Sebuah Cerpen
Penghujung hari selalu menjadi
waktu istimewa bagi jiwa yang perlu kontemplasi diri bersama alam sebagai
penawar berbagai rasa. Intropeksi sebagai evaluasi terhadap apa yang telah
berlalu pada hari ini, sekaligus sebagai waktu pengharapan terbaik bagi apa
saja yang hendak terjadi esok. Do’a adalah salah satu cara bagi manusia untuk
mengintegrasikan semua itu. Ada permohonan ampun atas segala khilaf, pun
permintaan kebaikan di kemudian waktu. Itulah yang dilakukan lelaki itu setiap
malam. Hingga hari-harinya pun selalu memiliki kisah menarik dibandingkan
dengan manusia lainnya.
Seperti biasanya, baju sudah
rapi, pun sepatu yang siap pakai. Lelaki itu berangkat kerja dengan penampilan
sederhana. Tak lupa senyum di awal hari selalu menjadi jadwal patennya untuk
memulai hari dengan berharap kebaikan. Perjalanan biasa pada rute yang biasanya
pula. Ia tak pernah pilih kasih, kepada siapapun yang memerlukan pertolongan
akan ia bantu. Tiba-tiba saja kucuran air di tengah perjalanan membasahi sebagian
kepalanya. Tanpa menghujat dan mencela, ia hanya tersenyum. Ia temukan tanaman
kering yang hendak mati tak berdaya di tengah sekarat membutuhkan siraman.
Prihatinnya menggerakkan kedua tangannya untuk memindah tanaman itu tepat di
bawah kucuran air itu terjatuh, dan kemudia air tak beraturan itu tumpah
menyuluruh, menyiram sebagian dan selanjutnya penuh mengenai seluruh
batang-batang kering itu.
Lelaki itu tak merasa rugi
sedikit pun, melanjutkan langkahnya. Berjalan begitu santai. Lagi. Ia melihat
ibu-ibu jualan yang sedang kesusahan mendorong gerobak dagangan yang terlihat
begitu berat. Lelaki itu pun segera menolong tanpa berpikir panjang. Ibu-ibu
penjual tersentuh hatinya akan kebaikan hati lelaki sederhana itu. Dan berharap
Tuhanlah yang akan membalas kebaikannya.
Hari semakin terik, sinar
matahari penuh membungkus kota, saatnya makan siang pun tiba. Rumah makan
pinggir jalan mulai ramai pengunjung. Lelaki itu pun memutuskan untuk berhenti
sejenak pada salah satu meja makan dan memesan nasi lengkap dengan lauk
pauknya. Tiba saja seekor anjing menghampirinya, masih dengan tersenyum ia pun
membagi ayamnya pada anjing itu. Si penjual yang melihat sepenggal kisah itu
pun heran, di tengah zaman serba canggih yang membuat sebagian besar manusia
menjadi lupa sosial masih ada orang yang begitu perhatian, sekalipun dengan
hewan.
Usai menyantap menu pesanannya,
ia pun melanjutkan lagi perjalanannya kembali. Tiba di ujung jalan, seorang
ibu-ibu pengemis beserta anak perempuan yang duduk hanya beralaskan kardus di
bawah terik yang menyengat. Tak tega dengan mereka, lelaki itu mengeluarkan
dompet dan melihat isinya. Tanpa pertimbangan macam-macam, sebagian besar uangnya
pun segera diperuntukkan gadis kecil itu. Seorang tua yang melihatnya terharu
dan hanya mampu menggelengkan kepala heran.
Tidak berhenti di sini, kebaikan
lelaki itu memang tiada duanya. Pada sebuah rumah kecil yang hanya berpenghuni
nenek renta, ia menanggalkan pisang pada ganggang pintu tanpa menunggu pintu
itu terbuka. Begitu berlanjut pada hari-hari kemudian, kebaikannya tak pernah
lupus dimakan lelah. Seperti biasa, lelaki itu berdo’a di ujung malam berharap
keberkahan di kemudian hari.
Hingga pada suatu hari
langkahnya terhenti di ujung jalan, ia tak menemukan ibu pengemis itu bersama
anaknya. Ia hanya duduk sendiri dengan menggenggam gelas untuk menadahkan belas
kasih orang yang berlalu lalang. Lelaki itu heran dan sempat shock. Kemudian, dari seberang jalan
gadis itu berteriak memanggil ibunya dengan berseragam sekolah lengkap berserta
tas dan sepatunya. Ada kebahagiaan yang tersirat dari raut wajahnya yang lugu.
Begitu pula yang dirasakan lelaki itu, ia turut bahagia yang tak ternilai seketika menyaksikan
kebaikannya membuat kebahagiaan bagi orang lain.
Ia merasa bahagia pula atas
kebahagiaan orang lain, begitulah bahagia sederhana baginya. Tak perlu meraih
langit yang tinggi, tak perlu pula berhidup mewah. Hanya dengan cukup dan tanpa
kurang, saling menolong hingga saling berbagi juga mampu menciptakan
kebahagiaan tersendiri, bahkan nilai bahagia yang tak terduga.
Dan seperti itu juga yang
diutarakan kupu-kupu yang kini tengah asyik menghisap nektar dari bunga mawar
putih yang telah hidup kembali. Bunga yang tumbuh subur dari rangkaian
batang-batang yang dulunya hampir mati mengering. Pula daun-daunnya yang hijau
menyeluruh pada tiap ujung tangkai. Berkat kebaikan lelaki itu pulalah yang
menjadikan tanaman ini memiliki semangat kembali untuk turut menghidupkan bumi.
Mawar itu mempersilahkan
kupu-kupu hinggap di kelopaknya, memersilahkan kupu-kupu mengambil sebagian
madunya. Ia saling berbagi dan membantu. Berharap kebaikan yang ia lakukan juga
akan menciptakan kebahagiaan. Seperti yang dilakukan lelaki itu pada dirinya.
Jika saja mawar itu mampu
berbicara, mungkin ia akan memetik salah satu bunganya dan mempersembahkan
sembari mengucap terima kasih pada lelaki baik hati yang murah sumringah itu.
Setitik kebaikan bukan hanya akan menciptakan kebahagiaan bagi orang lain,
melainkan juga kebahagiaan diri sendiri yang mungkin harganya jauh lebih mahal
ketimbang membeli langit. *Choirotul Umayah
0 komentar:
Posting Komentar