Selasa, 11 November 2014

SEJARAH PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADITS


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
            Jumhur Ulama  berpendapat bahwa hadits Nabi Muhamma SAW yang melarang penulisan hadits tersebut sudah dinaskh dengan hadits-hadits lain yang mengizinkannya.
            Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.
            Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.
            Penulisan dan pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar.
B.     Rumusan Masalah
·         Bagaimana sejarah penulisan dan pembukuan hadist ?
·         Apa kendala pada saat pembukuan hadist dilakukan ?
C.    Tujuan
·         Untuk mengetahui sejarah penulisan dan pembukuan hadist.
·         Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kendala saat pembukuan hadist.

 PEMBAHASAN

A.   Penghapalan Hadits
Para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi SAW berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan menulis hadits dalam buku. Karena itu kebanyakan sahabat menerima hadits melalui mendengar dengan hati-hati yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafadz dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan dan mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari Nabi karena tidak semua dari mereka dapat mengikuti atau menghadiri majelis nabi setiap waktu. Kemudian, para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat yang pernah Nabi lakukan lali menyampaikannya kepada orang lain secara hapalan pula.
Hanya beberapa orang sahabat yang mencatat hadits yang didengarnya melalui Nabi SAW. Diantara sahabat yang paling banyak menghapal atau meriwayatkan hadits adalah Abu Hurairah. Menurut ibnu Jauzi, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berjumlah 5.374 buah hadits. Adapun sahabt yang paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah adalah:
1.      ‘Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan 2.630 buah hadits
2.      Anas bin Malik meriwayatkan 2.276 buah hadits
3.      Aisyah meriwayatkan 2.210 buah hadits
4.      ‘Abdullah Ibnu Abbas meriwayatkan 1.660 buah hadits
5.      Jabir bin Abdullah meriwayatkan 1.540 buah hadits
6.      Abu Said Al-Khudri meriwayatkan 1.170 buah hadits[1]

B.   Penulisan Hadits
Sebelum agama Islam datang, bangsa Arab tidak mengenal kemampuan  membaca dan menulis. Mereka lebih dikenal sebagai bangsa ummi (tidak bisa membaca dan menulis). Namun, ini tidak berarti bahwa tidak ada seorang pun yang tidak  bisa menulis dan membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan mereka. Sejarah telah mencatat sejumlah orang yang mampu membaca dan menulis. Adiy bin Zaid Al-Adi (w. 35 H) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa arabdalam surat yang ditujukan kepada Kaisar. Sebagian orang Yahudi juga mengajari anak-anak di Madinah untuk menulis Arab. Kota Mekkah dengan pusat perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan orang yang mampu membaca. Sebagaimana dinyatakan bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota Mekkah hanya sekitar 10 orang. Inilah yang dimaksut bahwa orang Arab adalah bangsa yang ummi.
Banyak akhbar yang menunjukkan bahwa para penulis lebih banyak terdapat di  Mekkah daripada di Madinah. Hal ini dibuktikan dengan adanya izin Rosulullah kepada para tawanan dalam Perang Badar dari Mekkah yang mampu menulis untuk mengajarkan menulis dan membaca kepada 10 anak Madinah sebagai tebusan diri mereka.
Hadits atau sunnah dalam penulisannya kurang memporoleh perhatian seperti halnya penulisan Al-Qur’an. Penulisan hadits dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidakresmi karena tidak diperintahkan oleh Rosul. Diriwayatkan bahwa beberapa sahabat memiliki catatan hadits-hadits Rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadits yang peernah mereka dengar dari Rosulullah SAW.
Diantara sahabat Rosulullah SAW yang mempunyai catatan-catatan hadits Rasulullah SAW adalah Abdullah bin Amru bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah. Sebagian sahabat menyatakan keberatan terhadap pekerjaan yang dilakukan Abdullah.
Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalubaliau menuturkan sesuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka, Abdullah bertanya kepada Rasulullah SAW. Mengenai hal trsebut, Rasulullah kemudian bersabda :
اُكْتُبْ عَنِّيْ فَوَالَّذِيْ بِيَدِهِ مَاخَرَجَ مِنْ فَمِيْ إِلَّاَ حَقٌّ
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada ditanganNya, tidak keluar dari mulutku, selain kebenaran.”
Menurut suatu riwayat, diterangkan bahwa ali mempunyai sebuah Sahifah dan Anas bin Malik mempunyai sebuah buku catatan.[2]
Abu Hurairah menyatakan, “ Tidak ada dari seorang sahabat Nabi yang lebih banyak (lebih mengetahui) hadits Rasulullah SAW daripadaku, selain Abdullah bin Amru bin Ash. Dia menuliskan apa yang dia dengar, sedangkan aku tidak menulisnya.” Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadits di-nasakh (di-mansukh) dengan hadits yang memberi izin yang datang kemudian.
D.   Pembukuan Hadits
Pada abad pertama Hijriah, yakni masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin, dan sebagian besar masa Bani Umayyah hingga akhir abad pertama Hijriah, hadits-hadits itu berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadits berdasarkan kekuatan hapalannya.
Ide penghimpunan hadits nabi secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukaan oleh Kholifah Umar bin Khaththab (w. 23 H/644 M). namun, ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena khawatir bila umat islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Qur’an.
Pada masa pemerintaha Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriah, yakni tahun 99 Hijriah, datanglah angin segar yang mendukung kelestarian hadits. Umar bin Abdul Aziz terkenal sebagai seorang Khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal adil dan wara’ sehingga dipandang sebagai Khalifah Rasyidin yang kelima.
Beliau sangat waspada dan sadar bahwa para perawi yang mengumpulkan hadits dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku hadits dari para perawinya akan dapat memusnahkan hadist-hadist itu dengan sendirinya.

E.   Masa-masa Hadits di Bukukan

Ø  Masa pembentukan hadits.
Masa pembentukan hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad SAW  itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja. Periode ini disebut al wahyu wa at takwin, yaitu hadits yang penyampaiannya belum ditulis/masih lisan, hanya masih dalam benak mereka. Periode ini dimulai sejak Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul hingga wafatnya ( 610 M – 632 ).

Ø  Masa penggalian.
Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi’in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini kitab hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.
Ø  Masa penghimpunan
Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi’in yang mulai menolak menerima hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari’at dan aqidah dengan munculnya hadits palsu. Para sahabat  dan tabi’in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada hadits baru yang belum  pernah dimiliki sebelumnya, diteliti secermat-cermatnya, siapaa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa hadits itu. Maka pada masa pemerintahan khalifah  ‘Umar bin ‘Abdul  ‘Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi’in memerintahkan penghimpunan hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupahan hadits marfu’, mana yang mauquf, dan mana yang maqthu’.

Ø  Masa penyusunan
Abad 3 H merupakan masa pentadwinan ( pembukuan ) dan penyusunan hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami hadits sebagai perilaku Nabi Muhammad SAW, maka para ulama mulai mengelompokkan hadits dan memisahkan kumpulan hadits yang termasuk marfu’ ( yang berisi perilaku Nabi Muhammad ), mana yang mauquf ( berisi perilaku sahabat ) dan mana yamg maqthu’ (berisi perilaku tabi’in ). Usaha  pembukuan hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih  (koreksi/verifikasi ) atas hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakan bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan mahligai hadits. Sedangkan abad 5 H dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab hadits seperti menghimpun untuk memudahkan mempelajari dengan sumber utamanya kitab-kitab hadits abad 4 H.

Ø  Masa pembukuan hadits  ( dari abad ke-2 H – abad ke-3 H )
Usaha penulisan hadits yang dirintis oleh Abu Bakar bin Hazm dan Ibnu Syihab az Zuhri pada sekitar tahun 100 H, diteruskan oleh ulama’ hadits pada pertengahan abad II H. Perintah kewarganegaraan  mengenai pengumpulan hadits di atas dari khalifah II Abasyiah di Baghdad, yaitu Abu Ja’far al-Mansur yang memerintah selama 22 tahun (136 – 158 H ). Perintah ini ditujukan kepada Malik bin Anas sewaktu berkunjung ke Madinah dalam rangka ibadah haji.
Banyak ulama’ hadits yang menghimpun bersamaan dengan kegiatan  ulama’ dalam bidang lain untuk menghimpun ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam dan sebagainya. Karena itu masa ini dikenal  dengan “Ashrulal-Tadwin” ( masa pembukuan ). Karya ulama’ pada masa ini masih bercampur antara hadits rasul dan fatwa sahabat serta tabi’in, bahkan mereka belum mengklasifikasikan antara hadits sahih, hasan dan dlo'if.
Sistem pembukuan pada masa ini adalah dengan menghimpun hadits mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian dikumpulkan dengan bab yang berisi masalah lain dalam satu karangan.
Pada masa ini, terdapat 3 golongan yang memalsukan hadits, yaitu :
1.      Golongan politik : permulaan abad II H, dari golongan Abbasiyah, syiah dan lain-lain yang bertujuan merebut kekuasan dari dinasti Umayah.
2.      Golongan tukang cerita : mereka mengarang hadits palsu untuk menambah hebat ceritanya dan untuk mendapat kepercayaan dari orang-orang.
3.      Golongan zindik (kafir) : mereka mengarang hadits palsu untuk membuat fitnah dan kekacauan di golongan umat Islam.
Untuk menjaga kemurnian dan keaslian hadits Nabi SAW, ulama’ pada masa ini mengadakan perjalanan ke daerah-daerah untuk mengecek kebenaran hadits dan meneliti sumber-sumbernya. Sehingga pada masa ini muncul kritikus hadits yang terkenal seperti Yahya bin said bin al-Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi.[3]

F.    Kendala Pembukuan Hadits
Terdapat beberapa kendala dalam pembukuan hadits, antara lain :
1.      Karena adanya orang-orang yang membuat hadits palsu
2.     Ulama’ tidak/belum memperhatikan dhoif, shahih/hasan, yang penting itu sumbernya dari Rasulullah SAW
3.     Memisahkan hadits maudu’ saja, yang lain tidak
  4.      Untuk memverifikasi kebenaran orangnya, ketika hal ini sudah, ya sudah, yang lain tidak diurus.
            Melihat adanya pemalsuan hadits yang berkembang dalam masyarakat, bergeraklah para ulama untuk membela syari’at dan memelihara agama Islam. Mereka berusaha menyaring dan menepis hadits-hadits yang diriwayatkannya itu. Hadits-hadits yang shahih mereka ambil dan hadits-hadits yang diduga palsu (dho’if) mereka tinggalkan.

PENUTUP
Kesimpulan
           
            Dengan memperhatikan apa yang telah diusahakan para ‘ulama dapatlah kita memantapkan, bahwa merekalah ilama’ yang mula-mula menciptakan undang-undang (Qowait) untuk membedakan yang baik dari yang buruk mengenai khobar-khobar dan riwayat-riwayat yang diterima dari antara  seluruh umat, karna memang ulama-ulama Islam sangat berhati-hati benar dalam soal menerima berita yang disampaikan kepadanya.
Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunah rasul dan untuk menetapkan garis pemisah antara shahih dan dho’if, istimewa antara hadits-hadits yang ada asal usulnya dengan hadits-hadits yang semata-mata maudu’.

Daftar Pustaka

Mudasir. Ilmu hadits, Pustaka Setia, Bandung, 1999.
Suyadi, Agus. Ulumul hadist. Pustaka setia. Bandung . 2008



[1] Mudasir. Ilmu hadits, Pustaka Setia, Bandung, 1999. Hal. 207
[2] Suyadi, Agus. Ulumul hadist. Pustaka setia. Bandung . 2008
[3] Mudasir. Ilmu hadits, Pustaka Setia, Bandung, 1999. Hal. 209

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com