1.
Film Sebagai Teks
Film adalah media representasi yang dihasilkan dari tindakan
pembacaan atau interpretasi atas realitas yang tak terbatas, yang tak mungkin
mampu ditangkap atau digambarkan secara utuh. Bahasa utama film adalah pada
bahasa gambar, maka rangkaian representasi
yang ditampilkan adalah rangkaian gambar-gambar yang muncul, bergerak
dari awal hingga akhir film itu sendiri. Representasi tidak pernah netral atau
bebas nilai karena ia dipilih untuk tujuan tertentu.[1]
Masalah Narasi
Narasi dalam sebuah film, terutama film dokumenter, baik berupa
audio atau teks, memiliki fungsi yang penting tetapi tidak mutlak sepanjang
film harus ada narasi. Gambar-gambar yang dipilih seharusnya adalah
gambar-gambar yang kuat secara visual dan langsung mampu berbicara sendiri pada
penonton. Narasi hanya berfungsi sebagai jembatan antara subjek gambar dengan
subjek penonton ketika gambar sulit memberikan penjelasan atau
karenaketerbatasan ruang dan waktu yang tidak memungkinkan semua gambar dapat
ditampilkan. Narasi dianggap berhasil, ketika ia mampu membantu penonton
memahami hal-hal yang tak terkatakan atau sulit ditampilkan oleh gambar. Narasi
akan dianggap gagal apabila terlalu berlebihan atau terlalu minim, sehingga
tidak mampu membantu penonton, bahkan dapat mengumpulkan bahasa gambar film,
atau lebih parah lagi, ia dapat menyesatkan penonton. Narasi dapat mendekatkan
penonton atau menjauhkan penonton dengan film.[2]
Masalah representasi dan narasi sangat penting dalam film. Hal ini
menyangkut masalah otoritas penulis sebagai pengirim, penonton sebagai
penerima, dan gambar-gambar yang dipilih sebagai pesan yang ingin disampaikan.
Di balik itu semua representasi ada pilihan. Di balik pilihan ada ideology yang
mendasari posisi keberpihakkan.[3]
Film sebagai teks, wilayah kajian yang dimaksudkan Barthes memang
sangat luas, mulai dari bahasa verbal seperti karya sastra hingga fashion atau
cara berpakian. Barthes melihat seluruh
produk budaya merupakan sebuah teks yang bisa dibaca secara otonom dari para
author (penulis)-nya. Namun Barthes tidak pernah membahas film secara terpisah
dalam sejarah karya-karyanya. Padahal film sebagai teks sekalipun punya cara
tutur yang berbeda dengan produk-produk budaya lainnya.[4]
Film termasuk sebagai teks karena didalamnya terdapat gambar-gambar
yang memiliki arti atau makna tertentu di balik visual yang ditayangkan. Selain
persegmennya, alasan atau motif dibuatnya film tersebut juga mengandung makan
tersendiri yang sesungguhnya sudahlah tersirat maksud dan tujuannya dari film
tersebut.[5]
2.
Tradisi Semiotika
Konsep dasar yang menyatukan tradi semiotika adalah tanda yang
didefinisikan sebagai stimuli yang menandakan atau menunjukkan beberapa kondisi
lain, seperti misalnya asap yang menandakan adanya api.
Konsep dasar kedua adalah symbol yang biasanya menandakan tanda
yang kompleks dengan banyak arti, termasuk arti yang sangat khusus. Beberapa
ahli memberikan perbedaan yang kuat anatara tanda dan symbol. Tanda dalam
realitasnya memiliki referensi yang jelas terhadap sesuatu, sedangkan symbol
tidak. Para ahli lainnya melihat sebagai tingkatan istilah yang berbeda dalam
kategori yang sama. Dengan perhatian pada tanda dan symbol, semiotik menyatukan
kumpulan teori-teori yang sangat luas yang berkaitan dengan bahasa, wacana dan
tindakan-tindakan nonverbal.
Dengan kata lain, arti sebuah tanda maupun symbol tergantung pada
gambaran atau pikiran seseorang dalam kaitannya dengan tanda dan benda yang
direpresentasikan oleh tanda.
Variasi dalam tradisi semiotik
Semiotik selalu dibagi kedalam 3 wilayah kajian :
1)
Semantik
Berbicara
tentang bagaimana tanda-tanda dihubungkan dengan yang ditunjukkan atau apa yang
ditunjukkan oleh tanda-tanda.
2)
Sintaktik
Mengacu
pada aturan-aturan yang dengannya orang mengkombinasikan tanda-tanda kedalam
sistem makna yang kompleks.
3)
Pragmatik
Memperlihatkan
bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan
praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda pada kehidupan sosial.
Pembagian
semantik, sintaktik, dan pragmatik digunakan secara luas untuk mengelola kajian
semantik. Namun tidak semua orang setuju bahwa ketiga dimensi semiotik ini
berkaitan satu sama lainnya, dan bahwa pemisahnya membantu dalam memahami aspek
yang berbeda.
3.
Madzab Semiotika
Ketika kita berbicara mengenai komunikasi dan hubungannya dengan
tanda dan makna, maka kita bicara mengenai “mazhab semiotika” yang sebelumnya
banyak kita bicarakan. Sebagaimana dikatakan oleh John Fiske, bahwa terdapat
dua mazhab utama dalam studi komunikasi :
Pertama disebut sebagai “mazhab proses” yang melihat komunikasi
sebagai transmisi pesan. Pendekatan ini, menurut Fiske, sangat tertarik dengan
bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan
menerjemahkan pesan (decode), dan dengan pada bagaimana transmitter
menggunakan media komunikasi. mazhab proses tertarik dengan hal-hal seperti
efisiensi dan akurasi, dan melihat komunikasi sebagai suatu proses yang
dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi
yang lain. Jika efek tersebut berbeda dari atau lebih kecil darpada yang
diharapkan, mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi, dan
melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui di mana kegagalan
tersebut terjadi. Mazhab ini cenderung mempergunakan ilmu-ilmu sosial terutama
psikologi dan sosiologi dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan
komunikasi.[6]
Sementara itu yang kedua adalah apa yang disebut oleh Fiske sebagai
“mazhab semiotika” yang melihat komunikasi sebagai produk dan pertukaran makna.
Pendekatan ini berkaitan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan
orang-orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni, yang berkenaan dengan
bagaimana peran teks dalam kebudayaan kita. Mazhab semiotika banyak menggunakan
istilah-istilah seperti pertandaan (signification), dan tidak memandang
kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi – hal ini
mungkin akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Mazhab
semiotika cenderung mempergunakan linguistic dan subjek seni, dan cenderung
memusatkan dirinya pada karya komunikasi. bagi mazhab ini, studi komunikasi
adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah
semiotika (ilmu tentang tanda dan makna).[7]
4.
Semiotika Dalam Membedah Makna
Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap
bahwa fenomena sodial atau masyarakat dan kebudayaannya merupakan tanda-tanda.
Artinya, semiotika mempelajari sistem-sistem aturan-aturan, konvensi-konmensi
yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dengan kata lain,
semiotikamempelajari relasi antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat
penggunanya.
Ada empat hal yang mesti diperhatikan dalam semiotika, yaitu jenis
tanda (ikon atau lambang), jenis sistem tanda (bahasa, musik atau gerakan
tubuh), jenis teks dan jenis konteks atau situasi yang mempengaruhi makna tanda
(kondisi psikologi, sosial, historis dan kultural).
Dalam sebuah film terdapat banyak sekali unsur di dalamnya yang
menjadi objek semiotika untuk diketahui makna dibalik penggunaan tanda tersebut,
mulai dari adegan, bahasa yang digunakan, musik yang dijadikan soundtrack,
gerakan tubuh pemain, busana yang dipakai, tempat yang menjadi lokasi shooting,
orang yang memerankan tokoh cerita, waktu, barang, dan masih banyak lagi.
Seringkali bahkan sangat wajar sebuah film dengan genre tertentu
juga menggunakan soundtrack sesuai dengan genre film itu sendiri, sebagian
besar beralasan sebagai penguat feel dari adegan dalam film tersebut.
Namun bisa saja berubah motif jika dilihat dari si penulis cerita atau orang
yang memilih soundtrack tersebut, karena yang berperan sebagai pengirim pesan
di sini adalah si penulis atau si pemilih musik tersebut.
Begitu juga dengan unsur film yang lainnya, seperti busana yang
digunakan, bahkan warna yang dipilih juga memiliki makna dan maksud tersendiri.
Seperti warna hitam yang melambangkan kematian atau, putih melambangkan
kesucian, merah melambangkan keberanian, dan lain sebagainya.
Semiotika seakan menjadi metode penelitian untuk mempelajari makna
yang tersurat dibalik simbol-simbol yang tersirat.
5.
Konotasi Dan Denotasi Teks
Kancah penelitian semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama
Roland Barthes (1915-1980) ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang
sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks.[8]
Konsep konotasi dan denotasi
yang digunakan oleh Roland Barthes adalah konsep dengan versi yang jauh lebih
sederhana saat membahas model ‘glossemastic sign’ (tanda-tanda
glossematic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, Barthes
mendefinisikan sebuah tanda (Sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri
dari (E) sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan content
(atau signified) (C) : ERC.
Sebuah sistem tanda primer (primary sign system) dapat
menjadi sebuah elemen ari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki
makna yang berbeda ketimbang semula.
Barthes menulis :
Such sign system can become an element of a more comprehensive sign
system. If the extension is one of content, the primary sign (E1R1C1) becomes the expression of a secondary sign system :
E2 = (E1R1C1) R2C2
,, [9]
(Roland Barthes dalam Indiwan Seto Wahyu Wibowo, 2013)
Dengan begitu, primary sign adalah denotative
sedangkan secondary sign adalah satu dari connotative semiotics.
Konsep connotative inilah yang menjadi kunci penting dari model
semiotika Roland Barthes.
Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama
merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content) di dalam
sebuah tanda terhadap realitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai
denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign).
Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan
signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika
tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari
kebudayaannya.
Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak
intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda
terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara
menggambarkannya.
Konotasi bekerja dalam tingkat subjek sehingga kehadirannya tidak
disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif.[10]
Karena itu, slaah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan
metode analisis dan kerangka berpikir dana mengatasi terjadinya salah baca (misreading)
atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda.[11]
[1]Ericassono http://ericassono.blogspot.com/semiotika/film-teks-dan-penonton/
saturday 27-06-2015, at 08.20 AM
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Daniel Chandler dalam Salim Alatas. Semiotics for beginner. http://www.altavista.co.uk/cgi-bin/query
Wednesday 24-106-2015, at 09.20 AM
[7] Ibid
[8] Winfried Noth, Hand Book Of Semiotiks, dalam Indiawan Seto Wahyu
Wibowo Mitra Wacana Media, Jakarta, 2013, Hal. 21
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
0 komentar:
Posting Komentar