PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada
tiga hal pokok selama masa 23 tahun karir kenabian Muhammada saw : pertama,
penegasan identitas umat atau nation building. Kedua, menejemen pengolahan
konflik. Ketiga, prinsip etik. Karena berbagai sebab dan alasan, umat beragama
dimana pun, termasuk di Indonesia akan selalu memiliki benih dan akar persoalan
konflik dan ketidakrukunan. Konflik berskala kecil atau besar, bisa terjadi
secara terbuka atau tertutup.
Dalam
dimensi keilmuan, jauh sebelum ilmu itu ada, berawalah semua ilmu dari
filsafat. Yang mana filsafat sendiri yaitu sering kali dianggap sebagai dasar
ilmu. Beberapa diantara aliran-aliran filsafat juga membahas mengenai profetik,
dalam artian komunikasi kenabian.
Kata
“profetik” berasal dari bahasa inggris prophetical yang mempunyai makna
Kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat nabi yang
mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi
juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan
melakukan perjuangan tanpa henti melawan penindasan. Dalam sejarah, Nabi
Ibrahim melawan Raja Namrud, Nabi Musa melawan Fir’aun, Nabi Muhammad yang
membimbing kaum miskin dan budak belia melawan setiap penindasan dan
ketidakadilan, mempunyai tujuan untuk menuju kearah pembebasan. Menurut Ali
Syari’ati dalam Hilmy (2008:179) para nabi tidak hanya mengajarkan dzikir dan
do’a tetapi mereka juga datang dengan suatu ideologi pembebasan.
Secara
definitif, pendidikan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang
tidak hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak
pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan
dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik. Kuntowijoyo
sendiri memang mengakuinya, terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu
seperti hendak memasukan sesuatu dari luar atau menolak sama sekali ilmu yang
ada
B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian Idealisme ?
2) Filosof dan Filsafat Idealisme ?
3) Humanis dan Filsafat Idealisme ?
4) Liberalis dan Filsafat Idealisme ?
5) Transendensi dan Filsafat Idealisme ?
C. Tujuan
1) Pengertian Idealisme
2) Filosof dan Filsafat Idealisme
3) Humanis dan Filsafat Idealisme
4) Liberalis dan Filsafat Idealisme
5) Transendensi dan Filsafat Idealisme
PEMBAHASAN
A. Idealisme
A.1.
Pengertian Idealisme
Idealisme adalah aliran filsafat yg menekankan “idea” (dunia roh), sebagai objek
pengertian dan sumber pengetahuan. Idealisme berpandangan bahwa segala sesuatu
yg dilakukan oleh manusia tidaklah selalu harus berkaitan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah,
tetapi harus berdasarkan prinsip kerohanian (idea). Oleh
sebab itu, Idealiseme sangat mementingkan perasaan dan fantasi manusia sebagai
sumber pengetahuan.[1]
Idealisme
berpendirian, bahwa kenyataan tersusun atas gagasan-gagasan (ide-ide) atau
spirit. Segala benda yang nampak berhubungan dengan kejiwaan dan segala aktivitas
adalah aktivitas kejiwaan. Dunia ini dipandang bukan hanya sebagai mekanisme,
tetapi dipandang sebagai sistem, dunia adalah keseluruhan (totalitas). Unsur
material tetap ada, tetapi hanya merupakan bagian yang saling bersangkut paut
dengan keseluruhan, dan segala penampakan secara materi hanya manifestasi dari
pada aktifitas jiwa. Jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam susunan
keseluruhan. Dan Segala fakta empiris diakui adanya dan hal itu mengandung
konsepsi yang serba mungkin. Tetapi segala unsure materi dan fakta itu bukanlah
sebagai realita yang sebenarnya.[2]
Seperti
kita ketahui bersama aliran idealisme dalam metafisika berpendirian bahwa
wujud yang paling dalam dari kenyataan ialah
yang bersifat kerohanian.Dalam
persoalan etika aliran idealisme ini berpendapat bahwa perbuatan manusia
haruslah tidak terikat pada sebab- musabab lahir tetapi setiap perbuatan
manusia haruslah didasarkan pada prinsip kerohanian yang lebih tinggi.[3]
A.2.
Latar belakang Idealisme
Aliaran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam
perkembangan sejarahpemikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat barat kita
temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam,
cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan yang menempati ruang ini hanya
berupa bayangan saja dari alam idea.
Aristoteles
memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam idea
sebagai suatu tenaga yang barada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya
dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa paham idealisme sepanjang masa
tidak pernah hilang sama sekali. Dimasa abad pertengahan malahan satu-satunya
pendapat yang disepakati oleh semua ahli fikir adalah dasar idealisme ini. Pada
zaman Aufklarung para filosof yang mengakui aliran serba dua (dualisme) seperti
Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan
kebendaan, maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting dari
pada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan pada
penganutidealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak
memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam.
Puncak zaman idalisme pada masa abad ke-18 dan 19
ketika priode idealisme.Secara historis, idealisme diformulasikan dengan jelas
pada abad IV sebelum masehi oleh Plato (427-347 SM). Athena, selama Plato
hidup, adalah kota yang barada dalam kondisi transisi (peralihan). Peperangan
bangsa Persia telah mendorong Athena memasuki era baru. Seiring dengan adanya
peperangan –peperangan tesebut, pedagangan dan perniagaan tumbuh subur dan orang-orang asingtinggal di
berbagai penginapan Athena dalam jumlah
besar untuk meraih keuntungan pendapatan
kekayaan yang melimpah. Dengan adanya hal itu, muncul berbagai
gagasan-gagasan baru kedalam lini budaya bangsa Athena. Gagasan-gagasan baru
tersebut dapat mengarahkan warga Athena untuk mengkritis pengetahuan dan
nilai-nilai tradisional. Saat itu pula
muncul kelompok baru dari kalangan pengajar (para Shopis).[4]
Ajarannya memfokuskan pada individualisme, karena
mereka berupaya menyiapkan warga untuk menghadapi peluang baru terbentuknya
masyarakat niaga. Penekanannya terletak pada individualisme, hal itu disebabkan
karena adanya pergeseran dari budaya komunal masa lalu menuju relativisme dalam
bidang kepercayaan dan nilai.Idealisme dengan penekanannya pada kebenaran yang tidak berubah,
berpengaruh pada pemikiran kefilsafatan. Selain itu, idealisme ditumbuh
kembangkan dalam dunia pemikiran modern.[5]
Pada
awal abad ke-20 aliran filosof yang dominan di Inggris adalah idealisme.
Kadang-kadang juga disebut neohegelianisme
Inggris, karena filsafat Hegel jelas sekali merupakan sumber inspirasi yang
utama bagi para penganut idealisme Inggris. Tetapi itu tidak bearti bahwa
filsuf-filsuf besangkutan hanya dipengaruhi oleh Hegel saja, sebab filsafat
Kant misalnya sering kali digunakan juga dan dari filsuf-filsuf Yunani mereka
menaruh perhatian khusus akan Plato. Sebelumnya idealisme merupakan suatu
aliran yang pada pandangan pertama tidak begitu cocok dengan tradisidan
kecondongan pemikiran Inggris. Dalam
sejarah filsafat Inggris sudah sejak Abad Pertengahan dapat dilihat suatu
kecenderungan akan hal-hal empiris dan semacam rasa segan tehadap metafisika.
Karena itu sangat mengherankan jika idealisme dapat mengalami sukses begitu
besar di Inggris, karena aliran ini adalah corak pemikiran yang jelas bersifat
spekulatif dan metafisis. Namun demikian, ada Sejara-sejarawan yang
berpendapatbahwa dalam sejarah pemikiran Inggris terdapat beberapa unsur yang
seakan-akan mempersiapkan idealisme itu (terutama Mazhab Platonistis di
Cambrigde dalam abad ke-17 dan filsafat Berkeley dalam abad ke-18). Anehnya,
idealisme menguasai filsafat di Inggris pada waktu Hegel sendiri sudah tidak
berpengaruh lagi di negri asalnya.
Idealisme
Inggris ini dapat dimengerti sebagai reaksi atas materialisme dan positivisme
yang merajalela di Eropa pada waktu itu dan khususnya atas filsafat John Stuart
Mill yang menguasai generasi filsuf-filsuf Inggris sebelum timbulnya idealisme.
Seperti sudah tampak dalam bagian
trakhir kutipan William James tadi, pada permulaan pasti ada harapan juga bahwa
filsafat yang mencari inspirasinya pada Hegel dapat menyajikan suatu dasar
filosofis yang teguh bagi agama Kristen. Tentu demikian halnya dalam buku yang
dianggap sebagai yang merintis jalan bagi gerakan neohegelian di Inggris.
Tetapi kita melihat bahwa dalam perkembangan lebih lanjut Idealisme Inggris
akhirnya tidak berkaitan lagi dengan agama.[6]
A.3.
Pandangan
Beberapa Filsuf Mengenai Idealisme
A.3.1.
Realitas
Filsafat
idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik.
Parmenides, filosof dari Elea (Yunani Purba), berkata, ”apa yang tidak dapat
dipikikan adalah nyata”. Plato, seorang filosof idealisme klasik (Yunani
Purba), menyatakan bahwa realitas trakhir adalah dunia cita. Hakikat manusia
adalah jiwanya, rohaninya, yakni apa yang “mind”. Mind merupakan suatu wujud
yang mampu menyadari dunianya, bahkan sebagai pendorong dan penggerak semua
tingkah laku manusia. Jiwa (mind) merupakan faktor utama yang menggerakkan
semua aktivitas manusia, badan atau jasmani tanpa jiwa tidak memiliki apa-apa.
A.3.2.
Pengetahuan
Tentang teori
pengetahuan, idealisme mengemukakan pandangannya bahwa pengetahuan yang
diperoleh melalui indera tidak pasti dan tidak lengkap, karena dunia hanyalah
merupakan tiruan belaka, sifatnya maya (bayangan), yang menyimpang dari
kenyataan yang sebenarnya, pengetahuan yang benar hanya merupakan hasil akal
belaka, karena akal dapat membedakan bentuk spritual murni dari benda-benda di
luar penjelmaan materi.
Hagel
menguraikan konsep Plato tentang teori pengetahuan dengan mengatakan bahwa
pengetahuan dikatakan valid, sepanjang sistematis, maka pengetahuan manusia
tentang realitas adalah benar dalam arti sismatis. Dalam teori pengetahuan dan
kebenaran, idealisme merujuk pada rasionalisme dan teori koherensi seperti yang
telah disinggung pada bab sebelumnya.
Dalam hal ini Henderson
(1959:215) mengemukakan bahwa :
Rasionalism mendasari teori
pengetahuan idealisme, mengemukakan bahwa indra kita hanya memberikan materi
mentah bagi pengetahuan. Pengetahuan tidak ditemukan dari pengalaman indera,
melainkan dari konsepsi, dalam prinsip-prinsip sebagai hasil aktvitas jiwa.
A.3.3.
Nilai
Menurut
pandangan idealisme, nilai ini absolut.Apa yang dikatakan baik,benar, salah,
cantik, atau tidak cantik, secara fundemental tidak berubah dari generasi ke
generasi.Pada hakikatnya nilai itu tetap.Nilai tidak diciptakan manusia
melainkan merupakan bagian dari alam semesta. Menurut Kant, Henderson
mengemukakan, “Every human bing looU upon
himself as an end, that is, of value in and of Kim self.He in not, in Kioe own
eyes, valuable only as a means to sometKing; else. He has value, infinite
value, as human being”. Imperative kategoris dan imperative praktis
merupakan perlakuan dan pembuatan kemanusiaan, baik mengenai diri sendiri
maupun orang lain.
Pandanglah
manusia sebagai tujuan, bukan sebagai alat semata.Setiap manusia memandang
dirinya sebagai tujuan, sebagai nilai yang datang dan berada dalam dirinya
sendiri.Ia, menurut pandangannya sendiri, tidak dapat dianggap sebagai alat
untuk mencapai tujuan orang lain.Manusiamemiliki nilai dan harkat kemanusiaan
yang tidak terbatas sebagai mahkluk manusia.
A.3.4.
Pendidikan
Selanjutnya,menurut
Horne, pendidikan merupakan proses abadi dari proses penyesuaian dari
perkembangan mental maupun fisik, bebas, dan sadar terhadap Tuhan,
dimanipestasikan dalam lingkungan Intelektual, emosional dan berkemauan. Pendidikan
merupakan pertumbuhan ke arah tujuan, yaitu pribadi manusia yang ideal.Mengenai
teori pengetahuan, intelek atau akal memegang peran yang sangat penting dan
menetukan dalam proses belajar mengajar. Mereka yakin bahwa akal manusia dapat
memproleh pengetahuan dan kebenaran sejati. Jadi, pengetahuan yang diajarkan
disekolah harus besifat intelektual. Filsafat, logika bahasa, dan matematika
akan memperoleh porsi yang besar dalam kurikulum sekolah. Inilah konsep
pendidikan yang bedasarkan pandangan idalisme.
Power (1982-89)
mengemukakan implikasi filsafat pendidikan idealisme sebagai berikut:
1) Tujuan
Pendidikan
Pendidikan formal dan informal bertujuan membentuk karakter, dan
mengembangkan bakat atau kemampuan
dasar, serta kebaikan sosial.
2) Kedudukan Siswa
Bebas untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasarnya atau bakatnya.
3) Peran Guru
Bekerja sama dengan alam dalam proses pengembangan manusia, terutama
betanggung jawab dalam menciptakan lingkungan pendidikan siswa.
4) Kurikulum
Pendidikan liberal untuk pengembangan kemampuan rasional, dan
pendidikan praktis untuk
memperoleh pekerjaan.
5) Metode
A.4.
Prinsif-Prinsif
Idealisme
1. Menurut
idealisme bahwa realitas tersusun atas substansi sebagaimana gagasan-gagasan
atau ide (sprit). Menurut penganut idealisme, dunia beserta bagian-bagiannya
harus dipandang sebagai suatu sistem yang masing-masing unsurnya saling
berhubungan. Dunia adalah suatu totalitas, suatu kesatuan yang logis dan
besifat spritual.
2. Realitas atau
kenyataan yang tampak di alam ini bukanlah kebenaran yang hakiki, melainkan
hanya gambaran atau dari ide-ide yang ada dalam jiwa manusia.
3. Idealisme
berpendapat bahwa manusia mengaggap roh atau sukma lebih beharga dan lebih
tinggi dari pada materi bagi kehidupan manusia. Roh pada dasarnya dianggap
sebagai suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut
sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Demikian pula terhadap alam adalah
ekspresi dari jiwa.
4. Idealisme
borientasi kepada ide-ide yang theo sentris (berpusat kepada Tuhan), kepada
jiwa, spritualitas, hal-hal yang ideal (serba cita) dan kepada norma-norma yang
mengandung kebenaran mutlak. Oleh karena nilai-nilai idalisme bercorak
spritual, maka kebanyakan kaum idealisme mempercayai adanya Tuhan sebagai ide
tertinggi atau Prima Causa dari kejadian alam semesta ini.
A.5.
Kelompok
Dalam Aliran Idealisme
Bermacam-macam
bentuk terdapat dalam aliran idealisme, namun kesemuanya tercakup dalam
pengertian sebagai berikut, Idealisme ialah suatu fikiran metafisika yang
mengatakan bahwa fikiran/roh (idealis) mempunyai wujud (bentuk) sendiri yang
terlepas dari alam semesta, dan bahwa fikiran (atau semacam fikiran), menjadi semua
sumber yang ada. Dengan demikian, maka aliran idealisme
merupakan kebalikan dari aliran materialisme, dan realisme.[8]
Ada tiga
kelompok dalam aliran ini. Pertama adalah apa yang disebut Berkeleian Idealisme yang dibangsakan kepada Berkeley yang
berpendapat bahwa analisis yang benar menunjukkan obyek material hanya
semata-mata terdiri dari gagasan-gagasan (ideas), baik dalam ilmu Tuhan atau
pada wakil-wakilnya sadar.
Kedua disebut Transcendental Idealisme (Idealisme
transedental). Istilah ini berasal dari Immanuel Kant yang dalam teorinya
tentang dunia eksternal. Kelompok ini terkadang juga disebut Critical Idealisme. Ini merujuk kepada
pendapatnya bahwa obyek-obyek pengalaman manusia, dalam pengertian benda-benda
yang wujud dalam ruangan dan bertahan dalam waktu tetentu, tidak lain dari pada
penampakan (appearances), dan tidak
punya eksistensi yang tepisah diluar pemikiran manusia. Istilah transcendental menunjukkan penalaran
Kant untuk pandangan ini, yakni bahwa hanya dengan menerimanya, kita baru dapat
mendapatkan pengetahuan apriori tentang obyek-obyek.
Ketiga adalah
Idealisme Obyektif, juga terkadang disebut Idealisme Absolut. Ini adalah
sejenis Idealisme yang pertama sekali di kembangkan oleh Hegel. Jika Idealisme
Berkeleian dan Idealisme obyektif bersifat monistik (satu) dengan
mempertahankan bahwa seluruh yang ada
merupakan bentuk dari akal yang satu, yaitu”Akal yang Absolut” (AbsolutMind).
Disamping Hegel, beberapa penganut Idealisme Inggris, seperti Green, Bradley
dan Bosanquet adalah pengikut aliran ini.[9]
A.6.
Tokoh-Tokoh
Aliran Idealisme
A.6.1.
Plato (477-347) Sebelum Masehi
Menurutnya,
cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak
diantara gambaran asli dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indra.
Dan pada dasarnya sesuatu itu dapat dipikirkan oleh akal, dan yang berkaitan
dengan ide atau gagasan. Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang
dikenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan
jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Menurut Plato kebaikan
merupakan hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide adalah memimpin
budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah
mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat
menggunakannya sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasi dan menilai segala
sesuatu yang dialami sehari-hari.
A.6.2.
Immanuel Kant (1724-1804)
Ia
menyebut filsafatnya idealis transedental atau idealis kritis dimana paham ini
menyatakan bahwa isi pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap
sebagai miliknya sendiri melainkan ruang dan watak adalah forum intuisi kita.
Menurut Khant, pengetahuan yang mutlak sebenarnya memang tidak akan ada bila
seluruh pengetahuan datang melalui indera. Akan tetapi, bila pengetahuan itu
datang dari luar melalui akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman.
Dapat disimpulkan bahwa filsafat idealis transendental menitik beratkan pada
pemahaman tentang sesuatu itu datang dari akal murni dan yang tidak bergantung
pada sebuah pengalaman.
A.6.3.
Pascal (1623-1662)
Kesimpulan dari
pemikiran filsafat Pascal antara lain:
Pengetahuan
diperoleh melalui dua jalan, pertama menggunakan akal dan kedua menggunakan
hati. Ketika akal dengan semua perangkatnya tidak dapat lagi mencapai suatu
aspek maka hatilah yang akan berperan. Oleh karna itu, akal dan hati saling
berhubungan satu sama lain. Apabila salah satunya tidak berfungsi dengan baik,
maka dalam memperoleh suatu pengetahuan itu juga akan mengalami kendala.Manusia
besar karena pikirannya, namun ada hal yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran
manusia yaitu pikiran manusia itu sendiri. Menurut Pascal manusia adalah
makhluk yang rumit dan kaya akan variasi serta mudah berubah. Untuk itu
matematika, pikiran dan logika tidak akan mampu dijadikan alat untuk memahami
manusia. Menurutnya alat-alat tersebut hanya mampu digunakan untuk memahami
hal-hal yang bersifat bebas kontradiksi, yaitu yang bersifat konsisten. Karena
ketidak mampuan filsafat dan ilmu-ilmu lain untuk memahami manusia, maka
satu-satunya jalan memahami manusia adalah dengan agama. Karena dengan agama,
manusia akan lebih mampu menjangkau fikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha
mencari kebenaran, walaupun bersifat abstrak.[10]
Filsafat bisa
melakukan apa saja, namun hasilnya tidak akan pernah sempurna. Kesempurnaan itu
terletak pada iman. Sehebat apapun manusia berfikir ia tidak akan mendapat
kepuasan karena manusia mempunyai logika yang kemampuannya melebihi dari logika
itu sendiri. Dalan mencari Tuhan Pascal tidak akan menggunakan metafisika,
karena selain bukan termasuk geometri tapi juga metafisika tidak akan mampu. Maka
solusinya ialah mengembalikan persoalan ke Tuhan pada jiwa. Filsafat bisa
menjangkau segala hal, tetapi tidak bisa secara sempurna. Karena setiap ilmu
itu pasti ada kekurangnnya, tidak terkecuali filsafat.
A.6.4.
J. G. Fichte (1762-1914) Sebelum
Masehi
Ia adalah
seorang filsuf Jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M). Pada tahun
1810-1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin. Filsafatnya disebut
“Wissenschaftslehre” (Ajaran Ilmu Pengetahuan).Secara sederhana pemikiran
Fichte: manusia memandang objek benda-benda dengan indranya. Dalam memgindra
objek tersebut, manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah
proses intelektualnya unuk membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi
pengertian seperti yang dipikirkannya. Hal tersebut bisa dicontohkan seperti,
ketika kita melihat sebuah meja dengan mata kita, maka secara tidak langsung
akal (rasio) kita bisa menangkap bahwa bentuk meja itu seperti yang kita lihat
(bebentuk bulat, persegi panjang, dll). Dengan adanya anggapan itulah akhirnya
manusia bisa mewujudkan dalam bentuk yang nyata.
A.6.5.
F. W. S. Schelling (1775-1854 M)
Schelling telah
matang menjadi seorang filsuf disaat dia masih amat muda. Pada tahun 1798 M,
dalam usia 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Univesitas Jena. Dia adalah
filsuf Idealis Jerman yang telah memutlakkan dasar-dasar pemikiran bagi
perkembangan Idealisme Hegel.
Inti dari filsafat Schelling: yang mutlak
atau rasio mutlak adalah sebagai identitas murni atau indefernsi, dalam arti
tidak mengenal perbedaan antara yang subyektif dengan yang obyektif. Yang
mutlak menjelmakan diri dalam 2 potensi yaitu yang nyata (alam sebagai objek)
dan ideal (gambaran alamyang subyektif dari subyek). Yang mutlak sebagai
identitas mutlak menjadi sumberroh (subyek) dan alam (obyek) yang subyektif dan
obyektif, yang sadar dan tidak sadar. Tetapi yang mutlak itu bukanlahroh dan
bukan pula alam, bukan yang obyektif dan bukan pula yang subyektif, sebab yang
mutlak adalah identitas mutlak atau indiferensi mutlak.Maksud dari filsafat
Schelling adalah, yang pasti dan bisa diterima akal adalah sabagai identitas
murni atau indeferensi, yaitu antara yang subjektif dan objektif sama atau
tidak dari perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh atau ide) sebagai
subjek, keduannya saling bakaitan. Dengan demikian yang mutlak itu tidak bisa
dikatakan hanya alam saja atau jiwa saja , melainkan antara keduannya.
A.6.6.
J. G. W. F. Hegel (1770-1031 M)
Ia belajar
teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh gelar Doktor.
Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu istilah
yang diilhami oleh agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang
tidak mutlak. Yang mutlakitu roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan
demikian sadarlah ia akan dirinya, roh itu dalam intinya ide (befikir).[11]
B. Pandangan Filosof dan Filsafat Idealisme
Filsafat idealisme memandang hakikat
manusia itu sebenarnya adalah roh, atau jiwa dan bukan materi, bukan fisik.
Hakikat roh ini dapat berupa ide atau pikiran.[12]
Menurut aliran ini, fungsi mental adalah apa yang tampak dalam tingkah laku.
Jasmani adalah alat jiwa untuk melaksanakan tujuan, keinginan, dan dorongan
jiwa manusia.
Hakikat manusia adalah jiwa atau
rohaninya (adayang menyebutnya “mind”),
yang merupakan suatu wujud yang bukan hanya mampu menyadari dunianya, bahkan
sebagai pendorong dan penggerak semua tingkah laku manusia.[13] Mind, yang dalam pandangan George R.
Knight adalah akar pikir, merupakan hal dasar atau lebih dulu ada bagi materi,
dan bahkan menganggap akal-pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan materi
adalah akibat yang ditimbulkan oleh akal-pikir/ jiwa (mind).[14] Imam Barnadib menyatakan bahwa
Idealisme memandang kenyataan itu terdiri dari atau tersusun atas substansi
sebagaimana gagasan-gagasan (ide-ide) atau spirit, alam fisik tergantung dari
jiwa universal atau Tuhan, yang berarti pula bahwa alam adalah ekspresi dari
jiwa tersebut.[15]
Idealisme Katolik berpandangan bahwa
realitas akhir adalah “God” dari tiga pribadi yang isebut “Trinitas”. Kaum ini
menganggap bahwa manusia adalah makhluk spiritual yang menggunakan kemauan
bebas (free will), dan secara
personal bertanggung jawab terhadap segala perbuatannya. Idealism agamis ini
tetap mengakui wahyu sebagai sumber otoritas kebenaran.[16]
Plato, seorang filosof idealism klasik
mengatakan bahwa jiwa manusia sebagai “roh” yang berasal dari “ide” eksternal
dan sempurna.[17] Pemikiran Plato ini
kemudian diwarisi oleh Immanuel Kant yang mrnyatakan bahwa manuisa itu bebas,
sepanjang ia sebagai spirit (jiwa),
dan terikat, karena manusia juga makhluk fisik yang tunduk terhadap hokum alam.[18]
Kaum idealis memandang anak sebagai
bagian dari alam spiritual yang memiliki pembawaan spiritual sesuai dengan
potensialitasnya. Apabila manusia mempelajari dunia alamiah, tidak akan
melibatkan atau menganggapnya sebagai mesin yang hebat dan besar yang berfungsi
tanpa isi dan tujuan.
C. Pandangan Humanisme dan Filsafat
Idealisme
C.1. Pengertian Humanisme
Istilah
humanisme berasal dari kata latin “humanitas” (pendidikan manusia dan dalam
bahasa yunani disebut paidoia pendidikan yang didukung oleh manusia-manusia
yang hendak menempatkan seni liberal sebagai materi atau sarana utamnya.
Dilihat dari
segi kebahasaan, humanisme berasal dari kata Latin humanus dan mempunyai akar
kata homo yang berarti manusia. Humanus berarti sifat manusiawi atau sesuai
dengan kodrat manusia (A.Mangunhardjana dalam Haryanto Al-Fandi, 2011:71).
Sebagai paham, pendukungnya disebut humanis. Secara terminologi, humanisme
berarti martabat dan nilai dari setiap manusia, dan semua upaya untuk
meningkatkan kemampuan-kemampuan alamiahnya (fisik nonfisik) secara penuh.
(Hasan Hanafi dalam Haryanto Al-Fandi, 2011:71).
Abdurrahman
Mas’ud (2004:135) mengemukakan bahwa humanisme dimaknai sebagai kekuatan atau
potensi individu untuk mengukur dan mencapai ranah ketuhanan dan menyelesaikan
permasalahan-permasalah sosial. Menurut pandangan ini, individu selalu dalam
proses menyempurnakan diri.
Humanisme
sebagai suatu aliran dalam filsafat, memandang manusia itu bermartabat luhur,
mampu menentukan nasib sendiri, dan dengan kekuatan sendiri mampu mengembangkan
diri. Pandangan ini disebut pandangan humanistis atau humanisme.
Pemakaian
istilah humanisme mula-mula terbatas pada pendirian yang terdapat di kalangan
ahli pikir di zaman Renaissance yang mencurahkan perhatian kepada pengajaran
kesusateraan Yunani dan Romawi Kuno dan kepada perikemanusiaan.
Posisi humanisme
sama dengan reformasi. Keduanya sama-sama mengunggulkan pencapaian individu.
Perbedaannya adalah bahwa humanisme, kebenaran yang mereka pikirkan tidak
terikat pada kebenaran Tuhan. Manusia adalah pusat, bukan Tuhan. Pemikiran
tersebut dipengaruhi oleh ilmu alam, kelak menjadi aliran rasionalisme.
Senaliknya aliran reformasi tidak memuja manusia dan keindahan, tetapi memuja
Tuhan. Kebahagiaan bukan di dunia, melainkan di surga.
Sejarah lahirnya
humanisme
Humansme lahir
di italy, pelopornya yaitu: petrarca dan boceaccio pusat gerakan ini ialah
filorence. Dari itali humanisme kemudian meluas ke eropa barat, dibantu oleh
kepandaian mencetak buku (1450).
Dimana-mana dicari karangan orang klasik. Setelah istanbul jatuh ke
tangan orang turki (1453) banyak sejarah yunani mengungsi ke ialy, mereka
mengembangkan kepandaian klasik. Perpustakaan didirikan di roma, venesia,
florence, dan ditempat-tempat lain. Dengan demikian dapatlah paham-paham baru
itu berkembang dengan cepat. Suasana iklim abad pertengahan diarahkan kepada
diessctgkeit. Tuhan sebagai pusat norma tertinggi mulai ditinggalkan orang.
Cita-cita manusia dicari pada manusia sendiri. Ukuran kebenaran, kesusilaan,
keindahan dicari dan didapatkan pada manusia pula.
Humanisme
memiliki tujuan yaitu untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan gereja dan
membebaskan akal budi dari kungkunganya
yang mengikat.
C.2. Humanisme dan Filsafat
Idealisme
Arti dari kata
idealisme sendiri adalah suatu setandar kesempurnaan, Keunggulan, Keindahan,
dan kebaikan, dapat juga diartikan sebagai objek tujuan sempurna dan hasrat
untuk mencapai suatu keinginan, Dalam Filsafat idealisme doktrin yang
mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya bisa difahami dengan ketergantungan
pada jiwa dan spiritual. Istilah ini diambil dari kata “idea” yang berarti
jiwa. Secara mudah idealisme dapat diartikan sebagai cita-cita yang ingin
dicapai oleh seseorang atau kelompok orang. Idealisme bukan sebarang cita-cita,
namun cita-cita yang tinggi dan luhur, suatu nilai kebenaran dan harga diri,
serta hasrat untuk mencapai hasil yang istimewa. Pada dasarnya setiap orang
mempunyai idealisme, dan merupakan salah satu hal penting dalam hidup
seseorang. Dengan idealisme orang dapat melakukan hal yang luar biasa, bertahan
pada suatu prinsip yang diyakini bahkan rela hidup menderita demi
mempertahankan pandangan dan kehormatan. Untuk apa mempertahankan idealism ?
Jawabnya, untuk mendapatkan kepuasan jiwa yang begitu mahal harganya. Kepuasan
dan kebahagiaan itu, tentu saja tidak dapat diukur dengan nilai uang atau
materi.
Humanisme adalah
aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan
hidup yang lebih baik.[19]
Cita-cita manusia mengarah kepada tingkah laku dan kesusilaannya. Manusia itu
amat tinggi derajatnya karena akal budinya, dan karena itu manusia lebih tinggi
dari makhluk lain di dunia ini. Dikenal pula idealisme estetis yang menganggap
kebaikan tertinggi adalah keindahan. Berarti manusia harus indah. Indah dalam
hal ini adalah indah baik rohani maupun jasmaninya. Keindahan ini dicapai
dengan menyempurnakan dirinya dan menyelaraskan segala kemampuannya dengan
keadaan dunia yang mengelilinginya.
Tujuan humanisasi
adalah memanusiakan manusia setelah mengalami dehuminasi.[20]
Dehumanisasi merupakan suatu proses yang menjadikan manusia tidak sesuai dengan
kodratnya sebagai manusia, melainkan hanya bisa menirukan atau melaksanakan
sesuatu yang di ukur dengan apa yang di milikinya dalam bentuk tertentu atau
bisa disebut juga penghilangan harkat martabat manusia.[21] Selain itu juga bertujuan untuk berusaha
mengangkat derajat manusia. Agar manusia tidak terobjectivasi (manusia hanya
menjadi objek) ditengah-tengah industrialisasi yang diciptakannya sendiri.[22] Jika objektivasi teknologi ini terjadi, maka
hakikat manusia telah direduksikan dan hanya dilihat secara persial. Manusia
hanya menjadi robot alias mesin-mesin industri.
Bentuk-bentuk
objektivasi yang konkret dalam kehidupan sehari-hari diantaranya yaitu manusia
membuat program, tapi kemudian deprogram oleh programnya sendiri. Manuisa
memprouksi barang konsumsi, tapi justru dipaksa menjadi konsumennya yang setia.
Manusia menciptakan birokrasi untuk memperlancar urusan, tapi justru kemudia
mempersulitnya.
Objektivasi
manusia menunjukkan bagaimana manusia tidak berdaya oleh mesin-mesin, oleh
sistem yang bahkan diciptakan oleh dirinya sendiri, ini artinya jiwa tidak
mampu lagi menuntun manusia untuk mengangkat derajat manusianya. Manusia sudah
seperti benda mati yang tak punyak perasaan, keinginan, dan hanya patuh pada
sistem dimana ia berada didalamnya.
Suatu aktivitas
atau tindakan manusia digerakkan oleh jiwa (mind). Kegoncangan atau
ketidakstabilan jiwa akan menyebabkan menusia tidak mampu mengontrol
aktivitasnya.jiwanya akan menjadi labil, mudah terombang-ambing dan tidak
berdaya terhadap suatu mekanisme (sistem) yang diciptakn.akibat tuntutan
realitas, manusia saat ini mudah sekali tersinggung, melakukan aksi-aksi anarkis
dan kerusuhan missal. Hal tersebut diakibatkan aleh kekumuhan spiritual, yang
merupakan musuh utama humanisasi. Gejala hidup individual, privat, tak mau tahu
terhadap masyarakat sekitar juga merupakan musuh humanisasi. Dalam kehidupan
post modern ini, hamper lazim diperkotaan, sebuah keluarga yang tahu dan tak
mau tahu perihal tetangga sebelah. Gejala ini sering disebut dengan
individualis
Kehidupan dengan
model individualis seperti ini membuat manusia mudah mengalami kekeringan jiwa,
maka upaya untuk mengangkat spiritualitas manusia yang hampir sirna ini
sangatlah dibutuhkan, demi keberlangsungan kehidupan manusia yang
mensejahteraan manusia. Pada dasarnya manusia tidak akan bisa mengingkari
dirinya bahwa dia hidup bermasyarakat, dan butuh adanya relasi yang baik, berinteraksi, dan bergaul
dengan sesamanya sesuai dengan naluri kemanusiaan yang dianugerahkan Tuhan
kepadanya.
Masyarakat
industrialis telah menjadikan manusia sebagai masyarakat abstrak tanpa wajah
kemanusiaan. Manusia dilihat secara persial, sehingga hakikat kemanusiaan itu
sendiri hilang.
Humanisme
memiliki dua arah, yakni humanisme individu dan humanisme sosial. Humanisme
individu mengutamakan kemerdekaan
berpikir, mengeluarkan pendapat dan berbagai aktifitas yang kreatif.
Kemampuan ini disalurkan melalui kesenian, kesusastraan, musik, teknologi dan
penguasaan tentang ilmu kealaman. Humanisme sosial mengutamakan pendidikan bagi
masyarakat keseluruhan untuk kesejahteraan sosial dan perbaikan hubungan antar
manusia.
Dengan begitu
humanisme (amar ma’ruf) yang dibahas dalam komunikasi profetik yaitu bagaimana
idealnya manusia yang memanusiakan manusia, yang kemudian direalisasikan pada
kenyataan sebagai manifestasi idea tau gagasannya untuk membuat kehidupan atau
hubungan manusia itu menjadi lebih baik.
D. Pandangan Liberalis dan Filsafat
Idealisme
D.1. Pengertian Liberalis
Liberalisme
pertama kali disuara gelorakan oleh golongan borjuis perancis pada abad ke-18
sebagai reaksi protes terhadap kepincangan keganjilan yang telah lama berakar
kuat di Perancis. Sebagai akibat warisan sejarah masa lampau, di Perancis
terdapat pemisahan pembedaan yang tajam sekali antara golongan berhak istimewa
dan golongan tanpa hak. Golongan
pertama memiliki segala-galanya. Seakan-akan golongan inilah yang
memiliki negara Perancis. Mereka terdiri dari kaum bangsawan dan kaum alim atau
ulama (padri). Golongan kedua
hanya memiliki kewajiban, tidak mempunyai hak apa-apa. Mereka itu adalah rakyat
Perancis, baik golongan borjuis yang kaya raya maupun golongan rakyat biasa.
Ibarat budak belian, rakyat harus selalu tunduk dan taat kepada tuannya, yaitu
kaum bangsawan dan kaum padri.
Golongan Borjius
yang diperlakukan sewenang-wenang tadi lalu berjuang untuk memperoleh kebebasan
kemerdekaan sebagai kaum penguasa mereka menuntut memperjuangkan kebebasan atau
kemerdekaan berusaha. Jadi kebebasan kemerdekaan dalam bidang ekonomi. Karena
sejak adanya Colbertisme (abad ke-17), pemerintah Perancis terlalu banyak
mencampuri masalah kebebasan ekonomi perdagangan, sehingga sangat mengekang
kebebasan kemerdekaan berusaha. Lambat laun tuntutan perjuangan golongan
borjius tadi tidak terbatas pada kebebasan kemerdekaan dalam bidang ekonomi
saja, melainkan juga dalam bidang politik dan agama. Reaksi protes golongan
borjius terhadap kepincangan atau keganjilan tata masyarakat dan tata
pemerintahan Perancis banyak dipengaruhi oleh karya tulisan Philosophes, seperti
Voltare (sebagai seorang penganut Rasionalisme banyak sekali mengemukakan
kritikan atau kecaman terhadap kepincangan dan keganjilan yang terdapat di Perancis. ),
Rousseau (membentangkan pendapatnya mengenai tata negara. Menurut dia
kedaulatan dalam suatu negara harus berada ditangan rakyat.), dan Montesquie
(menulis L'esprit des lois artinya jiwa undang-undang atau jiwa hukum. Dalam
buku itu terdapat teorinya tentang Trias Politica. Ketiga kekuasaan yang
dimaksud ialah : Legeslatif, Eksekutif dan Judikatif harus dipisah-pisahkan
agar tidak terjadi sewenang-wenangan).
Buah pikiran para Philosophes itu bukan hanya mempengaruhi golongan borjius,
melainkan juga mempengaruhi rakyat jelata yang lebih tertekan dan tertindas. Di
Perancis makin lama makin tertimbun perasaan tidak puas. Pada abad ke-18
golongan borjius merupakan golongan minoritas. Bila mereka sendirian
melancarkan aksi kebebasan kemerdekaan, maka tidak mungkin akan berhasil. Oleh
sebab itu mereka lalu mengajak golongan rakyat jelata untuk bersama-sama melawan
menantang golongan bangsawan dan padri. Sebagai akibatnya pada tahun 1789
meletus Revolusi Perancis. Jadi, Revolusi Perancis itu sebenarnya revolusinya
golongan borjuis yang menuntut memperjuangkan kebebasan kemerdekaan. Mereka itu
kemudian disebut Golongan Liberal
(Golongan orang-orang yang bebas merdeka).[23]
Liberalisme
adalah sebuah paham yang menghendaki adanya kebebasan kemerdekaan individu di
segala bidang, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun agama.[24]
Liberalisme adalah suatu ideologi dan pandangan falsafat serta tradisi politik
yang mendasar pada kebebasan dan kesamaan hak. Pada umumnya liberalisme
mencita-citakan suatu masyarakat untuk bebas dengan kebebasan berfikir bagi
setiap individu dengan menolak adanya pembatasan bagi pemerintah dan agama, hal
tersebut merupakan paham dari liberalisme. Paham liberalisme berasal dari kata
Spanyol yaitu “liberales” liberales merupakan nama suatu partai politik yang berkembang
mulai pada abad ke-20 dimana pada waktu itu memiliki suatu tujuan demi
memperjuangkan pemerintah yang berdasarkan konstitusi. Menurut faham itu titik
pusat dalam hidup ini adalah individu karena ada individu, maka masyarakat
dapat tersusun, dan karena ada individu pula negara dapat terbentuk. Oleh
karena itu masyarakat atau negara harus selalu menghormati dan melindungi
kebebasan kemerdekaan individu. Tiap-tiap Individu harus memiliki kebebasan dan
kemerdekaan dalam bidang politik, ekonomi dan agama.
Dalam Bidang Politik Terbentuknya
suatu negara merupakan kehendak dari individu-individu, maka yang berhak
mengatur menentukan segala-galanya adalah individu-individu itu, dengan kata
lain kekuasaan tertinggi (kedaulatan) dalam suatu negara berada di tangan
rakyat (demokrasi), supaya kebebasan atau kemerdekaan individu tetap di hormati
dan dijamin, maka harus disusun dibentuk Undang-Undang, Hukum, Parlemen dan
lain-lain. Demokrasi yang dikehendaki oleh golongan liberal tadi kemudian
dikenal sebagai Demokrasi Liberal. Dalam
alam, demokrasi liberal itu golongan yang kuat akan selalu memperoleh kemenangan,
sedang golongan yang lemah akan selalu kalah. Meskipun demikian demokrasi itu
hingga sekarang dapat berjalan dengan baik di negara-negara Eropa Barat dan
Amerika Serikat. [25]
Dalam bidang Ekonomi, Liberalisme
menghendaki adanya sistem ekonomi besar. Tiap-tiap individu, tiap orang, harus
memiliki kebebasan kemerdekaan dalam berusaha, memilih mata pencaharian yang
disukai, mengumpulkan harta benda dan lain-lain. Pemerintah jangan mencampuri
masalah perekonomian, karena masalah itu adalah masalahnya individu. Semboyan Kaum Liberal yang terkenal
berbunyi adalah "Laisser faire, laisser passer, ie monde va de lui
meme" artinya Produksi
bebas, perdagangan bebas, dunia akan berjalan sendiri. Dalam alam ekonomi
liberal akan terjadi persaingan hebat antara individu satu dengan individu
lainnya. Pengusaha-pengusaha dengan modal besar akan mudah menelan
pengusaha-pengusaha kecil, akibatnya timbulah perusahaan raksasa yang dapat
menguasai perekonomian negara dan politik negara. Jurang pemisah antara si kaya
dan si miskin makin lama makin bertambah lebar dan dalam. [26]
Dalam Bidang Agama, Liberalisme juga
menganggap masalah agama sebagai masalah indiviu. Tiap-tiap individu harus
memiliki kebebasan kemerdekaan beragama. Oleh sebab itu Liberalisme menolak
campur tangan Pemerintah dalam bidang agama. Kebebasan kemerdekaan beragama
menurut pendapat liberalisme dapat diartikan dengan bebas merdeka memilih agama yang disukai, bebas
merdeka menjalankan ibadah menurut agama yang dianutnya serta bebas merdeka
untuk tidak memilih menganut masalah satu agama.
D.2. Liberalis dan Filsafat
Idealisme
Praktik
Liberasi pada umumnya mencita-citakan suatu masyarakat untuk bebas dengan
kebebasan berfikir bagi setiap individu. Praktik Liberasi terkait erat
persoalan sosial, yakni harus muncul kepekaan atau empati sosial kita terhadap
orang lain yang mengalami penindasan dan dominasi.
Jika filsafat Idealisme memandang hakikat manusia
itu sebenarnya adalah jiwa dan roh atau jiwa dan bukan materi, bukan fisik yang
dimana hakikat roh ini dapat berupa ide, gagasan atau pikiran sedangkan fungsi
mental adalah apa yang tampak dalam tingkah laku. Jasmani adalah alat jiwa
untuk melaksanakan tujuan, keinginan, dan dorongan jiwa manusia. Jadi Idealisme
menganggap realitas itu adalah jiwa atau rohaniahnya maka inilah yang
menggerakkan manusia. Itu artinya, praktik pembebasan oleh manusia oleh setiap
individu dilakukan oleh tubuh yang digerakkan oleh jiwa. Pada sisi ini,
pandangan kaum Idealis yang menitikberatkan pada persoalan jiwa tersebut, punya
peran dalam praktik Liberasi. Jadi, seluruh praktik Liberasi digerakkan oleh
jiwa atau rohani manusia itu sendiri.
E. Pandangan Transendensi dan Filsafat
Idealisme
E.1. Pengertian Transendensi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Transedental adalahmenonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian;sukar
dipahami; gaib; abstrak.
Transendental merupakan kata kerja yang asal katanya berasal dari bahasa latin
transcendere yang artinya memenjat di/ke atas. Transendental. Komunikasi
transendental adalah komunikasi yang
dilakukan atau yang terjadi antara manusia dengan Tuhannya. Jadi, partisipan
dalam komunikasi transendental adalah Tuhan dan manusia.[27]
Pada saat itu
sebenamya tidak ada pembatas antara manusia dengan Allah SWT. Komunikasi langsung terjadi asal kita
benar-benar punya keyakinan yang kuat bahwa
Allah ada di hadapan kita sedang memperhatikan dan mendengar doa
kita.Takbir, ruku, dan sujud adalah
bentuk tawadhlu kita pada-Nya, memasrahkan seluruh jiwa dan raga kita pada
Allah SWT. Dalam shalat kita berkonsentrasi penuh kepada Tuhan, seolah-olah
kita sedang melihat Tuhan. Sebagaimana hadis Nabi saw, “Engkau beribadah kepada
Allah seolaholah engkau melihat Allah. Jika kamu tidak melihat-Nya, yakinkan
bahwa Allah melihat engkau.”
Dari hadis
tersebut, dapat dipahami bahwa dalam beribadah kepada Allah, baik shalat,
berdoa, maupun berzikir, kita harus konsentrasi penuh seolah-olah sedang
berdialog langsung dengan Allah. Komunikasi spiritual antara manusia dan Tuhan,
bila direnungkan secara seksama, sesungguhnya dipengaruhi oleh suara hati kita
yang bersih.Suara hati kita yang bersih inilah yang disebut kecerdasan spiritual.Khusus
tentang berdoa, sesungguhnya kita sedang meminta dan memohon kepada sesuatu
yang lebih dari manusia, yaitu Tuhan (Allah).Ketika sedang memohon, kita sedang
berkomunikasi secara transendental. Bahkan doa yang sering diucapkan oleh kaum
muslimin dan muslimat setelah salat, "Ya Allah, berilah kami kebaikan
didunia dan kebaikan di akhirat dan perihalalah kami dari siksa neraka"
(QS. Al-Baqarah: 201).
Banyak lagi dalam
ayat-ayat Al-Quran yang senada dengan doa-doa tersebut. Seperti firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 177, yang berbunyi : “Bukanlahmenghadapkan wajahmu
ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan
itu adalah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikatmalaikat, Kitab-kitab,
Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang -orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, menegakkan
Shalat, dan menunaikan Zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(beriman) dan mereka itulah orangorang yang bertaqwa” .[28]
Shalat yang
dilakukan dengan dzikir dan doa akan sangat membantu menenangkan hati, jiwa dan
raga kita sehingga gerak langkah kita hidup di dunia adalah atas dasar
tutunan-Nya. Kita harus yakin bahwa tutuntan dan perlindungan Allah SWT dapat
membuat hidup kita penuh makna untuk bekal di dunia dan akhirat sebagai
perujudan dari komunikasi transendental yang effektif.
Dari pemaparan di
atas, kita sudah memiliki gambaran apa sebenarnya komunikasi transendental.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa feedback dari komunikasi transendental dan
apa efek yang diharapkan dari komunikasi transendental bagi mereka yang
melakukannya. Tanda-tanda atau lambang-lambang dari komunikasi transendental,
yaitu ayat-ayat Qur’aniyah (firman Allah SWT) dan ayat-ayat Kauniyah (alam
semesta dan seisinya).[29]
Firman Allah dalam
Al-Qur’an surat Ali Imron, ayat 190 – 191 : “Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri,
duduk, atau dalam keadaan berbaring dan memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata) : ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
Yang terkandung dalam ayat ini adalah betapa Allah SWT kuasa menciptakan langit
dan bumi. Bagaimana kita tidak terkagum-kagum dengan melihat isi alam semesta
ini. Langit yang penuh dengan bintang-bintang bertebaran di malam hari.Benda
gemerlap ini bagaikan titik sinar, yang pada ukuran sebenarnya adalah seukuran
matahari, bahkan mungkin ada yang lebih besar dari matahari.Bumi yang bulat
beredar mengelilingi matahari sesuai orbitnya, dengan kecepatan yang konstan.
Isi bumi yang dihuni oleh manusia ini punya kelebihan-kelebihan dibanding
planet-planet yang lain, itulah yang menyebabkan manusia hanya dapat hidup di
planet bumi ini. Hutan yang hijau, barang tambang yang tersimpan dalam perut
bumi, udara yang diperlukan, air yang berlimpah, dan masih banyak lagi rizki
yang Allah limpahkan bagi manusia di muka bumi ini.Dengan kasih sayang yang
telah Allah berikan itu, tentu tidaklah pantas apabila kita tidak merasa
bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada manusia. Sebagai
partisipan komunikasi transendental yang efektif tentunya hati kita akan mudah
tersentuh begitu melihat bulan dan bintang-bintang yang bertabaran dl langit
pada malam hari karena menganggap bahwa itu bukan sekedar fenomena alam, tetapi
adalah bentuk perwujudan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.[30]
Dalam Hadits Qudsi dijelaskan dialog
yang sebenarnya terjadi antara manusia dengan Tuhannya saat sang hamba membaca
surat Al-Fatihah, yaitu; Seorang hamba berkata : “Segala puji bagi Allah, Tuhan
Semesta Alam”. Lalu bagaimana dengan efek yang diharapkan dari komunikasi
transendental ini? Efek yang diharapkan tidak lain dan tidak bukan tentu saja
perubahan tingkah laku seseorang yang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Lebih
sabar dan tawakal, setiap langkah yang diayunkan adalah tuntunan dari Allah
SWT.[31]
Menurut Nina Syam, filsafat Islam
yang dapat memengaruhi komunikasi transendental bisa di telusuri dari dimensi
transendental yang ada dalam diri manusia yaitu: ruh, qolb, aql, dan nafs.
1.
Ruh
Ruh
yang dimaksud Nina adalah ruh yang bermakna al-latifhah, yang berpotensi untuk
mengenal dan mengetahui sesuatu (yang abtrak). Jika kita ingin mengenal diri
kita, ketahuilah bahwa kita terdiri dari dua hal, yaitu hati dan apa yang
dinamakan dengan jiwa, ruh. Ruh (nyawa manusia selalu mengikuti dan mengiringi
apapun. Mengetahui hakikat serta mengenal sifat-sifat diri kita merupakan kunci bagi mengenal Allah
swt. Oleh karena itu, kita harus melakukan mujahadat (berjuang) sehingga dapat
mengenali ruh (nyawa).Ruh merupakan unsur mulia dan anasir malaikat yang sumber
asalnya adalah hadirat Illahi. Dari tempat itu dia datang dan kepada-Nyalah dia
akan kembali.[32]
2.
Qalb
Qalb
dalam pandangan Nina sama seperti qalb dalam konsep Al -Ghazali, bahwa qalb
memiliki dua makna yaitu:
a.
daging yang berbentuk sanaubar (hati), yang terdapat di bagian kiri
dada, dimana yang didalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Dalam
rongga itulah terletak sumber atau pusat ruh (Al-Ghazali 2003, 83)
b.
Sesuatu yang sangat halus (al-lathifah), tidak kasat mata dan tidak
dapat diraba. Untuk mengenal Allah, hati memerlukan kendaraan dan bekal. Kendaraannya adalah badan dan bekalnya adalah
ilmu. Sementara itu yang dapat mengantarkan dan memperoleh bekal adalah
kebaikan. Bagi seorang hamba, ia tidak mungkin sampai kepada Allah swt selama
dirinya tidak meninggalkan kecenderungan-kecenderungan syahwat dan melampaui
kehidupan dunia. Dalam rongga terletak
sumber atau pusat ruh (Al-Ghazali, 2033: 83).
3.
Aql
Kata
akal memiliki beberapa arti antara lain sebagai pengetahuan tentang hakikat
sesuatu, dimana ia sebagai sifat dari ilmu dan bertempat di hati, sebagai
bagian dari manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu
pengetahuan.Dalam setiap diri seseorang terdapat unsure pengetahuan yang
menempati bsebuah wadah, dan pengetahuan itu merupakan sifat yang melekat pada
wadah tersebut. Kata 'aql memiliki beberapa arti. Pertama, sebagai pengetahuan
tentang hakikat sesuatu, di mana ia sebagai sifat dari ilmu dan bertempat di
hati. Kedua, sebagai bagian dari manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap
ilmu pengetahuan, dan ini adalah hati {qalb) itu sendiri (al-Lathifah).
(Al-Ghazali, 2003: 89).
4.
Nafs
Kata
nafs memiliki beberapa persamaan seperti: nafsu, seksual, jiwa, dan sebagainya.
Namun dalam konteks pembahasan ini, Al-Ghazali hanya membatsi pada dua makna.
Pertama, meliputi: kekuatan emosi, amarah, dan syahwat yang terdapat dalam diri
manusia. Persoalan ini lebih rinci akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya,
mengingat istilah ini banyak digunakan oleh kalangan sufi. Menurut mereka,
nafsu merupakan sumber dominan yang cenderung melahirkan sifat-sifat tercela
dalam diri manusia. Untuk itu, menurut mereka, nafsu harus diperangi dan
dipatahkan, sebagaimana disyaratkan oleh Rasulullah saw. "Yang harus lebih
dimusuhi di antara musuh-musuhmu adalah jiwamu (nafsumu) yang terdapat di
antara kanan dan kirimu."Kedua, al-Lathifah seperti yang telah dibicarakan
sebelumnya.Ia adalah sesuatu yang abstrak, yang membentuk diri manusia, yakni
jiwa manusia (an-Nals al-Insani) dan esensinya. Jiwa manusia yang dimaksudkan
di sini adalah konstruksi dari sifat-sifat nafsu yang cenderung berbeda-beda,
sesuai dengan perbedaan kondisi yang membangunnya.
Diatas, telah dijelaskan secara gamblang
mengenai pengertian transidental dan juga faktor-faktor yang mempengaruhinya
yang bersumber dari pemikiran filosof islam. Lebih lanjut mengenai pembahasan
transcendental adalah mengenai “Strukturalisme Transidental”.Strukturalisme
disini adalah metode yang digunakan untuk memahami Islam.Namun ini jelas
berbeda dengan metode hermeneutic (ilmu tafsir) yang tujuannya hanya memahami
semata, Namun untuk metode strukturalisme ini adalah mencoba menerapkan
ajaran-ajaran social yang terkandung dalam teks lama yakni al-Qur’an dan
as-Sunnah pada konteks social masa kini. Tidak dapat dipungkiri bahwa masih
banyak orang termasuk mereka seorang muslim yang masih meragukan teks islam
yang berasal dari abad ke-7 itu sebagai sumber ajaran yang dapat diterapkan
dalam kehidupan modern. Disinilah tujuan dari metode strukturalisme
transcendental.[33]
Jean Pigaet
dalam structuralism menyebutkan tiga ciri dari struktur, yaitu (1) Wholeness
(keseluruhan); (2) transformation (perubahan bentuk) dan (3) self-regulation (mengatur
diri sendiri).[34]
1.
Keseluruhan (wholeness)
Keseluruhan ialah suatu koherensi
(keterpaduan).Susunan struktur itu sudah lengkap, dan struktur bukan
semata-mata terdiri dari kumpulan unsur-unsur yang lepas.Ada perbedaan antara
keseluruhan dengan unsur-unsurnya; yang pertama adalah keutuhannya, sedangkan
yang kedua adalah elemen-elemen yang membentuk keseluruhan itu.unsur-unsur dari
sebuah struktur tunduk kepada hukum yang mengatur keseluruhan sistem itu. hukum
yang mengatur sebuah struktur tidak dapat disusutkan kedalam penjumlahan dari
hukum yang mengatur satu-demi-satu unsur-unsurnya. Unsur-unsur tidak berdiri
sendiri secara terpisah, tetapi menjadi milik sebuah struktur.
Barangkali diperlukan sebuah contoh.Islam
(menyerah kepada Tuhan) sebagai keseluruhan mempunyai unsur-unsur, seperti
shalat, zakat, dan puasa.Masing-masing unsur itu mempunyai hukum
tersendiri.Shalat misalnya mempunyai aturan mengenai syarat dan
rukunnya.Demikian pula zakan dan puasa. Akan tetapi, dalam Islam ada
gagasan tentang Islam yang kaffah (total—lihat QS Al-Baqarah [2]: 208)
yang tidak dapat disusutkan pada satu per satu unsur-unsur Islam. Orang yang
shalat dengan rajin, membayar zakat dengan penuh, puasa dengan baik, belum
tentu sempurna Islamnya. Pemenuhan satu per satu unsur-unsur Islam tidak
menjamin bahwa orang sudah ber-Islam secara kaffah. Memang orang yang sudah menjalankan
unsur-unsur Islam dengan baik diharapkan dapat menangkap keseluruhan
strukturnya.Akan tetapi, untuk sampai kesana perlu adanya loncatan
pengetahuan.Jadi, dari unsur keseluruhan itu seperti listrik, dengan menekan
tombol klik listrik punbyar. Dari klik ke byar itu yang diperlukan ialah intuisi
(pengetahuan langsung, paham). Maka kita berdoa, “Rabbi zidni ‘ilman warzuqni fahman” (“Tuhanku, tambahlah ilmuku dan beri aku
kepahaman [intuisi]”). Dalam hal ini artinya ialah” tambahlah ilmuku tentang
unsur-unsur agama”, dan “berilah aku intuisi untuk dapat menangkap
keseluruhannya”.Ilmu itu bisa bertambah dan bekurang, sedangkan paham itu
sekali saja.
2.
Perubahan
Bentuk (transformation).
Struktur itu tidaklah statis, karenanya gagasan
mengenai perubahan bentuk itu menjadi penting. Struktur mampu memperkaya
diri dengan menambah bahan-bahan baru.Bahasa, misalnya, dapat menambah variasi
ungkapan-ungkapannya tanpa harus keluar dari strukturnya. Akan tetapi, tidak
seperti struktur lain yang telah lengkap sejak awal (bahasa, mitos, struktur
sosial) yang menjadi kajian strukturalisme, Islam tumbuh dalam waktu yang
terentang selama 23 tahun masa kerasulan Nabi.
Karenanya transformasi itu terjadi dalam masa
pembentukannya secara temporal.Transformasi dari Islam yang semata-mata sebagai
gerakan keagamaan (monoteisme menentang politeisme) pada periode Makkah menjadi
gerakan sosial-politik pada periode Madinah.Islam juga mengalami transformasi
secara spatial,
historis, dan sosial. Secara
spatial-historis-sosial Islam dapat berubah dari agama orang kota (Makkah,
Madinah; abad ke-7; birokrat, pedagang) menjadi agama orang desa (Jawa; abad
ke-16; petani) sehingga agama yang menekankan pentingnya syariah itu dapat pula
menjadi agama yang menekankan sufisme. Di Indonesia, pada umumnya, Islam
mengalami transformasi dengan berbagai variasinya. Bagi Jawa, transformasi itu
masih ada kelanjutannya. Mula-mula Islam di Jawa adalah sufisme (petani, pedagang)
kemudian jadi Islam politik dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Ajaran hablun minallah wa hablun minan-nas juga
merujuk ke transformasi permanen, yaitu ibadah kepada Tuhan dapat menjadi
solidaritas sosial antar manusia, aspek vertikal dapat menjadi aspek
horizontal.
3.
Mengatur
Diri Sendiri. (self-regulation).
Penambahan unsur-unsur baru tidak pernah berada
di luar struktur, tetapi tetap memelihara struktur itu.Dengan demikian, sebuah
struktur itu melestarikan diri sendiri dan tertutup dari kemungkinan pengaruh
luar. Sebuah contoh akan memperjelas yang dimaksud dengan self-regulation dalam Islam. Tradisi pengambilan hukum
melalui ijma’ (konsesus ulama), qiyas (analogi),
fatwa, dan ijtihad selalu menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai rujukan sehingga
perubahan dan penambahan unsur-unsur baru harus mempunyai kaitan yang jelas
dengan Islam sebagai keseluruhan.Jaminan terhadapself-regulation itu diberikan oleh orisinalitas
Al-Qur’an sebagai sumber yang autentik.
E.2. Transendensi dan Filsafat
Idealisme
Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, secara ringkas idealisme
mengatakan bahwa realitas terdiri atas ide-ide, fikiran-fikiran, akal (mind)
atau jiwa (selves) dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan
mind seagai hal yang lebih dahulu daripada materi. Jika materialisme mengatakan bahwa materi
adalah riil dan akal (mind) adalah fenomena yang menyertainya, maka idealisme
mengatakan bahwa akal itulah yang riil dan materi adalah produk sampingan.
Idealisme Transendental (atau Idealisme Kritis)
sendiri adalah pandangan bahwa pengalaman kita tentang hal adalah tentang
bagaimana mereka muncul untuk kita (representasi), bukan tentang hal-hal
seperti yang dalam dan dari diri mereka sendiri. Idealisme Transendental, secara
umum, tidak menyangkal bahwa dunia objektif di luar diri kita ada, tetapi
berpendapat bahwa ada sebuah realitas supra-masuk akal di luar kategori akal
manusia yang disebut noumenon, secara kasar diterjemahkan sebagai "benda
dalam dirinya sendiri". Namun, kita tidak dapat mengetahui apa "hal
dalam dirinya" kecuali bahwa mereka bisa memiliki keberadaan mandiri di
luar pikiran kita, meskipun mereka harus ada dalam representasi bawah sadar.
Doktrin ini pertama kali diperkenalkan oleh
Immanuel Kant (dalam "Critique of Pure Reason" nya) dan juga didukung
oleh Johann Gottlieb Fichte dan Schelling Friedrich, dan kemudian dibangkitkan
di Abad ke-20 oleh Edmund Husserl.
Jenis Idealisme ini dianggap
"transendental" dalam bahwa kita dalam beberapa hal dipaksa ke dalamnya
dengan mempertimbangkan bahwa pengetahuan kita memiliki keterbatasan yang
diperlukan, dan bahwa kita tidak pernah bisa mengetahui hal-hal sebagaimana
adanya, benar-benar independen dari kita. Nama mungkin, bagaimanapun, dianggap
kontra-intuitif dan membingungkan, dan Kant sendiri lebih memilih label
Idealisme Kritis.[35]
Simpulan
A. Simpulan
Idealisme adalah aliran filsafat yang menekankan “idea” (dunia roh) sebagai
objek pengertian dan sumber pengetahuan. Idealisme berpandangan bahwa segala
sesuatu yg dilakukan oleh manusia tidaklah selalu harus berkaitan dengan hal-hal yang bersifat lahiriah,
tetapi harus berdasarkan prinsip kerohanian (idea). Oleh
sebab itu, Idealiseme sangat mementingkan perasaan dan fantasi manusia sebagai
sumber pengetahuan.Idealisme berpendirian, bahwa kenyataan
tersusun atas gagasan-gagasan (ide-ide) atau spirit.
Segala benda yang nampak berhubungan dengan kejiwaan
dan segala aktivitas adalah aktivitas kejiwaan. Dunia ini dipandang bukan hanya
sebagai mekanisme, tetapi dipandang sebagai sistem, dunia adalah keseluruhan
(totalitas). Unsur material tetap ada, tetapi hanya merupakan bagian yang
saling bersangkut paut dengan keseluruhan, dan segala penampakan secara materi
hanya manifestasi dari pada aktifitas jiwa. Jiwa mempunyai kedudukan yang utama
dalam susunan keseluruha dan segala fakta empiris diakui adanya dan hal itu
mengandung konsepsi yang serba mungkin. Tetapi segala unsure materi dan fakta
itu bukanlah sebagai realita yang sebenarnya. Jadi, hakikat roh ini dapat berupa ide atau pikiran. Menurut aliran ini, fungsi mental
adalah apa yang tampak dalam tingkah laku. Jasmani adalah alat jiwa untuk
melaksanakan tujuan, keinginan, dan dorongan jiwa manusia.
Humanisme
memiliki dua arah, yakni humanisme individu dan humanisme sosial. Humanisme
individu mengutamakan kemerdekaan
berpikir, mengeluarkan pendapat dan berbagai aktifitas yang kreatif.
Kemampuan ini disalurkan melalui kesenian, kesusastraan, musik, teknologi dan
penguasaan tentang ilmu kealaman. Humanisme sosial mengutamakan pendidikan bagi
masyarakat keseluruhan untuk kesejahteraan sosial dan perbaikan hubungan antar
manusia.
Dari pengertian
humanis tersebut apabila dihubungkan dengan aliran filsafat idealisme memiliki
arti bahwa tindakan yang memanusiakan manusia itu berasal dari ide atau gagasan
murni dari manusia itu sendiri, yang mana ide tersebut ada berdasarkan
keinginan hati nurani manusia untuk membangun hubungan baik manusia dan
hubungan baik sesama manusia. Dengan begitu humanisme (amar ma’ruf) yang
dibahas dalam komunikasi profetik yaitu bagaimana ide itu tercipta oleh manusia
yang kemudian direalisasikan pada kenyataan sebagai manifestasi idea tau gagasannya
untuk membuat kehidupan atau hubungan manusia itu menjadi lebih baik.
Praktik Liberasi pada umumnya
mencita-citakan suatu masyarakat untuk bebas dengan kebebasan berfikir bagi
setiap individu. Praktik Liberasi terkait erat persoalan kehidupan, yakni harus
muncul kepekaan atau empati sosial kita terhadap orang lain yang mengalami
penindasan dan dominasi. Jika filsafat Idealisme memandang hakikat manusia itu
sebenarnya adalah jiwa dan roh atau jiwa dan bukan materi, bukan fisik yang
dimana hakikat roh ini dapat berupa ide, gagasan atau pikiran sedangkan fungsi
mental adalah apa yang tampak dalam tingkah laku.
Jasmani adalah alat jiwa untuk
melaksanakan tujuan, keinginan, dan dorongan jiwa manusia. Jadi Idealisme
menganggap realitas itu adalah jiwa atau rohaniahnya maka inilah yang
menggerakkan manusia. Itu artinya, praktik pembebasan oleh manusia oleh setiap
individu dilakukan oleh tubuh yang digerakkan oleh jiwa. Pada sisi ini,
pandangan kaum Idealis yang menitikberatkan pada persoalan jiwa tersebut, punya
peran dalam praktik Liberasi. Jadi, seluruh praktik Liberasi digerakkan oleh
jiwa atau rohani manusia itu sendiri.
Idealisme Transendental (atau Idealisme Kritis)
sendiri adalah pandangan bahwa pengalaman kita tentang hal adalah tentang
bagaimana mereka muncul untuk kita (representasi), bukan tentang hal-hal
seperti yang dalam dan dari diri mereka sendiri. Idealisme Transendental,
secara umum, tidak menyangkal bahwa dunia objektif di luar diri kita ada,
tetapi berpendapat bahwa ada sebuah realitas supra-masuk akal di luar kategori
akal manusia yang disebut noumenon, secara kasar diterjemahkan sebagai
"benda dalam dirinya sendiri".
Namun, kita tidak dapat mengetahui apa
"hal dalam dirinya" kecuali bahwa mereka bisa memiliki keberadaan
mandiri di luar pikiran kita, meskipun mereka harus ada dalam representasi
bawah sadar. Jenis Idealisme ini dianggap "transendental" dalam bahwa
kita dalam beberapa hal dipaksa ke dalamnya dengan mempertimbangkan bahwa
pengetahuan kita memiliki keterbatasan yang diperlukan, dan bahwa kita tidak
pernah bisa mengetahui hal-hal sebagaimana adanya, benar-benar independen dari
kita. Nama mungkin, bagaimanapun, dianggap kontra-intuitif dan membingungkan,
dan Kant sendiri lebih memilih label Idealisme Kritis. Kaum Idealis mengakui
otoritas Tuhan, bahkan Tuhan sebagai jiwa universal inilah yang menggerakkan
seluruh aktivitas atau kegiatan manusia. Manusia juga dianegerahi potensi
spiritual, potensi untuk dekat dengan Tuhannya. Kerja humanisasi dan leberasi
harus dalam bingkai nilai-nilai ketuhanann atau dengan kata lain merupakan
perintahTuhan bagi manusia di bumi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Faud Ihsan.
Filsafat Ilmu,(Jakarta: Rineka Cipt, 2010)
Abdurrahman
Mas’ud. 2004. Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Humanisme Religius
sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gema Media
Ahmad Suhelmi.
2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
Ahmad. Tafsir,
Filsafat Umum,(Bandung: Rosda, 2000)
Al-Qurtubi,
Imam.2008. Al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an: Tafsir Al Qurtubi, penj., Dudi Rosyadi,
et al., edit., Ahmad Zubairin. Jakarta: Pustaka Azzam.
Amin Abdullah.
Komunikasi Profetik, Konsep dan Pendekatan. Simbiosa Rekatama Media. Bandung.
2007.
Ausop, Asep
Zaenal. 2005.Modul Pendidikan Agama Islam di Institut Teknologi Bandung.
Bandung: Jurusan Sosioteknologi Fakultas Seni Rupa dan Desain.
Bakry
Hasbullah,Sistematika Filsafat,(Jakarta:Widjaja, 1961)
Fadhil.A Nur,
Pengantar Filsafat Umum,(Medan: IAIN Press, 2011)
George.R.Knight(Terjemahan
Dr.Muhammad Arif,M.Ag),Filsafat Pendidikan,(Yogyakarta: Gama Media, 2007)
A. Hanafi. Ihtisar
Sejarah Filsafat Barat,(Jakarta: Pustaka Al Husna, 1981)
Hardiman, F.
Budi. 2007. Filsafat Modern dari Machiacelli sampai Nietzsche. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Haryanto
Al-Fandi. 2011. Desain Pembelajaran yang Demokratis & Humanis. Jogyakarta:
Ar-Ruzz Media
Hoigilt,
Jacob.2011.Islamist Rhetoric: Language and Culture in Contemporary Egypt.
Canada: Roudledge.
http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-liberalisme-sejarah-liberalisme. html#_ . 4 Mei 2015. 20:14
http:atauataukuliahfilsafat.blogspot.comatau2009atau04atauidealisme-maerialisme.htm,diakses
pada tanggal 24 November 2012
Huda
Nuralawiyah, Makalah: Filsafat: Kritisme (Immanuel Kant) dalam https://hudanuralawiyah.wordpress.com/2012/01/02/makalah-filsafat-kritisisme-immanuel-kant/
Imam Barnadib,
Filsafat.
Iman dan
Komunikasi Transendental dalam http://dewiwidowati.blogspot.com/2008/10/iman-komunikasi-transendental.html
Indratno, A.
Feri T. (ed). 2009. Negara Minus Nurani, Esai-esai Kritis Kebijakan Publik.
Jakarta: Kompas Media Nusantara
Kuntowijoyo.
Islam sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi dan Etika. Yoogyakarta. Tiara Wacana. 2006.
Miriam
Budiardjo (penyunting).1984. Simposium Kapitalisme, Sosialisme,
Demokrasi.Jakarta : PT Gramedia
Perbawasari,
Susie.2010. Karya Ilmiyah : Komunikasi Transendental. Bandung: Universitas
Padjajaran.
Piaget, J.
(1982). Reflections on Baldwin [interview with J. J. Vonèche]. In J. M.
Broughton & D. J. Freeman-Moir (Eds.), The cognitive developmental
psychology of James Mark Baldwin Norwood, NJ: Ablex. (New York : Harper dan
Row, Publisher,1970)
Rapar.J.H,
Filsafat Politik Plato,(Jakarta: CV.Rajawali, 1988)
Sukarna. 1981.
Ideologi : Suatu Studi Ilmu Politik. Bandung: Penerbit Alumni
Tim Penagajar
Unimed, Filsafat Pendidikan,(Medan: 2012)
Usiono, Aliran
– Aliran Filsafat Pendidikan,(Medan: Perdana Publishing, 2011)
Uyoh Sadulloh,
Pengantar.
[1] Rapar J.H, Filsafat Politik Plato,(Jakarta: CV.Rajawali, 1988),
Hal. 57
[2] Tim Penagajar Unimed, Filsafat Pendidikan,(Medan: 2012), Hal. 21
[4] George.R.Knight(Terjemahan Dr.Muhammad Arif,M.Ag),Filsafat
Pendidikan,(Yogyakarta: Gama Media, 2007), Hal. 68
[5] Idealisme. http:atauataukuliahfilsafat.blogspot.comatau2009atau04atauidealisme-maerialisme.htm.
diakses pada tanggal 24 November 2012
[6] Rapar.J.H, Filsafat Politik Plato,(Jakarta: CV.Rajawali, 1988), Hal.
18-19
[7] Usiono, Aliran – Aliran Filsafat Pendidikan,(Medan: Perdana
Publishing, 2011), Hal. 104-108
[8] Hanafi.A, Ihtisar Sejarah Filsafat Barat,(Jakarta: Pustaka Al
Husna, 1981), Hal. 56-57
[9] Fadhil.A Nur, Pengantar Filsafat Umum,(Medan: IAIN Press, 2011),
Hal. 116-117
[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,(Bandung: Rosda, 2000), Hal. 154
[11] A.Faud Ihsan. Filsafat Ilmu,(Jakarta: Rineka Cipt, 2010), Hal. 161
[12] Uyoh Sadulloh, Pengantar, Hal, 97.
[13] Ibid
[14] George R. Knight, Filsafat, Hal. 67.
[15] Imam Barnadib, Filsafat, Hal. 22.
[16] George R. Knight, Filsafat, Hal. 67.
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diperloleh Senin, 11 Mei 2015, dari :
http://kbbi.web.id/
[20] Amin Abdullah. Komunikasi Profetik, Konsep dan Pendekatan. Simbiosa
Rekatama Media. Bandung. 2007. Hal : 128.
[21] Dehumanisasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diperloleh Senin, 11
Mei 2015, dari : http://kbbi.web.id/
[22] Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi dan
Etika. Yoogyakarta. Tiara Wacana.
2006. Hal 87.
[24] Sukarna. 1981. Ideologi : Suatu
Studi Ilmu Politik. Bandung: Penerbit Alumni
[25] Ahmad Suhelmi. 2007. Pemikiran Politik
Barat. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama
[26] Miriam Budiardjo (penyunting).1984.
Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi.Jakarta : PT Gramedia
[27]Definisi
Transendental dalam http://kbbi.web.id/transendental
diakses pada 05 Mei 2015 pukul 9:12
[28]Susie Perbawasari, Karya Ilmiyah : Komunikasi Transendental (
Bandung: Universitas Padjajaran, 2010) hal. 3-5
[29]Asep
Zaenal Ausop,Modul Pendidikan Agama Islam di Institut Teknologi Bandung(
Bandung: Jurusan Sosioteknologi Fakultas Seni Rupa dan Desain, 2005) hal. 19
[30]Syaikh Imam Al-Qurtubi, Al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an: Tafsir Al
Qurtubi, penj., Dudi Rosyadi, et al., edit., Ahmad Zubairin, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008) hal. 765-784
[31]Iman dan Komunikasi Transendental dalam http://dewiwidowati.blogspot.com/2008/10/iman-komunikasi-transendental.html
diakses pada 05 Mei 2015 pukul 9:49
[32]Jacob
Hoigilt, Islamist Rhetoric: Language and Culture in Contemporary
Egypt. ( Canada: Roudledge, 2011) hal. 150
[33]Kuntowijoyo.Islam sebagai Ilmu. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006)
hal. 29
[34]Piaget, J. (1982). Reflections on Baldwin
[interview with J. J. Vonèche]. In J. M. Broughton & D. J. Freeman-Moir
(Eds.), The cognitive developmental psychology of James Mark Baldwin
Norwood, NJ: Ablex.(New York :
Harper dan Row, Publisher,1970)
0 komentar:
Posting Komentar