Jumat, 14 April 2017

Reinkarnasi

Sebuah Cerpen
Penghujung hari selalu menjadi waktu istimewa bagi jiwa yang perlu kontemplasi diri bersama alam sebagai penawar berbagai rasa. Intropeksi sebagai evaluasi terhadap apa yang telah berlalu pada hari ini, sekaligus sebagai waktu pengharapan terbaik bagi apa saja yang hendak terjadi esok. Do’a adalah salah satu cara bagi manusia untuk mengintegrasikan semua itu. Ada permohonan ampun atas segala khilaf, pun permintaan kebaikan di kemudian waktu. Itulah yang dilakukan lelaki itu setiap malam. Hingga hari-harinya pun selalu memiliki kisah menarik dibandingkan dengan manusia lainnya.
Seperti biasanya, baju sudah rapi, pun sepatu yang siap pakai. Lelaki itu berangkat kerja dengan penampilan sederhana. Tak lupa senyum di awal hari selalu menjadi jadwal patennya untuk memulai hari dengan berharap kebaikan. Perjalanan biasa pada rute yang biasanya pula. Ia tak pernah pilih kasih, kepada siapapun yang memerlukan pertolongan akan ia bantu. Tiba-tiba saja kucuran air di tengah perjalanan membasahi sebagian kepalanya. Tanpa menghujat dan mencela, ia hanya tersenyum. Ia temukan tanaman kering yang hendak mati tak berdaya di tengah sekarat membutuhkan siraman. Prihatinnya menggerakkan kedua tangannya untuk memindah tanaman itu tepat di bawah kucuran air itu terjatuh, dan kemudia air tak beraturan itu tumpah menyuluruh, menyiram sebagian dan selanjutnya penuh mengenai seluruh batang-batang kering itu.
Lelaki itu tak merasa rugi sedikit pun, melanjutkan langkahnya. Berjalan begitu santai. Lagi. Ia melihat ibu-ibu jualan yang sedang kesusahan mendorong gerobak dagangan yang terlihat begitu berat. Lelaki itu pun segera menolong tanpa berpikir panjang. Ibu-ibu penjual tersentuh hatinya akan kebaikan hati lelaki sederhana itu. Dan berharap Tuhanlah yang akan membalas kebaikannya.
Hari semakin terik, sinar matahari penuh membungkus kota, saatnya makan siang pun tiba. Rumah makan pinggir jalan mulai ramai pengunjung. Lelaki itu pun memutuskan untuk berhenti sejenak pada salah satu meja makan dan memesan nasi lengkap dengan lauk pauknya. Tiba saja seekor anjing menghampirinya, masih dengan tersenyum ia pun membagi ayamnya pada anjing itu. Si penjual yang melihat sepenggal kisah itu pun heran, di tengah zaman serba canggih yang membuat sebagian besar manusia menjadi lupa sosial masih ada orang yang begitu perhatian, sekalipun dengan hewan.
Usai menyantap menu pesanannya, ia pun melanjutkan lagi perjalanannya kembali. Tiba di ujung jalan, seorang ibu-ibu pengemis beserta anak perempuan yang duduk hanya beralaskan kardus di bawah terik yang menyengat. Tak tega dengan mereka, lelaki itu mengeluarkan dompet dan melihat isinya. Tanpa pertimbangan macam-macam, sebagian besar uangnya pun segera diperuntukkan gadis kecil itu. Seorang tua yang melihatnya terharu dan hanya mampu menggelengkan kepala heran.
Tidak berhenti di sini, kebaikan lelaki itu memang tiada duanya. Pada sebuah rumah kecil yang hanya berpenghuni nenek renta, ia menanggalkan pisang pada ganggang pintu tanpa menunggu pintu itu terbuka. Begitu berlanjut pada hari-hari kemudian, kebaikannya tak pernah lupus dimakan lelah. Seperti biasa, lelaki itu berdo’a di ujung malam berharap keberkahan di kemudian hari.
Hingga pada suatu hari langkahnya terhenti di ujung jalan, ia tak menemukan ibu pengemis itu bersama anaknya. Ia hanya duduk sendiri dengan menggenggam gelas untuk menadahkan belas kasih orang yang berlalu lalang. Lelaki itu heran dan sempat shock. Kemudian, dari seberang jalan gadis itu berteriak memanggil ibunya dengan berseragam sekolah lengkap berserta tas dan sepatunya. Ada kebahagiaan yang tersirat dari raut wajahnya yang lugu. Begitu pula yang dirasakan lelaki itu, ia turut bahagia  yang tak ternilai seketika menyaksikan kebaikannya membuat kebahagiaan bagi orang lain.
Ia merasa bahagia pula atas kebahagiaan orang lain, begitulah bahagia sederhana baginya. Tak perlu meraih langit yang tinggi, tak perlu pula berhidup mewah. Hanya dengan cukup dan tanpa kurang, saling menolong hingga saling berbagi juga mampu menciptakan kebahagiaan tersendiri, bahkan nilai bahagia yang tak terduga.
Dan seperti itu juga yang diutarakan kupu-kupu yang kini tengah asyik menghisap nektar dari bunga mawar putih yang telah hidup kembali. Bunga yang tumbuh subur dari rangkaian batang-batang yang dulunya hampir mati mengering. Pula daun-daunnya yang hijau menyeluruh pada tiap ujung tangkai. Berkat kebaikan lelaki itu pulalah yang menjadikan tanaman ini memiliki semangat kembali untuk turut menghidupkan bumi.
Mawar itu mempersilahkan kupu-kupu hinggap di kelopaknya, memersilahkan kupu-kupu mengambil sebagian madunya. Ia saling berbagi dan membantu. Berharap kebaikan yang ia lakukan juga akan menciptakan kebahagiaan. Seperti yang dilakukan lelaki itu pada dirinya.
Jika saja mawar itu mampu berbicara, mungkin ia akan memetik salah satu bunganya dan mempersembahkan sembari mengucap terima kasih pada lelaki baik hati yang murah sumringah itu. Setitik kebaikan bukan hanya akan menciptakan kebahagiaan bagi orang lain, melainkan juga kebahagiaan diri sendiri yang mungkin harganya jauh lebih mahal ketimbang membeli langit. *Choirotul Umayah

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com