“Denganmu jiwa ini terisi. Aku mencintai engkau . Begitu besar tak tertandingi”
Kerumunan wartawan dari berbagai media, dengan
kamera dan catatan ringkas di tangan mereka masing-masing, berbondong-bondong
memenuhi ruangan megah di salah satu gedung terkenal di Ibukota. Siap melempar
berbagai pertanyaan, dan siap pula mencatat jawaban narasumber. Kilau cahaya
dari flash kamera para wartawan
mengedip berkali-kali bak lampu disko yang menyorot. Ramai dan penuh. Puluhan
fans juga turut memadati ruangan. Mengapa ? ada apa ?
Ternyata. Seorang penulis terkenal dengan berbagai
karya mengagumkan sudah duduk manis di atas podium, siap menerima berbagai pertanyaan.
Launching buku kelimanya setelah dua tahun berkiprah di dunia kata, yang menjadi
ramai di kalangan newstaiment ini mendapat banyak perhatian, selain parasnya
yang cantik, kritis serta puitis membuat Eralina menjadi terkenal sebagai salah
satu pengarya terbaik bangsa. Buku-bukunya yang penuh kritik sosial dan
menggugah, menyumbangkan banyak pemikiran baru bagi kehidupan bangsa yang penuh
hiruk pikuk keributan sana-sini. Dan kali ini sedikit berbeda dengan tulisannya
yang menggelitik dibanding buku-buku sebelumnya.
Dibuka pertanyaan tentang “Mengapa ?” oleh wartawan
media cetak ternama di Ibukota. Era tersenyum, merasa yakin dengan kalimat yang
sudah terangkai sempurna di kepalanya. Para wartawan pun siap menarikan jemari
lentiknya masing-masing.
“Ada hak yang ingin saya gunakan. Setelah beberapa
karya saya publikasikan dan mendapat respon yang luar biasa, saya merasa yakin
dengan berbagai pengalaman pribadi yang saya miliki mungkin dapat memberikan
motivasi bagi orang lain. Sekaligus saya ingin mempertegas makna mengenai suatu
hal dengan berbagai tindakan yang saya utarakan dalam karya terbaru saya ini”
nada yang tegas dan tatapan meyakinkan itu seakan menambah kredibilitas Era malam
itu.
Sebagian sibuk mencatat, sebagian lagi mangut-mangut
seolah begitu paham dengan jawaban Era. “Pemaknaan apa yang anda maksud ?”
lanjut pertanyaan dari wartawan yang tepat berada di hadapan Era.
“Mengenai hitam, pahit dan penerimaan. Sebagian
besar orang-orang tahu hitam itu gelap, tapi hanya sebagian kecil yang faham
bahwa hitam itu elegan. Sayangnya, lebih banyak orang yang sibuk mencerca,
memandang sebelah mata, tak tanggap hikmah, saling mencaci, menjadikan waktu
mereka basi dan terbuang sia-sia. Ketimbang memaknai dan memahaminya dari sudut
yang berbeda. Kita tahu kopi itu pahit, tapi tetap meminumnya kan ?, karena
memang ada pahit yang bisa dinikmati.” Seluruhnya hening tak ada yang menyela.
Mendengarkan begitu seksama dan nampak terpesona.
“Pasti ada cinta di antara manusia, dan tak semua
kisah sama alurnya. Rindu, yang kata orang itu indah, tapi tidak bagi saya.
Rindu itu jahat, menyita segala ruang dalam hati dan pikiran saya. Tapi ia
baik, baik sekali. Membuat saya senang bermain kata, berteka-teki dengan segala
kejadian, kemudian merantainya dalam karya. Cinta itu ide, tidak hanya berhenti
jadi perasaan yang kemudian minta dituruti nafsunya. Cinta itu karya,
tergantung bagaimana kita mengemasnya. Cinta itu sederhana, tapi tak bisa diremehkan.
Cinta itu mewah, tapi tak perlu disanjung terlalu lama. Kita bisa jadi apa saja
oleh cinta, tergantung bagaimana kita menjadikan cinta itu sebagai apa.”
“Lantas bagaimana kisah yang anda alami mengenai
cinta ?”
“Kisah saya tak begitu indah, tapi pemaknaannya yang
lebih sempurna membuat saya merasa beruntung mengenalnya. Dengan begitu membuat
saya ingin dan selalu ingin menulisnya. Dari situlah bermula saya mengawali
tulisan saya”
“Apa hubungannya antara cinta dengan kritik sosial
yang selalu jadi tenar dari karya-karya anda mengenai politik dan berbagai
permasalahan negara ? begitu pula dengan para tokoh yang anda angkat namanya ?”
“Semuanya bersebab akibat, kritik saya berdasarkan
cinta. Mereka yang ada dalam karya saya juga pasti memiliki cinta. Memiliki
alasan sendiri atas segala yang mereka lakukan.” Jawaban yang cukup singkat
untuk pertanyaan ini. Semua orang tahu, Era selalu mengemas apik berbagai
pendapat. Seperti kisah ibu Yani, pejabat Negara yang jadi narapidana atas
perbuatan korupsi, ia tulis begitu lugas. Atau cerita menarik mantan presiden
di balik kelucuannya. Tak memandang siapa ia, tapi apa dan bagaimana kebaikan
yang dapat dilihat sekaligus dijadikan contoh. Dan kali ini ia sendiri yang
jadi bahan tulisannya. Tak lepas dari kritik, sekalipun itu dirinya sendiri, pilihan
kata dan kalimat puitis juga tak lepas dari goresannya.
“Siapakah laki-laki yang mengenalkan cinta pada anda
?”
Sedikit menggelitik, membuat Era tersenyum malu sebelum
menjawabnya. “Ia saya kenal dari sebuah kata, sebuah nama. Ia pula yang
mengajarkan saya tentang bahasa. Dan kita dipertemukan dalam sebuah karya. Awalnya
saya jatuh cinta pada tulisannya, selanjutnya laki-laki itu seolah merangkai
perasaan saya. Saya sempat jatuh tersungkur tak berdaya, termakan rindu dan
terbakar cemburu. Tapi kemudian saya faham, tak sebodoh itu saya dapat
dihancurkan. Rasa ingin memiliki hanya sebagian besar dari nafsu, dan cinta tak
semenjijikkan itu. Saya tak pernah tahu perasaannya bagaimana, yang saya tahu
hanya perasaan saya dan keputusan saya. Ada gelombang mengerah memaksa saya menghentikan
semua, ada yang membuat saya harus pergi dari keterpurukan. Cinta adalah alasan
saya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Cerita itu berlalu begitu saja,
saya kemas dalam berbagai kesibukan, selanjutnya biar jadi urusan Tuhan. Dan
dari sanalah yang membuat saya seperti saat ini.”
Semarak para undangan yang hadir bertepuk tangan,
lagi dan lagi kamera ber-flash itu
menyoroti Era, mengerdip berkali-kali menyilaukan. Seorang laki-laki
berpenampilan layaknya wartawan senior di sudut ruangan itu tersenyum. Turut
bertepuk tangan, kemudian menutup buku catatannya. Terlihat nama pada covernya
bertuliskan “Elin-Afi”. Dan meninggalkan ruangan dengan perasaan bangga.
Keesokan harinya berita dan beberapa artikel
mengenai malam itu muncul di berbagai media, membuat kepingan buku terbarunya
laris seketika. Namun ada yang berbeda dan membuatnya sangat mengganjal. Di
salah satu kolom majalah PARIS yang memuat artikel mengenai Launching karya
terbaru Era, namanya tak tertulis seperti biasa, bukan Eralina, tetapi Elin.
Serasa nama panggilan lamanya tersebut kembali, Era sedikit ragu mengenai siapa
yang sengaja menulisnya, tapi nama itu adalah nama panggilan khusus dari
laki-laki yang sempat menjatuhsungkurkannya. Jantungnya berdegup kencang, ada
satu nama yang muncul dikepalanya, tapi ia tak berani menyebutnya. Tertahan
dalam otaknya, dan seketika kembali memenuhi hatinya. Era tak lagi berani
mengharap pertemuan, itu sudah dilampiaskan pada beberapa tulisannya. Dan itu
sudah cukup membuatnya bangga. Merasa tak mau dirugikan, langsung ia hapus
begitu saja perasaan yang hidup kembali itu. “Mana mungkin lelaki itu yang
menuliskan nama lamaku. Ah … mungkin saja seorang teman lama yang memberitahu
awak media itu.” Era berusaha mengalihkan pikiran. Melanjutkan kegiatannya.
Kali ini ada jadwal Talkshow dari salah satu media nasional.
Selalu dan pasti, pakaian rapi dengan rambut
gelombangnya yang serasi dengan parasnya membuat penampilannya semakin anggun.
Begitu ceria dan tenang, acara dilaluinya, dan sontak penggemar tepuk tangan
meramaikan ruangan.
Era meninggalkan, turun dan bergegas pulang.
Tiba-tiba langkahnya terhenti pada sebuah lorong. Ada dua pria yang sedang
bercakap serius. Layaknya seorang atasan dan anak buahnya. Mata Era bertemu
pada sosok yang tak asing baginya.
Seseorang yang pernah ia cintai, hingga saat ini. Era kenal betul wajahnya yang
masih sama, tak berubah seperti dulu, sorotan mata elangnya yang tajam,
suaranya yang berat, dan rambutnya yang bergelombang. Tersentak dan tak tahu
harus berbuat apa. Kali ini hatinya benar-benar tersambar, ada guncangan hebat
dalam memorinya. Terpaksa membuka kejadian sembilan tahun silam atas sebuah
nama. Menatapnya sekilas, tak berani terlalu lama, dan takut ketahuan. Era memaksa
kakinya melanjutkan langkah, berusaha mengabaikan apa dan siapa yang
dilaluinya. Berjalan begitu saja meninggalkan tanya bergelanjutan di kepala.
Pria itu menyadari kehadiran Era, sengaja
melanjutkan perbincangan, lalu memandang pungung wanita itu menjauh
meninggalkan. Sama, seketika getaran di hatinya jadi tak beraturan, semakin
cepat dan menggemetarkan. Ia merasa jatuh cinta lagi, dengan orang yang sama.
Selang beberapa hari kemudian, keajaiban tak
berhenti menyapa Era. Sepulang dari bertemu editornya, Era dikejutkan lagi oleh
keramaian di rumahnya. Bukan wartawan yang hendak wawancara, apalagi
teman-teman yang hendak main. Sedikit lebih resmi dan ruang tamunya penuh
dengan orang. Ada sekeluarga yang berhadapan dengan ayah ibunya, membawa
beberapa bingkisan. Era merasa heran, melewati pintu dengan ragu. Mengucap
salam dan semua yang ada di ruang tamu itu menoleh ke arahnya.
Sebuah pertanyaan tiba-tiba dilayangkan untuk
dirinya. Belum sempat menghela nafas, matanya bertemu pada sosok yang sangat tak
asing baginya. Lelaki itu berdiri, menghampirinya. Membawa sebuah kotak
perhiasan yang terbuka separuh, kilauan cincin itu semburat memenuhi
pandangannya. “Afi ?” hanya ada satu kata, lengkap beserta air mata.
“Maaf, sembilan tahun aku sibuk dengan duniaku.
Membiarkanmu sibuk sendiri mengungkapkan cinta. Elin, jadilah pendamping
hidupku, kita akan ciptakan lebih banyak lagi karya bersama. Ya ?” *Choirotul Umayah
0 komentar:
Posting Komentar