Selasa, 05 Maret 2019

Tentang Mey dan Kopi susu yang sudah dingin


Buku "sebuah antologi Prelude"
Hay, siapapun kalian yang sudah membaca tulisanku, terima kasih. Aku harap kalian bisa menemukan maksud dan pesan yang aku selipkan di antara setiap kalimatnya ya. Di sini aku mau bercerita tentang cerita pendekku yang berjudul “Mey, kopi susu yang sudah dingin” dalam sebuah buku antologi cerpen "Prelude". Melalui cerpen ini aku membuktikan bahwa amarah dan emosi tidak melulu harus diungkapkan dengan kemarahan, ada banyak hal positif lainnya yang bisa dipilih untuk menyalurkan kemarahan itu sendiri. 

Awalnya aku tertampar dengan sebuah kalimat dalam cerpen karya penulis hebat yang pernah menyalurkan ilmunya tentang kepenulisan pada kami, yaa .. bu Wina Bojonegoro, seorang penulis cerpen, novel dan karya fiksi lainnya yang sering kali tulisannya dimuat dalam kolom cerpen harian sebuah media cetak ternama.

Begini kalimatnya “Kau tidak tahu bagaimana saat-saat aku membencimu, kemudian meletakkan karaktermu sebagai pembunuh dalam karyaku, atau membuat namamu sebagai laki-laki bajingan yang mengencani pelacur jalanan dalam sebuah cerita. Saat itulah aku merasa pembalasan dendamku padamu setimpal.”

Kurang lebih seperti itu kalimatnya. Dari sini aku sadar, ada sebuah cara pembalasan dendam yang akan memberikan kepuasan tersendiri tanpa melukai ataupun memarahi siapapun, termasuk seseorang yang menjengkelkan tersebut.

Saat aku menulis cerita ini, aku sedang dalam keadaan yang sangat tidak baik. Situasi hati dan kondisi akal yang tidak karuan membuat emosiku juga tak stabil. Ditambah lagi awal musim hujan yang datang sangat terlambat di penghujung tahun ini. Bagaimana tidak, semilir angin lengkap dengan rintikan yang bertahap, rintik demi serintik mulai membasahi ingatan dan kenangan. Seseorang dengan sengaja menghilang tanpa kabar dan tidak lagi menyapa padahal kita masih terikat dalam sebuah janji yang harus ditepati. 

Biasanya orang-orang menyebutkan hal ini sebagai dicampakkan. Tapi aku yang sudah terlanjur dibutakan rasa masih saja membela dan mengelak. Rasanya ingin marah, tapi tak berdaya. 

Kau tau rasanya ketika emosi sudah di ujung kepala ?

Sedangkan hati berusaha menenangkan agar aku tak terlalu membenci. 

Saat itulah tidak ada satupun yang mampu memenangkan. Tidak hati tidak pula akal.

Kemudian mulailah aku membuat skema sebuah kisah. Ini pun aku tidak perlu susah-susah memikirkan konflik. Aku meminjam permasalahan yang pernah ia alami di masa lalu, yang sempat ia ceritakan padaku di awal perkenalan. Tapi tidak seluruhnya aku ceritakan gamblang sesuai kenyataan. Aku hanya mengambil konflik secara garis besarnya saja. 

Menempatkan dia sebagai karakter yang sangat jahat adalah tujuanku, tapi ternyata hal ini tidak mudah. Entah dipengaruhi dengan rasa apa itu namanya, aku hanya mampu menempatkan ia hanya sebatas karakter yang bodoh, sangat bodoh bahkan. 

Kalian yang sudah membaca pasti akan tahu siapa yang aku maksud. Beberapa orang yang aku persilahkan lebih dulu membaca cerita ini sebelum dilaunching pun mengatakan hal serupa. Asik, sesuai dengan keinginanku.

Katanya sambil turut geram dengan karakter yang aku buat, jatuhlah pada kesimpulan bahwa dia adalah orang paling bodoh yang memang pantas dengan akhir cerita yang tidak menyenangkan. 

Sedangkan dari alur ceritanya sendiri, aku ingin menyampaikan sebuah pesan, bahwa sebuah keputusan yang benar sekalipun jika diinternalisasikan dengan cara yang tidak tepat, hanya akan menciptakan luka. Sebenarnya apa yang menjadi keputusan karakter utama dalam cerita ini adalah benar dengan segala pertimbangan dan pemikiran yang matang. Namun karena ketergesahannya sendirilah yang membuat dia memilih cara yang sangat kurang tepat sehingga menimbulkan kesan yang justru membuatnya terlihat seperti orang jahat. 

Di sisi lain, big thanks untuk Sheila on Seven atas lagunya yang berjudul “Dan” yang telah menemaniku selama menulis cerita ini. Lagu yang berhasil memantikkan emosiku menjadi semakin meruah saat merangkai kata demi kata dalam proses penulisan cerita ini.

Seorang sahabat juga mengatakan hal ini padaku “Cerita ini pasti berhasil membuat dia menyesal May”

Kataku “Tidak, aku tidak sedang ingin membuat siapapun menyesal. Aku sudah cukup puas bisa manamparnya dalam cerita ini. Dengan dan tanpa sepengetahuannya, kemarahan dan pembalasan dendamku sudah terbayar”

Para perempuan di balik Prelude
___

Dan untuk seseorang yang aku maksud, sadar atau tidak sadar, sesekali aku pernah sangat menyesal dengan menempatkanmu pada karakter jahat ini. Tapi di lain saat aku merasa menang sudah tidak mengutarakan kekecewaanku dengan cara yang biasa. Terkadang aku merasa bersalah telah mencurangimu, lebih-lebih tanpa sepengetahuanmu. Hanya karna sebuah emosi yang memuncak dan tidak mau memahamimu lebih, tanpa menyadari siapa aku, meminjam namamu dan berbuat semauku. 

Kamu memang pelupa rupanya, jangankan janji yang pernah kau bikin sendiri, tentang sebuah lagu yang pernah kaunyanyikan pun kau juga lupa. Sedangkan aku menjadikan itu sesuatu yang lebih. 

Sekarang aku hanya bisa senyum-senyum sendiri bila mengingat kembali semuanya dari awal. Atas kebodohanku pula, yang baru aku sadari juga, perasaan itu terlalu gegabah meracuni sekujur pikiranku. Bagaimana bisa aku tidak memahami kemanusiawian atas dirimu yang pelupa. Tapi tidak apa, setidaknya bila nanti, suatu hari lagi kamu sengaja atau tidak sengaja melupakan hal apapun itu, semoga menjadi biasa bagiku agar tidak terlalu menunggu kau menepatinya. Dan hanya karna sebuah kalimat yang kau ucap “Aku, kalau sudah janji tidak akan kuingkari”. Semoga dengan membaca ini kamu bisa menyadari.

0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com