Jumat, 14 April 2017

SEMIOTIKA FILM


1.      Film Sebagai Teks
Film adalah media representasi yang dihasilkan dari tindakan pembacaan atau interpretasi atas realitas yang tak terbatas, yang tak mungkin mampu ditangkap atau digambarkan secara utuh. Bahasa utama film adalah pada bahasa gambar, maka rangkaian representasi  yang ditampilkan adalah rangkaian gambar-gambar yang muncul, bergerak dari awal hingga akhir film itu sendiri. Representasi tidak pernah netral atau bebas nilai karena ia dipilih untuk tujuan tertentu.[1]
Masalah Narasi
Narasi dalam sebuah film, terutama film dokumenter, baik berupa audio atau teks, memiliki fungsi yang penting tetapi tidak mutlak sepanjang film harus ada narasi. Gambar-gambar yang dipilih seharusnya adalah gambar-gambar yang kuat secara visual dan langsung mampu berbicara sendiri pada penonton. Narasi hanya berfungsi sebagai jembatan antara subjek gambar dengan subjek penonton ketika gambar sulit memberikan penjelasan atau karenaketerbatasan ruang dan waktu yang tidak memungkinkan semua gambar dapat ditampilkan. Narasi dianggap berhasil, ketika ia mampu membantu penonton memahami hal-hal yang tak terkatakan atau sulit ditampilkan oleh gambar. Narasi akan dianggap gagal apabila terlalu berlebihan atau terlalu minim, sehingga tidak mampu membantu penonton, bahkan dapat mengumpulkan bahasa gambar film, atau lebih parah lagi, ia dapat menyesatkan penonton. Narasi dapat mendekatkan penonton atau menjauhkan penonton dengan film.[2]
Masalah representasi dan narasi sangat penting dalam film. Hal ini menyangkut masalah otoritas penulis sebagai pengirim, penonton sebagai penerima, dan gambar-gambar yang dipilih sebagai pesan yang ingin disampaikan. Di balik itu semua representasi ada pilihan. Di balik pilihan ada ideology yang mendasari posisi keberpihakkan.[3]
Film sebagai teks, wilayah kajian yang dimaksudkan Barthes memang sangat luas, mulai dari bahasa verbal seperti karya sastra hingga fashion atau cara berpakian. Barthes  melihat seluruh produk budaya merupakan sebuah teks yang bisa dibaca secara otonom dari para author (penulis)-nya. Namun Barthes tidak pernah membahas film secara terpisah dalam sejarah karya-karyanya. Padahal film sebagai teks sekalipun punya cara tutur yang berbeda dengan produk-produk budaya lainnya.[4]
Film termasuk sebagai teks karena didalamnya terdapat gambar-gambar yang memiliki arti atau makna tertentu di balik visual yang ditayangkan. Selain persegmennya, alasan atau motif dibuatnya film tersebut juga mengandung makan tersendiri yang sesungguhnya sudahlah tersirat maksud dan tujuannya dari film tersebut.[5]

2.      Tradisi Semiotika
Konsep dasar yang menyatukan tradi semiotika adalah tanda yang didefinisikan sebagai stimuli yang menandakan atau menunjukkan beberapa kondisi lain, seperti misalnya asap yang menandakan adanya api.
Konsep dasar kedua adalah symbol yang biasanya menandakan tanda yang kompleks dengan banyak arti, termasuk arti yang sangat khusus. Beberapa ahli memberikan perbedaan yang kuat anatara tanda dan symbol. Tanda dalam realitasnya memiliki referensi yang jelas terhadap sesuatu, sedangkan symbol tidak. Para ahli lainnya melihat sebagai tingkatan istilah yang berbeda dalam kategori yang sama. Dengan perhatian pada tanda dan symbol, semiotik menyatukan kumpulan teori-teori yang sangat luas yang berkaitan dengan bahasa, wacana dan tindakan-tindakan nonverbal.
Dengan kata lain, arti sebuah tanda maupun symbol tergantung pada gambaran atau pikiran seseorang dalam kaitannya dengan tanda dan benda yang direpresentasikan oleh tanda.
Variasi dalam tradisi semiotik
Semiotik selalu dibagi kedalam 3 wilayah kajian :
1)   Semantik
Berbicara tentang bagaimana tanda-tanda dihubungkan dengan yang ditunjukkan atau apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda.
2)   Sintaktik
Mengacu pada aturan-aturan yang dengannya orang mengkombinasikan tanda-tanda kedalam sistem makna yang kompleks.
3)   Pragmatik
Memperlihatkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam kehidupan manusia atau penggunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda pada kehidupan sosial.
Pembagian semantik, sintaktik, dan pragmatik digunakan secara luas untuk mengelola kajian semantik. Namun tidak semua orang setuju bahwa ketiga dimensi semiotik ini berkaitan satu sama lainnya, dan bahwa pemisahnya membantu dalam memahami aspek yang berbeda.

3.      Madzab Semiotika
Ketika kita berbicara mengenai komunikasi dan hubungannya dengan tanda dan makna, maka kita bicara mengenai “mazhab semiotika” yang sebelumnya banyak kita bicarakan. Sebagaimana dikatakan oleh John Fiske, bahwa terdapat dua mazhab utama dalam studi komunikasi :
Pertama disebut sebagai “mazhab proses” yang melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Pendekatan ini, menurut Fiske, sangat tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkan pesan (decode), dan dengan pada bagaimana transmitter menggunakan media komunikasi. mazhab proses tertarik dengan hal-hal seperti efisiensi dan akurasi, dan melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek tersebut berbeda dari atau lebih kecil darpada yang diharapkan, mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi, dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui di mana kegagalan tersebut terjadi. Mazhab ini cenderung mempergunakan ilmu-ilmu sosial terutama psikologi dan sosiologi dan cenderung memusatkan dirinya pada tindakan komunikasi.[6]
Sementara itu yang kedua adalah apa yang disebut oleh Fiske sebagai “mazhab semiotika” yang melihat komunikasi sebagai produk dan pertukaran makna. Pendekatan ini berkaitan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni, yang berkenaan dengan bagaimana peran teks dalam kebudayaan kita. Mazhab semiotika banyak menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi – hal ini mungkin akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima. Mazhab semiotika cenderung mempergunakan linguistic dan subjek seni, dan cenderung memusatkan dirinya pada karya komunikasi. bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna).[7]
4.      Semiotika Dalam Membedah Makna
Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sodial atau masyarakat dan kebudayaannya merupakan tanda-tanda. Artinya, semiotika mempelajari sistem-sistem aturan-aturan, konvensi-konmensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dengan kata lain, semiotikamempelajari relasi antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya.
Ada empat hal yang mesti diperhatikan dalam semiotika, yaitu jenis tanda (ikon atau lambang), jenis sistem tanda (bahasa, musik atau gerakan tubuh), jenis teks dan jenis konteks atau situasi yang mempengaruhi makna tanda (kondisi psikologi, sosial, historis dan kultural).
Dalam sebuah film terdapat banyak sekali unsur di dalamnya yang menjadi objek semiotika untuk diketahui makna dibalik penggunaan tanda tersebut, mulai dari adegan, bahasa yang digunakan, musik yang dijadikan soundtrack, gerakan tubuh pemain, busana yang dipakai, tempat yang menjadi lokasi shooting, orang yang memerankan tokoh cerita, waktu, barang, dan masih banyak lagi.
Seringkali bahkan sangat wajar sebuah film dengan genre tertentu juga menggunakan soundtrack sesuai dengan genre film itu sendiri, sebagian besar beralasan sebagai penguat feel dari adegan dalam film tersebut. Namun bisa saja berubah motif jika dilihat dari si penulis cerita atau orang yang memilih soundtrack tersebut, karena yang berperan sebagai pengirim pesan di sini adalah si penulis atau si pemilih musik tersebut.
Begitu juga dengan unsur film yang lainnya, seperti busana yang digunakan, bahkan warna yang dipilih juga memiliki makna dan maksud tersendiri. Seperti warna hitam yang melambangkan kematian atau, putih melambangkan kesucian, merah melambangkan keberanian, dan lain sebagainya.
Semiotika seakan menjadi metode penelitian untuk mempelajari makna yang tersurat dibalik simbol-simbol yang tersirat.
5.      Konotasi Dan Denotasi Teks
Kancah penelitian semiotika tak bisa begitu saja melepaskan nama Roland Barthes (1915-1980) ahli semiotika yang mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks.[8]
 Konsep konotasi dan denotasi yang digunakan oleh Roland Barthes adalah konsep dengan versi yang jauh lebih sederhana saat membahas model ‘glossemastic sign’ (tanda-tanda glossematic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, Barthes mendefinisikan sebuah tanda (Sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari (E) sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan content (atau signified) (C) : ERC.
Sebuah sistem tanda primer (primary sign system) dapat menjadi sebuah elemen ari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki makna yang berbeda ketimbang semula.
Barthes menulis :
Such sign system can become an element of a more comprehensive sign system. If the extension is one of content, the primary sign (E1R1C1) becomes the expression of a secondary sign system :
E2 = (E1R1C1) R2C2 ,, [9]
(Roland Barthes dalam Indiwan Seto Wahyu Wibowo, 2013)
Dengan begitu, primary sign adalah denotative sedangkan secondary sign adalah satu dari connotative semiotics. Konsep connotative inilah yang menjadi kunci penting dari model semiotika Roland Barthes.
Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas external. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sign).
Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya.
Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya.
Konotasi bekerja dalam tingkat subjek sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif.[10] Karena itu, slaah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dana mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda.[11]



[1]Ericassono http://ericassono.blogspot.com/semiotika/film-teks-dan-penonton/ saturday 27-06-2015, at 08.20 AM
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Daniel Chandler dalam Salim Alatas. Semiotics for beginner. http://www.altavista.co.uk/cgi-bin/query Wednesday 24-106-2015, at 09.20 AM
[7] Ibid
[8] Winfried Noth, Hand Book Of Semiotiks, dalam Indiawan Seto Wahyu Wibowo Mitra Wacana Media, Jakarta, 2013, Hal. 21
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid 

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com