Sebuah Cerpen
Tidak mudah bagiku untuk begitu saja menyerah pada realita, apalagi mimpi. Ia ada karena kita sendiri yang mengimajinasikannya. Tapi tidak kali ini. Kisah tak biasa ku lalui dalam sebuah cerita singkat di antara salah satu usiaku. Terbilang muda memang. Sebut saja aku Kevin. Nama sederhana yang diberikan ayah kandungku yang sudah lama berpisah dengan ibu. Tepat lima tahun lalu mereka berpisah. Entah karena apa dan dengan sebab apa pula mereka memutuskan perpisahan. Begitu juga aku yang memilih ikut dengan ayah yang terbilang keras dalam segala hal. Tak tahu pula kenapa aku memilihnya untuk tinggal.
Pagi selalu segar menyambut
perjumpaan hari pada dunia. Pula perjumpaanku pada realita. Hari-hariku tak
begitu ramai di tengah rumah mewah milik ayah, beliau selalu pergi kerja di
pagi petang dan kembali pulang di larut malam. Sekalipun hari libur beliau
tetap menghabiskan waktunya di kamarnya sendiri sembari mendengarkan lagu
klasik. Hingga aku jadi terbiasa dengan alunan klasik yang terkesan elegan.
Sesaat ayah kudapati tiada di
kamarnya, lancangku dengan sengaja mengajakku masuk ke kamar pribadi ayah.
Tiba-tiba saja rasa penasaran menghampiriku mengenai musik klasik yang selama
ini didengarkan ayah. Ku temukan Gramophone antik di atas meja, dengan iseng
dan semakin penasaran, aku coba menyalakannya. Dan irama klasik itu mulai
terdengar merdu memenuhi ruangan.
Ada lagi yang menarik
perhatianku, semacam sebuah buku ensiklopedia musik klasik karya Muhammad
Syafiq tergeletak di atas sofa. Aku terheran dan tak menyangka, ternyata ada
pula buku yang membahas musik klasik, aku kira ini hanyalah musik biasa yang
tidak terlalu menarik banyak perhatian. Karena penasaranku semakin memuncak,
aku buka lembar perlembar halaman buku tebal itu sembari membaringkan tubuh
pada sofa yang empuk di ujung ruang. Nada demi nada, alunan klasik itu mulai
menyihirku, menyuntikkan bius melalui irama lewat telingaku.
Belum juga sampai setengah
halaman, aku pun terlelap dan tak sadarkan diri. Entah perjalanan seperti apa
yang membawaku, hingga tiba-tiba saja aku sampai pada suatu tempat yang tak
terduga. Salah satu tempat mewah di seluruh dunia. Walt Disney Concert Hall,
gedung pagelaran termewah nomer satu dunia yang terletak di Los Angeles,
California, USA. Dan yang lebih memukau lagi aku berpakaian jas hitam rapi
beserta dasi yang menghiasi leher, dan berada di antara pemain musik klasik di
atas panggung. Ada Biola imut tergenggam di tanganku lengkap dengan bownya, dan
sepuluh orang di sebelahku juga memegang alat yang sama. Tak jauh dari tempat
dudukku ada beberapa pemain yang memegang Cello, mulai dari ukuran sedang
hingga yang besar. Di barisan paling depan ada Piano mewah beserta pianisnya.
Ada pula Harpa ukuran besar dan gadis cantik yang siap memetiknya. Trombon,
Horn, Trumpets dan Saxophone dengan jumlah sekitar sepuluhan memenuhi panggung
sebelah kiri. Fagot, Flut dan Klarinet juga tak tertinggal berbaris rapi di
sebalah gadis cantik pemain Harpa. Timpani, Maracas dan Castanet pun sama
memenuhi panggung sebelah kanan. Semua tertata rapi berkelompok sesuai jenis
alat musik masing-masing.
Ada rasa bahagia, heran serta
khawatir dan takut pada posisiku saat ini. Pertunjukkan semewah ini, dan aku
aku berada di antara pemain-pemain hebat di atas panggung yang megah. Tapi aku
sungguh khawatir tidak karuan, mengenal musik klasik pun aku tidak, hanya rajin
mendengarkannya di kala ayahku tiba di rumah. Itu pun bukan atas keinginan
pribadi. Dan sekarang aku dituntut untuk memainkannya tanpa mengetahui apa-apa.
Kekhawatiranku semakin resah di
kala sang Komposer hendak memulai pergelaran. Apalagi ribuan penonton yang
memenuhi gedung yang terlihat antusias menyaksikan konser klasik ini. Bayangan
menakutkan di pikiranku adalah permainan akan hancur akibat diriku. Kenapa pula
aku berada di antara mereka sebagai pemain, sedangkan aku tak tahu menahu
tentang klasik, apalagi cara memainkan biola yang tergenggam di tanganku.
Dan tak lama kemudian
pertunjukan di mulai. Lelaki sebaya di sebelahku menengok padaku dan melempar
senyum, tepuk tangan penonton gemuruh menyambut pergelaran. Semua pemain
tersenyum dan sepintas pula aku turut senyum. Sedikit mengurangi kekhawatiran. Tanpa
ku sadari kedua tanganku terangkat dan aku pun memainkan biola dengan santai.
Entah keajaiban apa yang aku terima, aku pun terpesonan dengan diriku sendiri.
Permainanku cukup handal, tak ubahnya dengan pemain-pemain lainnya. Seperti ada
roh yang merasuk tubuhku. Pun dengan Komposer itu yang begitu bersemangat
menggiring nada melalui tangannya ke kanan dan ke kiri. Canon D Major karya
Jhohan Pachelbel mengalun memenuhi gedung megah ini. Seluruh penonton tersihir
dan begitu menikmati. Tiga puluh menit berlalu dan permainan usai. Lagi, tepuk
tangan penonton gemuruh memecah hening, semua pemain tersenyum dan memancarkan
kepuasan tersendiri di wajah mereka masing-masing.
Seketika ada suara laki-laki
yang memanggilku dengan lirih. Lagi dan terulang lagi. Aku memjamkan mata dan
mendengarkan seksama dari mana suara itu berasal, bagaimana bisa di tengah
gemuruh apresiasi penonton aku mendengarkan suara aneh. Memanggil namaku pula.
Pandanganku gelap tak terlihat apa-apa, dan ketika ku membuka mata. Sungguh
sosok yang tak terduga tepat berada di hadapanku. Aku kembali pada ruang
pribadi ayah terbaring lelah di atas sofa dan ternyata ayahlah yang sedari tada
memanggil menyadarkanku dari mimpi menakjubkan itu. Ayah pun bertanya mengenai
apa mimpi itu, dan terheran ketika melihatku seolah tengah bermain Biola dalam
keadaan tidur.
Aku pun menceritakannya, dan
semenjak saat itu hubungan kami mulai erat. Ayah bukan lagi sekedar ayah yang
bekerja keras pergi pagi pulang malam dan memenuhi seluruh kebutuhanku tanpa
sapa tiap harinya. Kini kami lebih akrab dalam berbagi cerita, terutama
mengenai musik klasik yang mulai aku sukai. Ada yang memaknai mimpi sebatas
bunga tidur, tapi tidak pada diriku. Itulah mimpi yang menginspirasi bagiku,
dan jiwaku pun tergugah semangatnya untuk menjadikannya lebih dari sekedar
realita. *Choirotul Umayah
0 komentar:
Posting Komentar