangan bebas, dunia akan berjalan sendiri. Dalam alam ekonomi liberal akan terjadi persaingan hebat antara individu satu dengan individu lainnya. Pengusaha-pengusaha dengan modal besar akan mudah menelan pengusaha-pengusaha kecil, akibatnya timbulah perusahaan raksasa yang dapat menguasai perekonomian negara dan politik negara. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin makin lama makin bertambah lebar dan dalam. [26]
Dalam Bidang Agama, Liberalisme juga menganggap masalah agama sebagai masalah indiviu. Tiap-tiap individu harus memiliki kebebasan kemerdekaan beragama. Oleh sebab itu Liberalisme menolak campur tangan Pemerintah dalam bidang agama. Kebebasan kemerdekaan beragama menurut pendapat liberalisme dapat diartikan dengan  bebas merdeka memilih agama yang disukai, bebas merdeka menjalankan ibadah menurut agama yang dianutnya serta bebas merdeka untuk tidak memilih menganut masalah satu agama. 
D.2. Liberalis dan Filsafat Idealisme
Praktik Liberasi pada umumnya mencita-citakan suatu masyarakat untuk bebas dengan kebebasan berfikir bagi setiap individu. Praktik Liberasi terkait erat persoalan sosial, yakni harus muncul kepekaan atau empati sosial kita terhadap orang lain yang mengalami penindasan dan dominasi.
Jika filsafat Idealisme memandang hakikat manusia itu sebenarnya adalah jiwa dan roh atau jiwa dan bukan materi, bukan fisik yang dimana hakikat roh ini dapat berupa ide, gagasan atau pikiran sedangkan fungsi mental adalah apa yang tampak dalam tingkah laku. Jasmani adalah alat jiwa untuk melaksanakan tujuan, keinginan, dan dorongan jiwa manusia. Jadi Idealisme menganggap realitas itu adalah jiwa atau rohaniahnya maka inilah yang menggerakkan manusia. Itu artinya, praktik pembebasan oleh manusia oleh setiap individu dilakukan oleh tubuh yang digerakkan oleh jiwa. Pada sisi ini, pandangan kaum Idealis yang menitikberatkan pada persoalan jiwa tersebut, punya peran dalam praktik Liberasi. Jadi, seluruh praktik Liberasi digerakkan oleh jiwa atau rohani manusia itu sendiri.

E.   Pandangan Transendensi dan Filsafat Idealisme
E.1. Pengertian Transendensi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Transedental adalahmenonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian;sukar dipahami; gaib; abstrak. Transendental merupakan kata kerja yang asal katanya berasal dari bahasa latin transcendere yang artinya memenjat di/ke atas. Transendental. Komunikasi transendental adalah  komunikasi yang dilakukan atau yang terjadi antara manusia dengan Tuhannya. Jadi, partisipan dalam komunikasi transendental adalah Tuhan dan manusia.[27]
Pada saat itu sebenamya tidak ada pembatas antara manusia dengan Allah SWT.  Komunikasi langsung terjadi asal kita benar-benar punya keyakinan yang kuat bahwa  Allah ada di hadapan kita sedang memperhatikan dan mendengar doa kita.Takbir, ruku,  dan sujud adalah bentuk tawadhlu kita pada-Nya, memasrahkan seluruh jiwa dan raga kita pada Allah SWT. Dalam shalat kita berkonsentrasi penuh kepada Tuhan, seolah-olah kita sedang melihat Tuhan. Sebagaimana hadis Nabi saw, “Engkau beribadah kepada Allah seolaholah engkau melihat Allah. Jika kamu tidak melihat-Nya, yakinkan bahwa Allah melihat engkau.”
Dari hadis tersebut, dapat dipahami bahwa dalam beribadah kepada Allah, baik shalat, berdoa, maupun berzikir, kita harus konsentrasi penuh seolah-olah sedang berdialog langsung dengan Allah. Komunikasi spiritual antara manusia dan Tuhan, bila direnungkan secara seksama, sesungguhnya dipengaruhi oleh suara hati kita yang bersih.Suara hati kita yang bersih inilah yang disebut kecerdasan spiritual.Khusus tentang berdoa, sesungguhnya kita sedang meminta dan memohon kepada sesuatu yang lebih dari manusia, yaitu Tuhan (Allah).Ketika sedang memohon, kita sedang berkomunikasi secara transendental. Bahkan doa yang sering diucapkan oleh kaum muslimin dan muslimat setelah salat, "Ya Allah, berilah kami kebaikan didunia dan kebaikan di akhirat dan perihalalah kami dari siksa neraka" (QS. Al-Baqarah: 201).
Banyak lagi dalam ayat-ayat Al-Quran yang senada dengan doa-doa tersebut. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang berbunyi : “Bukanlahmenghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikatmalaikat, Kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang -orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, menegakkan Shalat, dan menunaikan Zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (beriman) dan mereka itulah orangorang yang bertaqwa” .[28]
Shalat yang dilakukan dengan dzikir dan doa akan sangat membantu menenangkan hati, jiwa dan raga kita sehingga gerak langkah kita hidup di dunia adalah atas dasar tutunan-Nya. Kita harus yakin bahwa tutuntan dan perlindungan Allah SWT dapat membuat hidup kita penuh makna untuk bekal di dunia dan akhirat sebagai perujudan dari komunikasi transendental yang effektif.
Dari pemaparan di atas, kita sudah memiliki gambaran apa sebenarnya komunikasi transendental. Pertanyaan selanjutnya adalah apa feedback dari komunikasi transendental dan apa efek yang diharapkan dari komunikasi transendental bagi mereka yang melakukannya. Tanda-tanda atau lambang-lambang dari komunikasi transendental, yaitu ayat-ayat Qur’aniyah (firman Allah SWT) dan ayat-ayat Kauniyah (alam semesta dan seisinya).[29]
Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imron, ayat 190 – 191 : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata) : ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. Yang terkandung dalam ayat ini adalah betapa Allah SWT kuasa menciptakan langit dan bumi. Bagaimana kita tidak terkagum-kagum dengan melihat isi alam semesta ini. Langit yang penuh dengan bintang-bintang bertebaran di malam hari.Benda gemerlap ini bagaikan titik sinar, yang pada ukuran sebenarnya adalah seukuran matahari, bahkan mungkin ada yang lebih besar dari matahari.Bumi yang bulat beredar mengelilingi matahari sesuai orbitnya, dengan kecepatan yang konstan. Isi bumi yang dihuni oleh manusia ini punya kelebihan-kelebihan dibanding planet-planet yang lain, itulah yang menyebabkan manusia hanya dapat hidup di planet bumi ini. Hutan yang hijau, barang tambang yang tersimpan dalam perut bumi, udara yang diperlukan, air yang berlimpah, dan masih banyak lagi rizki yang Allah limpahkan bagi manusia di muka bumi ini.Dengan kasih sayang yang telah Allah berikan itu, tentu tidaklah pantas apabila kita tidak merasa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada manusia. Sebagai partisipan komunikasi transendental yang efektif tentunya hati kita akan mudah tersentuh begitu melihat bulan dan bintang-bintang yang bertabaran dl langit pada malam hari karena menganggap bahwa itu bukan sekedar fenomena alam, tetapi adalah bentuk perwujudan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.[30]
Dalam Hadits Qudsi dijelaskan dialog yang sebenarnya terjadi antara manusia dengan Tuhannya saat sang hamba membaca surat Al-Fatihah, yaitu; Seorang hamba berkata : “Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam”. Lalu bagaimana dengan efek yang diharapkan dari komunikasi transendental ini? Efek yang diharapkan tidak lain dan tidak bukan tentu saja perubahan tingkah laku seseorang yang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Lebih sabar dan tawakal, setiap langkah yang diayunkan adalah tuntunan dari Allah SWT.[31]
Menurut Nina Syam, filsafat Islam yang dapat memengaruhi komunikasi transendental bisa di telusuri dari dimensi transendental yang ada dalam diri manusia yaitu: ruh, qolb, aql, dan nafs. 
1.      Ruh 
Ruh yang dimaksud Nina adalah ruh yang bermakna al-latifhah, yang berpotensi untuk mengenal dan mengetahui sesuatu (yang abtrak). Jika kita ingin mengenal diri kita, ketahuilah bahwa kita terdiri dari dua hal, yaitu hati dan apa yang dinamakan dengan jiwa, ruh. Ruh (nyawa manusia selalu mengikuti dan mengiringi apapun. Mengetahui hakikat serta mengenal sifat-sifat  diri kita merupakan kunci bagi mengenal Allah swt. Oleh karena itu, kita harus melakukan mujahadat (berjuang) sehingga dapat mengenali ruh (nyawa).Ruh merupakan unsur mulia dan anasir malaikat yang sumber asalnya adalah hadirat Illahi. Dari tempat itu dia datang dan kepada-Nyalah dia akan kembali.[32]
2.      Qalb
Qalb dalam pandangan Nina sama seperti qalb dalam konsep Al -Ghazali, bahwa qalb memiliki dua makna yaitu:
a.    daging yang berbentuk sanaubar (hati), yang terdapat di bagian kiri dada, dimana yang didalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Dalam rongga itulah terletak sumber atau pusat ruh (Al-Ghazali 2003, 83)
b.    Sesuatu yang sangat halus (al-lathifah), tidak kasat mata dan tidak dapat diraba. Untuk mengenal Allah, hati memerlukan kendaraan dan bekal.  Kendaraannya adalah badan dan bekalnya adalah ilmu. Sementara itu yang dapat mengantarkan dan memperoleh bekal adalah kebaikan. Bagi seorang hamba, ia tidak mungkin sampai kepada Allah swt selama dirinya tidak meninggalkan kecenderungan-kecenderungan syahwat dan melampaui kehidupan dunia.   Dalam rongga terletak sumber atau pusat ruh (Al-Ghazali, 2033: 83).
3.      Aql
Kata akal memiliki beberapa arti antara lain sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu, dimana ia sebagai sifat dari ilmu dan bertempat di hati, sebagai bagian dari manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan.Dalam setiap diri seseorang terdapat unsure pengetahuan yang menempati bsebuah wadah, dan pengetahuan itu merupakan sifat yang melekat pada wadah tersebut. Kata 'aql memiliki beberapa arti. Pertama, sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu, di mana ia sebagai sifat dari ilmu dan bertempat di hati. Kedua, sebagai bagian dari manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan, dan ini adalah hati {qalb) itu sendiri (al-Lathifah). (Al-Ghazali, 2003: 89). 
4.      Nafs
Kata nafs memiliki beberapa persamaan seperti: nafsu, seksual, jiwa, dan sebagainya. Namun dalam konteks pembahasan ini, Al-Ghazali hanya membatsi pada dua makna. Pertama, meliputi: kekuatan emosi, amarah, dan syahwat yang terdapat dalam diri manusia. Persoalan ini lebih rinci akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya, mengingat istilah ini banyak digunakan oleh kalangan sufi. Menurut mereka, nafsu merupakan sumber dominan yang cenderung melahirkan sifat-sifat tercela dalam diri manusia. Untuk itu, menurut mereka, nafsu harus diperangi dan dipatahkan, sebagaimana disyaratkan oleh Rasulullah saw. "Yang harus lebih dimusuhi di antara musuh-musuhmu adalah jiwamu (nafsumu) yang terdapat di antara kanan dan kirimu."Kedua, al-Lathifah seperti yang telah dibicarakan sebelumnya.Ia adalah sesuatu yang abstrak, yang membentuk diri manusia, yakni jiwa manusia (an-Nals al-Insani) dan esensinya. Jiwa manusia yang dimaksudkan di sini adalah konstruksi dari sifat-sifat nafsu yang cenderung berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan kondisi yang membangunnya.
   Diatas, telah dijelaskan secara gamblang mengenai pengertian transidental dan juga faktor-faktor yang mempengaruhinya yang bersumber dari pemikiran filosof islam. Lebih lanjut mengenai pembahasan transcendental adalah mengenai “Strukturalisme Transidental”.Strukturalisme disini adalah metode yang digunakan untuk memahami Islam.Namun ini jelas berbeda dengan metode hermeneutic (ilmu tafsir) yang tujuannya hanya memahami semata, Namun untuk metode strukturalisme ini adalah mencoba menerapkan ajaran-ajaran social yang terkandung dalam teks lama yakni al-Qur’an dan as-Sunnah pada konteks social masa kini. Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak orang termasuk mereka seorang muslim yang masih meragukan teks islam yang berasal dari abad ke-7 itu sebagai sumber ajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan modern. Disinilah tujuan dari metode strukturalisme transcendental.[33]
Jean Pigaet dalam structuralism menyebutkan tiga ciri dari struktur, yaitu (1) Wholeness (keseluruhan); (2) transformation (perubahan bentuk) dan (3) self-regulation (mengatur diri sendiri).[34]
1.      Keseluruhan (wholeness)
Keseluruhan ialah suatu koherensi (keterpaduan).Susunan struktur itu sudah lengkap, dan struktur bukan semata-mata terdiri dari kumpulan unsur-unsur yang lepas.Ada perbedaan antara keseluruhan dengan unsur-unsurnya; yang pertama adalah keutuhannya, sedangkan yang kedua adalah elemen-elemen yang membentuk keseluruhan itu.unsur-unsur dari sebuah struktur tunduk kepada hukum yang mengatur keseluruhan sistem itu. hukum yang mengatur sebuah struktur tidak dapat disusutkan kedalam penjumlahan dari hukum yang mengatur satu-demi-satu unsur-unsurnya. Unsur-unsur tidak berdiri sendiri secara terpisah, tetapi menjadi milik sebuah struktur.
Barangkali diperlukan sebuah contoh.Islam (menyerah kepada Tuhan) sebagai keseluruhan mempunyai unsur-unsur, seperti shalat, zakat, dan puasa.Masing-masing unsur itu mempunyai hukum tersendiri.Shalat misalnya mempunyai aturan mengenai syarat dan rukunnya.Demikian pula zakan dan puasa. Akan tetapi, dalam Islam ada gagasan  tentang Islam yang kaffah (total—lihat QS Al-Baqarah [2]: 208) yang tidak dapat disusutkan pada satu per satu unsur-unsur Islam. Orang yang shalat dengan rajin, membayar zakat dengan penuh, puasa dengan baik, belum tentu sempurna Islamnya. Pemenuhan satu per satu unsur-unsur  Islam tidak menjamin bahwa orang sudah ber-Islam secara kaffah. Memang orang yang sudah menjalankan unsur-unsur Islam dengan baik diharapkan dapat menangkap keseluruhan strukturnya.Akan tetapi, untuk sampai kesana perlu adanya loncatan pengetahuan.Jadi, dari unsur keseluruhan itu seperti listrik, dengan menekan tombol klik listrik punbyar. Dari klik ke byar itu yang diperlukan ialah intuisi (pengetahuan langsung, paham). Maka kita berdoa, “Rabbi zidni ‘ilman warzuqni fahman” (“Tuhanku, tambahlah ilmuku dan beri aku kepahaman [intuisi]”). Dalam hal ini artinya ialah” tambahlah ilmuku tentang unsur-unsur agama”, dan “berilah aku intuisi untuk dapat menangkap keseluruhannya”.Ilmu itu bisa bertambah dan bekurang, sedangkan paham itu sekali saja.
2.         Perubahan Bentuk (transformation).
Struktur itu tidaklah statis, karenanya gagasan mengenai perubahan bentuk itu menjadi  penting. Struktur mampu memperkaya diri dengan menambah bahan-bahan baru.Bahasa, misalnya, dapat menambah variasi ungkapan-ungkapannya tanpa harus keluar dari strukturnya. Akan tetapi, tidak seperti struktur lain yang telah lengkap sejak awal (bahasa, mitos, struktur sosial) yang menjadi kajian strukturalisme, Islam tumbuh dalam waktu yang terentang selama 23 tahun masa kerasulan Nabi.
Karenanya transformasi itu terjadi dalam masa pembentukannya secara temporal.Transformasi dari Islam yang semata-mata sebagai gerakan keagamaan (monoteisme menentang politeisme) pada periode Makkah menjadi gerakan sosial-politik pada periode Madinah.Islam juga mengalami transformasi secara spatial, historis, dan sosial. Secara spatial-historis-sosial Islam dapat berubah dari agama orang kota (Makkah, Madinah; abad ke-7; birokrat, pedagang) menjadi agama orang desa (Jawa; abad ke-16; petani) sehingga agama yang menekankan pentingnya syariah itu dapat pula menjadi agama yang menekankan sufisme. Di Indonesia, pada umumnya, Islam mengalami transformasi dengan berbagai variasinya. Bagi Jawa, transformasi itu masih ada kelanjutannya. Mula-mula Islam di Jawa adalah sufisme (petani, pedagang) kemudian jadi Islam politik dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Ajaran hablun minallah wa hablun minan-nas juga merujuk ke transformasi permanen, yaitu ibadah kepada Tuhan dapat menjadi solidaritas sosial antar manusia, aspek vertikal dapat menjadi aspek horizontal.
3.         Mengatur Diri Sendiri. (self-regulation).
Penambahan unsur-unsur baru tidak pernah berada di luar struktur, tetapi tetap memelihara struktur itu.Dengan demikian, sebuah struktur itu melestarikan diri sendiri dan tertutup dari kemungkinan pengaruh luar. Sebuah contoh akan memperjelas yang dimaksud dengan self-regulation dalam Islam. Tradisi pengambilan hukum melalui ijma’ (konsesus ulama), qiyas (analogi), fatwa, dan ijtihad selalu menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai rujukan sehingga perubahan dan penambahan unsur-unsur baru harus mempunyai kaitan yang jelas dengan Islam sebagai keseluruhan.Jaminan terhadapself-regulation itu diberikan oleh orisinalitas Al-Qur’an sebagai sumber yang autentik.
E.2. Transendensi dan Filsafat Idealisme
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, secara ringkas idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri atas ide-ide, fikiran-fikiran, akal (mind) atau jiwa (selves) dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind seagai hal yang lebih dahulu daripada materi.  Jika materialisme mengatakan bahwa materi adalah riil dan akal (mind) adalah fenomena yang menyertainya, maka idealisme mengatakan bahwa akal itulah yang riil dan materi adalah produk sampingan.
Idealisme Transendental (atau Idealisme Kritis) sendiri adalah pandangan bahwa pengalaman kita tentang hal adalah tentang bagaimana mereka muncul untuk kita (representasi), bukan tentang hal-hal seperti yang dalam dan dari diri mereka sendiri. Idealisme Transendental, secara umum, tidak menyangkal bahwa dunia objektif di luar diri kita ada, tetapi berpendapat bahwa ada sebuah realitas supra-masuk akal di luar kategori akal manusia yang disebut noumenon, secara kasar diterjemahkan sebagai "benda dalam dirinya sendiri". Namun, kita tidak dapat mengetahui apa "hal dalam dirinya" kecuali bahwa mereka bisa memiliki keberadaan mandiri di luar pikiran kita, meskipun mereka harus ada dalam representasi bawah sadar.
Doktrin ini pertama kali diperkenalkan oleh Immanuel Kant (dalam "Critique of Pure Reason" nya) dan juga didukung oleh Johann Gottlieb Fichte dan Schelling Friedrich, dan kemudian dibangkitkan di Abad ke-20 oleh Edmund Husserl.
Jenis Idealisme ini dianggap "transendental" dalam bahwa kita dalam beberapa hal dipaksa ke dalamnya dengan mempertimbangkan bahwa pengetahuan kita memiliki keterbatasan yang diperlukan, dan bahwa kita tidak pernah bisa mengetahui hal-hal sebagaimana adanya, benar-benar independen dari kita. Nama mungkin, bagaimanapun, dianggap kontra-intuitif dan membingungkan, dan Kant sendiri lebih memilih label Idealisme Kritis.[35]


Simpulan

A.  Simpulan
Idealisme adalah aliran filsafat yang menekankan idea (dunia roh) sebagai objek pengertian dan sumber pengetahuan. Idealisme berpandangan bahwa segala sesuatu yg dilakukan oleh manusia tidaklah selalu harus berkaitan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah, tetapi harus berdasarkan prinsip kerohanian (idea). Oleh sebab itu, Idealiseme sangat mementingkan perasaan dan fantasi manusia sebagai sumber pengetahuan.Idealisme berpendirian, bahwa kenyataan tersusun atas gagasan-gagasan (ide-ide) atau spirit.
Segala benda yang nampak berhubungan dengan kejiwaan dan segala aktivitas adalah aktivitas kejiwaan. Dunia ini dipandang bukan hanya sebagai mekanisme, tetapi dipandang sebagai sistem, dunia adalah keseluruhan (totalitas). Unsur material tetap ada, tetapi hanya merupakan bagian yang saling bersangkut paut dengan keseluruhan, dan segala penampakan secara materi hanya manifestasi dari pada aktifitas jiwa. Jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam susunan keseluruha dan segala fakta empiris diakui adanya dan hal itu mengandung konsepsi yang serba mungkin. Tetapi segala unsure materi dan fakta itu bukanlah sebagai realita yang sebenarnya. Jadi, hakikat roh ini dapat berupa ide atau pikiran. Menurut aliran ini, fungsi mental adalah apa yang tampak dalam tingkah laku. Jasmani adalah alat jiwa untuk melaksanakan tujuan, keinginan, dan dorongan jiwa manusia.
Humanisme memiliki dua arah, yakni humanisme individu dan humanisme sosial. Humanisme individu mengutamakan kemerdekaan  berpikir, mengeluarkan pendapat dan berbagai aktifitas yang kreatif. Kemampuan ini disalurkan melalui kesenian, kesusastraan, musik, teknologi dan penguasaan tentang ilmu kealaman. Humanisme sosial mengutamakan pendidikan bagi masyarakat keseluruhan untuk kesejahteraan sosial dan perbaikan hubungan antar manusia.
Dari pengertian humanis tersebut apabila dihubungkan dengan aliran filsafat idealisme memiliki arti bahwa tindakan yang memanusiakan manusia itu berasal dari ide atau gagasan murni dari manusia itu sendiri, yang mana ide tersebut ada berdasarkan keinginan hati nurani manusia untuk membangun hubungan baik manusia dan hubungan baik sesama manusia. Dengan begitu humanisme (amar ma’ruf) yang dibahas dalam komunikasi profetik yaitu bagaimana ide itu tercipta oleh manusia yang kemudian direalisasikan pada kenyataan sebagai manifestasi idea tau gagasannya untuk membuat kehidupan atau hubungan manusia itu menjadi lebih baik.
Praktik Liberasi pada umumnya mencita-citakan suatu masyarakat untuk bebas dengan kebebasan berfikir bagi setiap individu. Praktik Liberasi terkait erat persoalan kehidupan, yakni harus muncul kepekaan atau empati sosial kita terhadap orang lain yang mengalami penindasan dan dominasi. Jika filsafat Idealisme memandang hakikat manusia itu sebenarnya adalah jiwa dan roh atau jiwa dan bukan materi, bukan fisik yang dimana hakikat roh ini dapat berupa ide, gagasan atau pikiran sedangkan fungsi mental adalah apa yang tampak dalam tingkah laku.
Jasmani adalah alat jiwa untuk melaksanakan tujuan, keinginan, dan dorongan jiwa manusia. Jadi Idealisme menganggap realitas itu adalah jiwa atau rohaniahnya maka inilah yang menggerakkan manusia. Itu artinya, praktik pembebasan oleh manusia oleh setiap individu dilakukan oleh tubuh yang digerakkan oleh jiwa. Pada sisi ini, pandangan kaum Idealis yang menitikberatkan pada persoalan jiwa tersebut, punya peran dalam praktik Liberasi. Jadi, seluruh praktik Liberasi digerakkan oleh jiwa atau rohani manusia itu sendiri.
Idealisme Transendental (atau Idealisme Kritis) sendiri adalah pandangan bahwa pengalaman kita tentang hal adalah tentang bagaimana mereka muncul untuk kita (representasi), bukan tentang hal-hal seperti yang dalam dan dari diri mereka sendiri. Idealisme Transendental, secara umum, tidak menyangkal bahwa dunia objektif di luar diri kita ada, tetapi berpendapat bahwa ada sebuah realitas supra-masuk akal di luar kategori akal manusia yang disebut noumenon, secara kasar diterjemahkan sebagai "benda dalam dirinya sendiri".
Namun, kita tidak dapat mengetahui apa "hal dalam dirinya" kecuali bahwa mereka bisa memiliki keberadaan mandiri di luar pikiran kita, meskipun mereka harus ada dalam representasi bawah sadar. Jenis Idealisme ini dianggap "transendental" dalam bahwa kita dalam beberapa hal dipaksa ke dalamnya dengan mempertimbangkan bahwa pengetahuan kita memiliki keterbatasan yang diperlukan, dan bahwa kita tidak pernah bisa mengetahui hal-hal sebagaimana adanya, benar-benar independen dari kita. Nama mungkin, bagaimanapun, dianggap kontra-intuitif dan membingungkan, dan Kant sendiri lebih memilih label Idealisme Kritis. Kaum Idealis mengakui otoritas Tuhan, bahkan Tuhan sebagai jiwa universal inilah yang menggerakkan seluruh aktivitas atau kegiatan manusia. Manusia juga dianegerahi potensi spiritual, potensi untuk dekat dengan Tuhannya. Kerja humanisasi dan leberasi harus dalam bingkai nilai-nilai ketuhanann atau dengan kata lain merupakan perintahTuhan bagi manusia di bumi.


DAFTAR PUSTAKA

A. Faud Ihsan. Filsafat Ilmu,(Jakarta: Rineka Cipt, 2010)
Abdurrahman Mas’ud. 2004. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gema Media
Ahmad Suhelmi. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Ahmad. Tafsir, Filsafat Umum,(Bandung: Rosda, 2000)
Al-Qurtubi, Imam.2008. Al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an: Tafsir Al Qurtubi, penj., Dudi Rosyadi, et al., edit., Ahmad Zubairin. Jakarta: Pustaka Azzam.
Amin Abdullah. Komunikasi Profetik, Konsep dan Pendekatan. Simbiosa Rekatama Media. Bandung. 2007.
Ausop, Asep Zaenal. 2005.Modul Pendidikan Agama Islam di Institut Teknologi Bandung. Bandung: Jurusan Sosioteknologi Fakultas Seni Rupa dan Desain.
Bakry Hasbullah,Sistematika Filsafat,(Jakarta:Widjaja, 1961)
Definisi Transendental dalam http://kbbi.web.id/transendental
Fadhil.A Nur, Pengantar Filsafat Umum,(Medan: IAIN Press, 2011)
George.R.Knight(Terjemahan Dr.Muhammad Arif,M.Ag),Filsafat Pendidikan,(Yogyakarta: Gama Media, 2007)
A. Hanafi. Ihtisar Sejarah Filsafat Barat,(Jakarta: Pustaka Al Husna, 1981)
Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern dari Machiacelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Haryanto Al-Fandi. 2011. Desain Pembelajaran yang Demokratis & Humanis. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media
Hoigilt, Jacob.2011.Islamist Rhetoric: Language and Culture in Contemporary Egypt. Canada: Roudledge.
http:atauataukuliahfilsafat.blogspot.comatau2009atau04atauidealisme-maerialisme.htm,diakses pada tanggal 24 November 2012
Huda Nuralawiyah, Makalah: Filsafat: Kritisme (Immanuel Kant) dalam https://hudanuralawiyah.wordpress.com/2012/01/02/makalah-filsafat-kritisisme-immanuel-kant/
Imam Barnadib, Filsafat.
Indratno, A. Feri T. (ed). 2009. Negara Minus Nurani, Esai-esai Kritis Kebijakan Publik. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diperloleh Senin, 11 Mei 2015, dari : http://kbbi.web.id/
Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi dan Etika.  Yoogyakarta. Tiara Wacana. 2006.
Miriam Budiardjo (penyunting).1984. Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi.Jakarta : PT Gramedia
Perbawasari, Susie.2010. Karya Ilmiyah : Komunikasi Transendental. Bandung: Universitas Padjajaran.
Piaget, J. (1982). Reflections on Baldwin [interview with J. J. Vonèche]. In J. M. Broughton & D. J. Freeman-Moir (Eds.), The cognitive developmental psychology of James Mark Baldwin Norwood, NJ: Ablex. (New York : Harper dan Row, Publisher,1970)
Rapar.J.H, Filsafat Politik Plato,(Jakarta: CV.Rajawali, 1988)
Sukarna. 1981. Ideologi : Suatu Studi Ilmu Politik. Bandung: Penerbit Alumni
Tim Penagajar Unimed, Filsafat Pendidikan,(Medan: 2012)
Usiono, Aliran – Aliran Filsafat Pendidikan,(Medan: Perdana Publishing, 2011)
Uyoh Sadulloh, Pengantar.




[1] Rapar J.H, Filsafat Politik Plato,(Jakarta: CV.Rajawali, 1988), Hal. 57
[2] Tim Penagajar Unimed, Filsafat Pendidikan,(Medan: 2012), Hal. 21
[3] Bakry Hasbullah,Sistematika Filsafat,(Jakarta:Widjaja, 1961), Hal. 30
[4] George.R.Knight(Terjemahan Dr.Muhammad Arif,M.Ag),Filsafat Pendidikan,(Yogyakarta: Gama Media, 2007), Hal. 68
[5] Idealisme. http:atauataukuliahfilsafat.blogspot.comatau2009atau04atauidealisme-maerialisme.htm. diakses pada tanggal 24 November 2012
[6] Rapar.J.H, Filsafat Politik Plato,(Jakarta: CV.Rajawali, 1988), Hal. 18-19
[7] Usiono, Aliran – Aliran Filsafat Pendidikan,(Medan: Perdana Publishing, 2011), Hal. 104-108
[8] Hanafi.A, Ihtisar Sejarah Filsafat Barat,(Jakarta: Pustaka Al Husna, 1981), Hal. 56-57
[9] Fadhil.A Nur, Pengantar Filsafat Umum,(Medan: IAIN Press, 2011), Hal. 116-117
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,(Bandung: Rosda, 2000), Hal. 154
[11] A.Faud Ihsan. Filsafat Ilmu,(Jakarta: Rineka Cipt, 2010), Hal. 161
[12] Uyoh Sadulloh, Pengantar, Hal, 97.
[13] Ibid
[14] George R. Knight, Filsafat, Hal. 67.
[15] Imam Barnadib, Filsafat, Hal. 22.
[16] George R. Knight, Filsafat, Hal. 67.
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diperloleh Senin, 11 Mei 2015, dari : http://kbbi.web.id/
[20] Amin Abdullah. Komunikasi Profetik, Konsep dan Pendekatan. Simbiosa Rekatama Media. Bandung. 2007. Hal : 128.
[21] Dehumanisasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diperloleh Senin, 11 Mei 2015, dari : http://kbbi.web.id/
[22] Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi dan Etika.  Yoogyakarta. Tiara Wacana. 2006. Hal 87.
[24] Sukarna. 1981. Ideologi : Suatu Studi Ilmu Politik. Bandung: Penerbit Alumni
[25] Ahmad Suhelmi. 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
[26] Miriam Budiardjo (penyunting).1984. Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi.Jakarta : PT Gramedia
[27]Definisi Transendental dalam http://kbbi.web.id/transendental diakses pada 05 Mei 2015 pukul 9:12

[28]Susie Perbawasari, Karya Ilmiyah : Komunikasi Transendental ( Bandung: Universitas Padjajaran, 2010) hal. 3-5
[29]Asep Zaenal Ausop,Modul Pendidikan Agama Islam di Institut Teknologi Bandung( Bandung: Jurusan Sosioteknologi Fakultas Seni Rupa dan Desain, 2005) hal. 19

[30]Syaikh Imam Al-Qurtubi, Al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an: Tafsir Al Qurtubi, penj., Dudi Rosyadi, et al., edit., Ahmad Zubairin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) hal. 765-784
[31]Iman dan Komunikasi Transendental dalam http://dewiwidowati.blogspot.com/2008/10/iman-komunikasi-transendental.html diakses pada 05 Mei 2015 pukul 9:49

[32]Jacob Hoigilt, Islamist Rhetoric: Language and Culture in Contemporary Egypt. ( Canada: Roudledge, 2011) hal. 150


[33]Kuntowijoyo.Islam sebagai Ilmu. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006) hal. 29
[34]Piaget, J. (1982). Reflections on Baldwin [interview with J. J. Vonèche]. In J. M. Broughton & D. J. Freeman-Moir (Eds.), The cognitive developmental psychology of James Mark Baldwin Norwood, NJ: Ablex.(New York : Harper dan Row, Publisher,1970)

[35]Huda Nuralawiyah, Makalah: Filsafat: Kritisme (Immanuel Kant)dalam https://hudanuralawiyah.wordpress.com/2012/01/02/makalah-filsafat-kritisisme-immanuel-kant/ diakses pada 5 Mei 2015 pukul 10:27


0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com