Kamis, 13 November 2014

KONSEP MA'RIFAT ILAHIYYAH

BAB I
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Ma’rifah
Dari segi bahasa Ma’rifah berasal dari kata عرف ,يعرف , عرفاdan ma’rifah yang artinya adalah pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifah juga bisa berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmubiasa yang didapati oleh orang-orang pada umumnya[1].Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan hal-halyang bersifat dzahir, tetapi lebih terhadap bathinnya dengan mengetahui rahasianya.Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan.Hakikat itu satu dan segala yang maujud berasal dari yang satu.[2]
Definisi beberapa Ulama Tasawuf, antara lain:
a.       Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pandapat Ulama Tasawuf yang mengatakan
اَلْمَعْرِفَةُجَزْمُالْقَلْبِبِوُجُوْدِالْوَاجِبِالْمَوْجُوْدِمُتَّصِفًابِسَائِرِالْكَمُلَاتِ
Artinya:
Ma`rifah adalah suatu ketetapan hati (dalam mempercayai kahadirannya) wujud yang wajib  adanya ( Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”
b.      Asy-Syekh  Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kurdiriy mengemukakan pendapat Abu Ath-Thayib A-Samiriy yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُطُلُوْعُالْحَقِّوَهُوَاْلقَلْبُبِمُوَاصِلَةِالأَنْوَارِ
Artinya:
Ma`rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi.
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat mencapai ketingkatan ma`rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma`rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun-Nun Al-Mishri yang mengatakan: ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi apabila sudah sampai kepada tingkatan Ma`rifah, antara lain:
a)      Selalu memancar cahaya ma`rifah padanya dalam segala sikap dan perilaku, karena itu, sikap wara` selalu ada pada dirinya.
b)      Tidak selalu menjadikan kepada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata dalam ajaran Tasawuf belum tentu benar.
c)      Tidak mengingkan ni`mat yang banyak kepada dirinya, kerana hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sini lah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma`rifah yang dimiliki Sufi cukup dapat memberikan kebahagian bathin kepadanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
Selanjutnaya ma`rifah itu disamping merupakan anugerah dari Allah, dapat pula dicapai melalui syari`at, menempuh thariqat dan memperoleh Haqiqat. Apabila syari`at dan thariqat sudah dapat dikuasai, maka timbullah haqiqat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan dan ahwal. sedangkan tujuan terakhir ialah Ma`rifah yaitu mengenal Allah dan mencintainya yang sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya.
Dalam kitab “Syarhul Maqashid”  Taftazani menyatakan: “apabila seseorang telah mencapai tujuan terakhir dalam perjalanan suluknya ilallah dan fillah, pasti ia akan tenggelam dalam lautan tauhid dan `irfan sehingga zatnya selalu dalam  pengawasan zat Tuhan dan sifatnya selalu dalam pengawasan sifat Tuhan. ketika itu lah orang tersebut fana dan lenyap  dalam keadaan “maa siwallah” (segala yang lain daripada Allah) ia tidak lagi melihat dalam wujud alam ini kecuali Allah.
Orang yang mencapai maqam ma`rifah itu disebut `Arif billah. Dan pada tingkat inilah ia dapat mengenal dan merasakan adanya Tuhan, bukan sekedar mengetahui Tuhan itu ada.
Dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa mendekati Tuhan, merasa adanya Tuhan dari ma`rifatullah hanya dapat dicapai dengan menempuh satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh kaum Sufi.
Selanjutnya Al-Ghazali berkata: “barangsiapa mengalaminya, hanya akan dapat mengatakan bahwa itu, suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, utama  dan jangan lagi bertanya”. Beliau berkata lagi: “Bahwa  hatilah yang dapat mencapai haqiqat sebagaimana yang telah tertulis pada Lauh Mahfudh, yaitu hati yang sudah bersih dan suci murni. Sehingga tempat untuk mengenal dan melihat Allah adalah Hati.

B.   Alat untuk mencapai Ma’rifah
Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah Dzun al-Nun al-Mishri.[3] Ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab :
عرفت ربّى بربّى ولو لا ربّى لما عرفت ربّى
“Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku”.[4]

Dzun al-Nun al-Mishri adalah orang yang pertama sekali meletakkan dasar ilmu tasawuf, karena setiap orang mengambil darinya dan dinisbahkan kepadanya. Dia-lah orang yang pertama kali menafsirkan isyarat-isyarat sufi dan membicarakan hal ini di jalan sufi. Pengarang kitab Tadzkirah seperti yang dikutip oleh Dr. Ibrahim Basyuni dalam kitabnya,  Nas’ah at-Taswwuf al-Islami, pernah mengemukakan ungkapan Dzun al-Nun dalam membicarakan "afir dan ma’rifah” sekitar dua halaman.  Dia dikatakan sebagai bapak paham ma’rifah merupakan orang pertama yang membawa paham ma’rifah.  Reinold Nicholson mengatakan bahwa ia adalah orang yang membedakan antara ma 'rifah dengan ilmu.  Ketika ia ditanya orang tentang perbedaan orang yang alim dengan orang yang arif, dia berkata: "orang yang alim itu ditauladani, sedangkan orang yang arif diminta petunjuknya."
Ketika membicarakan ma’rifah Dzun al-Nun membagi tiga bentuk ma’rifah.yaitu:
a. Ma’rifah tauhid, terdapat pada diri mu'min awam.
Ma’rifah tauhid yaitu pengetahuan awam mengenai keesaan Allah melalui perantara syahadat tanpa disertai dengan logika.Ma’rifah jenis pertama ini dimilki oleh mayoritas orang Islam.
b. Ma’rifah hujjah (alasan) dan uraian berupa pengetahuan yang didapat melalui hasil pembuktian nalar. Ma’rifah jenis ini dimiliki oleh orang khawash.
c. Ma’rifah sifatkeesaan Allah, bagi para wali dan kekasih Allah.
Dua bentuk ma’rifah pertama disebut sebagai ilmu (al-llm), sementara bentuk terakhir disebut ma’rifah hakiki yaitu pengetahuan tentang keesaan Tuhan dengan perentaraan hati sanubari. Ma’rifah ini hanya terdapat pada kaum sufi.
Dalam ungkapannya yang lain Dzun-al-Nun mengatakan bahwa ma’rifah hakiki terhadap Allah bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan yang dipercayai semua orang mukmin dan bukan pula ilmu yang berdasarkan pembuktian dan pengamatan para filosof serta mutakallimin, tetapi ini adalah pengetahuan tentang sifat-sifat keesaan Allah yang diperoleh wali-wali Allah tertentu karena mereka adalah orang yang menyaksikan Allah melalui hatinya, sehingga Allah menyingkapkan kepada mereka sesuatu yang tidak diperlihatkan Allah kepada hamba-hambanya yang lain.
Hal ini menggambarkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian dari Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil dari pemikiran manusia tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.
Adapun persoalan jalan yang harus ditempuh seseorang untuk sampai kepada ma’rifah secara sistematis belum diketemukan keterangan dari Dzun al-Nun. Namun menurut Imam al-Qusyairi, pokok pembicaraannya tidak terlepas dari empat hal, yakni:
1.    Mengikuti wahyu.
2.  Menjauhkan diri dari takut berubah dan berpalingnya sesuatu darinya atau disebut juga membenci kekikiran.
3.   Menganggap kecil dunia dan berpaling darinya.
4.   Mencintai Allah.
Pada tahap pertama sufi harus mentaati syari'at, yaitu Alquran dan hadits. Hal ini sesuai dengan kecenderungan Dzun al-Nun mengaitkan ma’rifah dengan syariat.Kedua, timbulnya rasa takut untuk melakukan kejahatan, sebab semakin banyaknya dosa yang dilakukan, maka manusia semakin terhijab untuk berhubungan dengan Allah.Ketiga, menganggap kecil dunia, harta benda dan kehidupan dunia hanya sebagian kecil saja dari yang sebenarnya. Maka pada tahap ini akan muncul sikap zuhud, qana’ah, sabar dan tawkkal dan lain sebagainya. Keempat, kecintaan kepada Allah bersemi dalam diri seseorang sufi. Di sinilah baru didapat Mahabbah dan ma’rifah. Mahabbah menggambarkan mesranya hubungan seseorang sufi dengan Tuhan. Sedangkan ma’rifah melukiskan hubungan yang erat dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
Selain itu alat untuk memperoleh ma’rifah. Menurut Al-Qusyairi ada tiga, yaitu :
1)  Qalbu القلب (hati) fungsinya untuk dapat mengetahui siffat Tuhan.
2)  Ruh الرّوح (roh) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
3)  Sirrun السِّرٌّ (rahasia) fungsinya untuk melihat Tuhan.
Selain Dzun al-Nun, Imam al-Ghazali juga banyak berbicara tentang ma’rifah. Al-Ghazali mengatakan bahwa ma’rifah itu adalah al-Nazru ila wajh Allah, atau mengetahui Tuhan dengan mata hati. Ia melihat Tuhan dengan mata hatinya, bukan dengan mata indranya. Oleh karena itu kata al-Ghazali, orang arif atau yang sudah mencapai ma’rifah, tidak lagi menyeru Tuhan dengan kalimat "ya allah", karena ucapan seperti itu menunjukkan pengertian, bahwa Aliah masih berada di belakang tabir, padahal bagi orang arif tabir itu sudah tidak ada, maka tidak pernah lagi saling memanggil. Menurut al-Ghazali inilah maqam tertinggi yang dapat dicapai oleh sufi.  la menolak faham ittihad  yang dibawa oleh Abu Yazid al-Bustami bahwa tingkatan ma’rifah itu masih bisa dilampaui manusia.  Jadi menurut al-Ghazali, bahwa ma’rifah tidak menyebabkan seseorang menjadi padu dan bersatu dengan Tuhan.
Menurut al-Ghazali, jalan menuju ma'rifat antara lain dengan bentuk latihan terhadap jiwa, yaitu menghilangkan sifat-sifat marah, dengki, kikir, riya, sombong, dan sebagainya. Kemudian melalui tingkatan-tingkatan seperti, taubat, zuhud, sabar, tawakkal, juga melalui hal, seperti, syukur, rasa takut, rasa harap, hidup fakir, rendah hati, ikhlas dan sebagainya.Menurut al-Ghazali "sarana ma’rifah seorang sufi adalah kalbu".Kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh yang dikenal terletak bagian kiri pada seorang manusia, tapi adalah percikan rohaniah yang merupakan hakekat realitas manusia.Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kalbu itu bagaikan cermin.Sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat memantulkan realitas realitas ilmu. Menurut al-Ghazali lagi, yang membuat cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh.Sementara"ketaatan" kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang membuat kalbu berlinang dan cemerlang.
Menurut Dzunun Al-Misrilah (bapak paham Ma’rifat) bahwa pengetahuan tentang Tuhan itu ada tiga macam:
a.  Pengetahuan Awam
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan syahadat.
b.  Pengetahuan Utama
Member penjelsan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika).
c.  Pengetahuan Sufi
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara hati sanubari.
Bahwa pengetahuan Awam dan Ulama diatas belum dapat memberikan pengetahuan haqiqi tentang Tuhan.Sehingga kedua pengetahuan tersebut baru disebut “ilmu” belum dapat dikatakan sebagai Ma’rifat. Akan tetapi pengetahuan yang disebut ma’rifat adalah pengetahuan sufi. Ia dapat mengetahui hakikat Tuhan (ma’rifat). Sehingga ma’rifat hanya dapat diperoleh pada kaum sufi. Mereka mampu melihat Tuhan dengan cara melalui hati sanubarinya. Disamping juga mereka didalam hatinya penuh dengan cahaya.Ada perbedaan antara makna ma’rifat versi al-Gazali dengan versi Dzunnun al-Misri.Menurut al-Gazali ma’rifat dapat diperoleh dengan latihan dan metode tertentu, karena itu tingkatan ma’rifat seseorang diukur dari latihan dan metodenya.Lain halnya dengan al-Misri, yang mengatakan bahwa ma’rifat merupakan pemberian Allah dan tidak bisa diusahakan.Ma’rifat datang dengan sendirinya ketika hal seseorang telah mencapai keadaannya. Selain itu, al-Gazali menganggap dalam urutan maqamat bahwa ma’rifat mendahului  mahabbah, sebaliknya dengan Dzunnun.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat, bagaikan berada di muka cermin, dan yang dilihatnya hanya Allah SWT saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, puncak ma’rifat adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga membawa pada kelupaan dirinya.[5]

C. Tokoh yang mengembangkan Ma’rifah
Dalam literature tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenal paham Ma’rifat, yaitu Al-Ghazali dan Zun Al-Nun Al-Misri.
a)    Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, yang karena kedudukan tingginya dalam lslam dia digelari Hujjah al-Islam.Ayahnya, menurut sebagian penulis biografi, bekerja sebagai pemintal wol. Dari latar itulah sufi kita ini terkenal dengan al-Ghazzali (yang memintal wol) dan juga terkenal dengan al-Ghazali (dengan memakai satu huruf "z") dinisbahkan pada suatu kawasan yang disebut Ghazalah.  Ia dilahirkan di Thus, kawasan Khurasan, tahun 450 H atau 451 H. Ia menerima pendidikan mistisnya di rumah seorang sufi sahabat ayahnya, setelah ayahnya meninggal dunia. Pada masa kecilnya ia belajar fiqih kapada Ahmad al-Radzkani di Thus, lalu belajar kepada Imam Abu Nashr al-Isma'ili di Jurjan dan belajar kepada Abu al-Ma'ali al-Juwaini, yaitu salah seorang teolog aliran Asy'ariyah yang bergelar Imam al-Haramain di Nishapur.
Di bawah bimbingan gurunya inilah dia bersungguh-sungguh belajar dan berijtihad sampai benar-benar menguasai mazhab-mazhab, perbedaan pendapatnya, perbantahannya, teologinya, ushul fikihnya, logikanya, dan membaca filsafat dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan itu.Dan dia terus mendapingi gurunya, al-Juwaini, sampai gurunya meninggal dunia tahun 478 H.  Dia lalu meninggalkan Nishapur menuju al-Askar, di sana dia bertemu dengan seorang menteri yang terkenal, Nizham al-Mulk dan dia ditawarkan untuk mengajar di perguruannya, yaitu al-Nizhamiyah di Baghdad. Maka al-Ghazali menyambut baik tawaran mengajar itu.Selama kehidupannya al-Ghazali menimba dan mendalami banyak cabang ilmu, dan juga filsafat. Dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut, barangkali untuk menghilangkan keraguannya yang muncul sejak ia mengajar. Ternyata ilmu-ilmu ini tidak memberinya ketenangan jiwa.Kegelisahan jiwanya malah semakin menggelora sampai membuatnya tertimpa krisis psikis yang kronis, yang diuraikannya dengan menarik dalam karyanya, al-Munqidz min al-Dalal.Di antara ungkapannya adalah,"Lalu keadaan diriku pun kurenungi, dan temyata aku telah tenggelam dalam ikatan-ikatan (yang bercorak duniawi) yang meliputi diriku dari segala sudut.Amal-amalku pun kurenungi, khususnya amalku yang terbaik, yaitu mengajar, dan temyata aku hanya menerima ilmu-ilmu yang sepele dan tidak berguna.Akupun memikirkan niatku dalam mengajar, dan tertyata niatku tidak ikhlas demi Allah.Bahkan hanya didorong keinginan untuk menadapatkan jabatan serta menjadi terkenal”.
Akibat keadaan krisis ini, al-Ghazali lalu meninggalkan kedudukannya sebagai guru besar di al-Nizhamiyah dan kemudian hidup menyendiri. Dalam penyendiriannya, ia menggeluti bidang tasawuf, tasawuf yang dipilihnya adalah tasawuf Sunni yang berdasarkan doktrin Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah. Menurut Al-Ghazali Ma’rifah urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena mahabbah timbul dari Ma’rifah.
b)    Dzun Al-Nun Al-Misri
Nama aslinya adalah Abul Faidh Dzun al-Nun Tsauban bin Ibrahim al-Mishri (155 H-245H/859 M). Ayahnya adalah orang Naubi, luar biasa kepandaiannya.Dia-lah satu satunya orang yang berilmu pada masanya, bersikap wara’ dan hal serta serta berakhlak.Ia pun pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil[6]. Berasal dari Naubah, suatu negeri yang terletak diantara Sudan dan Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak yang mengetahui, yang diketahui hanya tahun wafatnya, yaitu 860 M.
Menurutnya Ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Baginya Ma’rifat tidak diperbolehkan begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan.Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan.
D.   Ma’rifah dalam pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadits
       Allah menciptakan manusia dengan sempurna yaitu diberikannya bentuk tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian manusia itu sendiri yang menentukan mampu atau tidaknya menggunakan pemberian Allah dengan baik (QS. Attin: 4-5)[7]. Ruh sebagai power untuk menghidupkan seluruh anggota badan, Akal sebagai alat untuk menerima ilmu pengetahuan atau untuk mengetahui hakikat sesuatu secara logis tanpa mempertimbangkan hal-hal yang irasional, anggota tubuh seperti panca indra yang hanya dapat merealisasikan secara indrawi tanpa mempertimbangkan penghalangnya. Dari semua anggota tubuh manusia hanya hati yang dapat menerima sesuatu yang mutlak dari Allah yang maha kuasa karena hati adalah sebagai tuan dari anggota tubuh, semua aktivitas anggota tubuh digerakkan oleh hati dan hati adalah Allah yang menggerakkan.
وَالَّذِينَيُؤْمِنُونَبِمَاأُنْزِلَإِلَيْكَوَمَاأُنْزِلَمِنْقَبْلِكَوَبِالآخِرَةِهُمْيُوقِنُونَ  أُولَئِكَعَلَىهُدًىمِنْرَبِّهِمْوَأُولَئِكَهُمُالْمُفْلِحُونَ. إِنَّالَّذِينَكَفَرُواسَوَاءٌعَلَيْهِمْءَأَنْذَرْتَهُمْأَمْلَمْتُنْذِرْهُمْلايُؤْمِنُونَ

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya " (QS.Al Bayyinah:4-6).
أَلَمْتَرَإِلَىالَّذِينَخَرَجُوامِنْدِيَارِهِمْوَهُمْأُلُوفٌحَذَرَالْمَوْتِفَقَالَلَهُمُاللَّهُمُوتُواثُمَّأَحْيَاهُمْ ۚ إِنَّاللَّهَلَذُوفَضْلٍعَلَىالنَّاسِوَلَٰكِنَّأَكْثَرَالنَّاسِلَايَشْكُرُونَ.
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi manusia kebanyakan tidak bersyukur " (QS.Al Baqarah:243)
بِئْسَمَااشْتَرَوْابِهِأَنْفُسَهُمْأَنْيَكْفُرُوابِمَاأَنْزَلَاللَّهُبَغْيًاأَنْيُنَزِّلَاللَّهُمِنْفَضْلِهِعَلَىٰمَنْيَشَاءُمِنْعِبَادِهِ ۖ فَبَاءُوابِغَضَبٍعَلَىٰغَضَبٍ ۚ وَلِلْكَافِرِينَعَذَابٌمُهِينٌ
“Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendakinya diantara hamba-hamba Nya " (QS.Al Baqarah:90).
Allah telah menyediakan dan memberikan beberapa kelebihan untuk manusia sehingga manusia yang asal mulanya sama diciptakan dari tanah kemudian mempunyai tingkat kelebihan yang berbeda disisi Allah karena ketaqwaan dan usaha mereka untuk mencapai kehadhirat-Nya. Kelebihan Allah yang diberikan kepada manusia diluar adat kebisaan manusia biasa (Khariqul Adat) dan diluar akal manusia, sehingga manusia yang mendapat kelebihan dapat berbuat diluar adat dan akal manusia.
Dengan limpahan cahaya Allah itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada-Nya.Dia lalu bisa mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa.Orang yang sudah mencapai ma’rifat bisa berhubungan langsung dengan sumbar ilmu yaitu Allah.Dengan hati yang telah dilimpahi cahaya, seseorang bagaikan memiliki antena parabola yang mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan.
Allah swt berfirman:
فَبَدَأَبِأَوْعِيَتِهِمْقَبْلَوِعَاءِأَخِيهِثُمَّاسْتَخْرَجَهَامِنْوِعَاءِأَخِيهِ ۚ كَذَٰلِكَكِدْنَالِيُوسُفَ ۖ مَاكَانَلِيَأْخُذَأَخَاهُفِيدِينِالْمَلِكِإِلَّاأَنْيَشَاءَاللَّهُ ۚ نَرْفَعُدَرَجَاتٍمَنْنَشَاءُ ۗ وَفَوْقَكُلِّذِيعِلْمٍعَلِيمٌ.
Artinya :
”dan tatkala telah datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata: "Sesungguhnya ini adalah sihir yang nyata". (QS. Yunus : 76)
Ma’rifat yang dicapai seseorang terkadang diberi nama beragam. Al-Syarbasi menyebutkan ilmu Al Mauhubah (pemberian)[8], Al Syuhrawardi menyebutkan al Isyraqiyah (pancaran), dan Ibn Sina menyebutkan  al Fa’id (limpahan). Sementara itu, kalangan pesantren mengistilahkannya sebagai Futuh (pembuka), kalangan masyarakat Jawa menyebutnya ilmu laduni, dan kalangan kebatinan menamakannya sebagai wangsit .
Uraian di atas telah menginformasikan bahwa ma’rifat adalah  pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan Nur (Cahaya Tuhan).Di dalam Al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kata “nur” dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan.[9]Misalnya ayat yang berbunyi:
أَوْكَظُلُمَاتٍفِيبَحْرٍلُجِّيٍّيَغْشَاهُمَوْجٌمِنْفَوْقِهِمَوْجٌمِنْفَوْقِهِسَحَابٌظُلُمَاتٌبَعْضُهَافَوْقَبَعْضٍإِذَاأَخْرَجَيَدَهُلَمْيَكَدْيَرَاهَاوَمَنْلَمْيَجْعَلِاللَّهُلَهُنُورًافَمَالَهُمِنْنُورٍ
Artinya :
atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila Dia mengeluarkan tangannya, Tiadalah Dia dapat melihatnya, (dan) Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah Tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS. An Nur : 40)

Artinya :
” Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah.mereka itu dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Az Zumar : 22)
Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan.Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya dengan mudah mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan menemui kesesatan. Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an .Selanjutnya, simak juga hadits qudsi berikut:
Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakan mahluk.Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka.Maka mereka mengenal Aku”.[10]
Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia.Caranya  dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

BAB II
KESIMPULAN

v  Pengertian Ma’rifat
Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan hal-halyang bersifat dzahir, tetapi lebih terhadap bathinnya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan.Hakikat itu satu dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
v  Alat untuk mencapai Ma’rifat
Alat yang dapat digunakan untuk mencapai ma’rifat telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati). Selain sebagai alat untuk merasa, qalb juga menjadi alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tidak dapat memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakekat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
v  Faham Ma’rifat
Menurut Dzunun Al-Misrilah (bapak paham Ma’rifat) bahwa pengetahuan tentang Tuhan itu ada tiga macam:
a.     Pengetahuan Awam
b.    Pengetahuan Utama
c.     Pengetahuan Sufi

v  Jalan Ma’rifat
·  Menurut Al-Qusyairi ada tiga, yaitu :
1)   Qalbu القلب (hati)
2)   Ruh الرّوح (roh)
3)   Sirrun السِّرٌّ (rahasia)
v  Tokoh yang mengembangkan Ma’rifat
c)    Al-Ghazali
d)   Dzun Al-Nun Al-Misri
v  Ma’rifat dalam pandangan al-Qur’an dan al –Hadits
Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an .Selanjutnya, simak juga hadits qudsi berikut:
Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakan mahluk.Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka.Maka mereka mengenal Aku”.
Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia.Caranya  dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Daftar pustaka

SUWITO, sejarah sosial pendidikan islam, Jakarta, Prenada Media, cet ke-1, 2005
Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf, Surabaya,cet. Ke-3, 2013
http://belajarilmutasawuf.blogspot.com/2011/10/pengertian-marifat.html
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. Ke-4, 2002
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1983
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya, cet. Ke-1, 1995
Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf, Surabaya,cet. Ke-3, 2013



[1]Jamil Shaliba, Al Mu’jam al Falsafi Jilid 2, Dar al-Kitab, Beirut, 1979, hlm. 72.
[2] Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafi, Jilid II. (Beirt: Dar al-Kitab 1979).Lihat juga Abuddin Nata, Akhlak, 219-220.
[3]Tokoh sufi yang lahir di Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M, “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”.
[4]H. A Mustofa, Drs, Akhlak Tasawwuf, Pustaka Setia, Bandung, 2008.
[5]Ibid.
[6]Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H  / 861 M.
[7]               ثُمَّرَدَدْنَاهُأَسْفَلَسَافِلِينَلَقَدْخَلَقْنَاالْإِنْسَانَفِيأَحْسَنِتَقْوِيم

[8]Al-Syarbasi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Dar Al-Ma’arif, Mesir, 1978, hlm. 56
[9]Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqa, Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr, Beirut, 1987, hlm. 725-726
[10]Ibid

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com