Rabu, 12 April 2017

Semestinya Ungkapan

SEBUAH CERPEN

“Denganmu jiwa ini terisi. Aku mencintai engkau . Begitu besar tak tertandingi”

Kerumunan wartawan dari berbagai media, dengan kamera dan catatan ringkas di tangan mereka masing-masing, berbondong-bondong memenuhi ruangan megah di salah satu gedung terkenal di Ibukota. Siap melempar berbagai pertanyaan, dan siap pula mencatat jawaban narasumber. Kilau cahaya dari flash kamera para wartawan mengedip berkali-kali bak lampu disko yang menyorot. Ramai dan penuh. Puluhan fans juga turut memadati ruangan. Mengapa ? ada apa ?
Ternyata. Seorang penulis terkenal dengan berbagai karya mengagumkan sudah duduk manis di atas podium, siap menerima berbagai pertanyaan. Launching buku kelimanya setelah dua tahun berkiprah di dunia kata, yang menjadi ramai di kalangan newstaiment ini mendapat banyak perhatian, selain parasnya yang cantik, kritis serta puitis membuat Eralina menjadi terkenal sebagai salah satu pengarya terbaik bangsa. Buku-bukunya yang penuh kritik sosial dan menggugah, menyumbangkan banyak pemikiran baru bagi kehidupan bangsa yang penuh hiruk pikuk keributan sana-sini. Dan kali ini sedikit berbeda dengan tulisannya yang menggelitik dibanding buku-buku sebelumnya.
Dibuka pertanyaan tentang “Mengapa ?” oleh wartawan media cetak ternama di Ibukota. Era tersenyum, merasa yakin dengan kalimat yang sudah terangkai sempurna di kepalanya. Para wartawan pun siap menarikan jemari lentiknya masing-masing.
“Ada hak yang ingin saya gunakan. Setelah beberapa karya saya publikasikan dan mendapat respon yang luar biasa, saya merasa yakin dengan berbagai pengalaman pribadi yang saya miliki mungkin dapat memberikan motivasi bagi orang lain. Sekaligus saya ingin mempertegas makna mengenai suatu hal dengan berbagai tindakan yang saya utarakan dalam karya terbaru saya ini” nada yang tegas dan tatapan meyakinkan itu seakan menambah kredibilitas Era malam itu.
Sebagian sibuk mencatat, sebagian lagi mangut-mangut seolah begitu paham dengan jawaban Era. “Pemaknaan apa yang anda maksud ?” lanjut pertanyaan dari wartawan yang tepat berada di hadapan Era.
“Mengenai hitam, pahit dan penerimaan. Sebagian besar orang-orang tahu hitam itu gelap, tapi hanya sebagian kecil yang faham bahwa hitam itu elegan. Sayangnya, lebih banyak orang yang sibuk mencerca, memandang sebelah mata, tak tanggap hikmah, saling mencaci, menjadikan waktu mereka basi dan terbuang sia-sia. Ketimbang memaknai dan memahaminya dari sudut yang berbeda. Kita tahu kopi itu pahit, tapi tetap meminumnya kan ?, karena memang ada pahit yang bisa dinikmati.” Seluruhnya hening tak ada yang menyela. Mendengarkan begitu seksama dan nampak terpesona.
“Pasti ada cinta di antara manusia, dan tak semua kisah sama alurnya. Rindu, yang kata orang itu indah, tapi tidak bagi saya. Rindu itu jahat, menyita segala ruang dalam hati dan pikiran saya. Tapi ia baik, baik sekali. Membuat saya senang bermain kata, berteka-teki dengan segala kejadian, kemudian merantainya dalam karya. Cinta itu ide, tidak hanya berhenti jadi perasaan yang kemudian minta dituruti nafsunya. Cinta itu karya, tergantung bagaimana kita mengemasnya. Cinta itu sederhana, tapi tak bisa diremehkan. Cinta itu mewah, tapi tak perlu disanjung terlalu lama. Kita bisa jadi apa saja oleh cinta, tergantung bagaimana kita menjadikan cinta itu sebagai apa.”
“Lantas bagaimana kisah yang anda alami mengenai cinta ?”
“Kisah saya tak begitu indah, tapi pemaknaannya yang lebih sempurna membuat saya merasa beruntung mengenalnya. Dengan begitu membuat saya ingin dan selalu ingin menulisnya. Dari situlah bermula saya mengawali tulisan saya”
“Apa hubungannya antara cinta dengan kritik sosial yang selalu jadi tenar dari karya-karya anda mengenai politik dan berbagai permasalahan negara ? begitu pula dengan para tokoh yang anda angkat namanya ?”
“Semuanya bersebab akibat, kritik saya berdasarkan cinta. Mereka yang ada dalam karya saya juga pasti memiliki cinta. Memiliki alasan sendiri atas segala yang mereka lakukan.” Jawaban yang cukup singkat untuk pertanyaan ini. Semua orang tahu, Era selalu mengemas apik berbagai pendapat. Seperti kisah ibu Yani, pejabat Negara yang jadi narapidana atas perbuatan korupsi, ia tulis begitu lugas. Atau cerita menarik mantan presiden di balik kelucuannya. Tak memandang siapa ia, tapi apa dan bagaimana kebaikan yang dapat dilihat sekaligus dijadikan contoh. Dan kali ini ia sendiri yang jadi bahan tulisannya. Tak lepas dari kritik, sekalipun itu dirinya sendiri, pilihan kata dan kalimat puitis juga tak lepas dari goresannya.
“Siapakah laki-laki yang mengenalkan cinta pada anda ?”
Sedikit menggelitik, membuat Era tersenyum malu sebelum menjawabnya. “Ia saya kenal dari sebuah kata, sebuah nama. Ia pula yang mengajarkan saya tentang bahasa. Dan kita dipertemukan dalam sebuah karya. Awalnya saya jatuh cinta pada tulisannya, selanjutnya laki-laki itu seolah merangkai perasaan saya. Saya sempat jatuh tersungkur tak berdaya, termakan rindu dan terbakar cemburu. Tapi kemudian saya faham, tak sebodoh itu saya dapat dihancurkan. Rasa ingin memiliki hanya sebagian besar dari nafsu, dan cinta tak semenjijikkan itu. Saya tak pernah tahu perasaannya bagaimana, yang saya tahu hanya perasaan saya dan keputusan saya. Ada gelombang mengerah memaksa saya menghentikan semua, ada yang membuat saya harus pergi dari keterpurukan. Cinta adalah alasan saya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Cerita itu berlalu begitu saja, saya kemas dalam berbagai kesibukan, selanjutnya biar jadi urusan Tuhan. Dan dari sanalah yang membuat saya seperti saat ini.”
Semarak para undangan yang hadir bertepuk tangan, lagi dan lagi kamera ber-flash itu menyoroti Era, mengerdip berkali-kali menyilaukan. Seorang laki-laki berpenampilan layaknya wartawan senior di sudut ruangan itu tersenyum. Turut bertepuk tangan, kemudian menutup buku catatannya. Terlihat nama pada covernya bertuliskan “Elin-Afi”. Dan meninggalkan ruangan dengan perasaan bangga.
Keesokan harinya berita dan beberapa artikel mengenai malam itu muncul di berbagai media, membuat kepingan buku terbarunya laris seketika. Namun ada yang berbeda dan membuatnya sangat mengganjal. Di salah satu kolom majalah PARIS yang memuat artikel mengenai Launching karya terbaru Era, namanya tak tertulis seperti biasa, bukan Eralina, tetapi Elin. Serasa nama panggilan lamanya tersebut kembali, Era sedikit ragu mengenai siapa yang sengaja menulisnya, tapi nama itu adalah nama panggilan khusus dari laki-laki yang sempat menjatuhsungkurkannya. Jantungnya berdegup kencang, ada satu nama yang muncul dikepalanya, tapi ia tak berani menyebutnya. Tertahan dalam otaknya, dan seketika kembali memenuhi hatinya. Era tak lagi berani mengharap pertemuan, itu sudah dilampiaskan pada beberapa tulisannya. Dan itu sudah cukup membuatnya bangga. Merasa tak mau dirugikan, langsung ia hapus begitu saja perasaan yang hidup kembali itu. “Mana mungkin lelaki itu yang menuliskan nama lamaku. Ah … mungkin saja seorang teman lama yang memberitahu awak media itu.” Era berusaha mengalihkan pikiran. Melanjutkan kegiatannya. Kali ini ada jadwal Talkshow dari salah satu media nasional.
Selalu dan pasti, pakaian rapi dengan rambut gelombangnya yang serasi dengan parasnya membuat penampilannya semakin anggun. Begitu ceria dan tenang, acara dilaluinya, dan sontak penggemar tepuk tangan meramaikan ruangan.
Era meninggalkan, turun dan bergegas pulang. Tiba-tiba langkahnya terhenti pada sebuah lorong. Ada dua pria yang sedang bercakap serius. Layaknya seorang atasan dan anak buahnya. Mata Era bertemu pada sosok  yang tak asing baginya. Seseorang yang pernah ia cintai, hingga saat ini. Era kenal betul wajahnya yang masih sama, tak berubah seperti dulu, sorotan mata elangnya yang tajam, suaranya yang berat, dan rambutnya yang bergelombang. Tersentak dan tak tahu harus berbuat apa. Kali ini hatinya benar-benar tersambar, ada guncangan hebat dalam memorinya. Terpaksa membuka kejadian sembilan tahun silam atas sebuah nama. Menatapnya sekilas, tak berani terlalu lama, dan takut ketahuan. Era memaksa kakinya melanjutkan langkah, berusaha mengabaikan apa dan siapa yang dilaluinya. Berjalan begitu saja meninggalkan tanya bergelanjutan di kepala.
Pria itu menyadari kehadiran Era, sengaja melanjutkan perbincangan, lalu memandang pungung wanita itu menjauh meninggalkan. Sama, seketika getaran di hatinya jadi tak beraturan, semakin cepat dan menggemetarkan. Ia merasa jatuh cinta lagi, dengan orang yang sama.
Selang beberapa hari kemudian, keajaiban tak berhenti menyapa Era. Sepulang dari bertemu editornya, Era dikejutkan lagi oleh keramaian di rumahnya. Bukan wartawan yang hendak wawancara, apalagi teman-teman yang hendak main. Sedikit lebih resmi dan ruang tamunya penuh dengan orang. Ada sekeluarga yang berhadapan dengan ayah ibunya, membawa beberapa bingkisan. Era merasa heran, melewati pintu dengan ragu. Mengucap salam dan semua yang ada di ruang tamu itu menoleh ke arahnya.
Sebuah pertanyaan tiba-tiba dilayangkan untuk dirinya. Belum sempat menghela nafas, matanya bertemu pada sosok yang sangat tak asing baginya. Lelaki itu berdiri, menghampirinya. Membawa sebuah kotak perhiasan yang terbuka separuh, kilauan cincin itu semburat memenuhi pandangannya. “Afi ?” hanya ada satu kata, lengkap beserta air mata.
“Maaf, sembilan tahun aku sibuk dengan duniaku. Membiarkanmu sibuk sendiri mengungkapkan cinta. Elin, jadilah pendamping hidupku, kita akan ciptakan lebih banyak lagi karya bersama. Ya ?” *Choirotul Umayah

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com