BAB
I
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ma’rifah
Dari segi bahasa Ma’rifah berasal dari kata ‘عرف ,يعرف , عرفاdan ma’rifah yang artinya adalah pengetahuan atau
pengalaman. Ma’rifah juga bisa berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat
agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmubiasa yang didapati oleh
orang-orang pada umumnya.Ma’rifah
adalah pengetahuan yang obyeknya bukan hal-halyang bersifat dzahir, tetapi
lebih terhadap bathinnya dengan mengetahui rahasianya.Hal ini didasarkan pada
pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan.Hakikat itu
satu dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
Definisi beberapa Ulama Tasawuf, antara lain:
a.
Dr. Mustafa Zahri
mengemukakan salah satu pandapat Ulama Tasawuf yang mengatakan
اَلْمَعْرِفَةُجَزْمُالْقَلْبِبِوُجُوْدِالْوَاجِبِالْمَوْجُوْدِمُتَّصِفًابِسَائِرِالْكَمُلَاتِ
Artinya:
“Ma`rifah
adalah suatu ketetapan hati (dalam mempercayai kahadirannya) wujud yang
wajib adanya ( Allah) yang menggambarkan
segala kesempurnaannya.”
b.
Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kurdiriy
mengemukakan pendapat Abu Ath-Thayib A-Samiriy yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُطُلُوْعُالْحَقِّوَهُوَاْلقَلْبُبِمُوَاصِلَةِالأَنْوَارِ
Artinya:
“Ma`rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) dalam
keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi.
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat mencapai
ketingkatan ma`rifah. Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma`rifah,
memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun-Nun Al-Mishri yang
mengatakan: ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi apabila sudah sampai
kepada tingkatan Ma`rifah, antara lain:
a)
Selalu memancar
cahaya ma`rifah padanya dalam segala sikap dan perilaku, karena itu, sikap
wara` selalu ada pada dirinya.
b)
Tidak selalu
menjadikan kepada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena
hal-hal yang nyata dalam ajaran Tasawuf belum tentu benar.
c)
Tidak
mengingkan ni`mat yang banyak kepada dirinya, kerana hal itu bisa membawanya
kepada perbuatan yang haram.
Dari sini lah kita dapat melihat bahwa seorang Sufi tidak
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya
sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.sehingga Asy Syekh
Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma`rifah yang dimiliki Sufi cukup dapat
memberikan kebahagian bathin kepadanya, karena merasa selalu bersama-sama
dengan Tuhannya.
Selanjutnaya ma`rifah itu disamping merupakan anugerah dari Allah,
dapat pula dicapai melalui syari`at, menempuh thariqat dan memperoleh Haqiqat.
Apabila syari`at dan thariqat sudah dapat dikuasai, maka timbullah haqiqat yang
tidak lain daripada perbaikan keadaan dan ahwal. sedangkan tujuan terakhir
ialah Ma`rifah yaitu mengenal Allah dan mencintainya yang sebenar-benarnya dan
sebaik-baiknya.
Dalam kitab “Syarhul Maqashid” Taftazani menyatakan: “apabila seseorang telah
mencapai tujuan terakhir dalam perjalanan suluknya ilallah dan fillah, pasti ia
akan tenggelam dalam lautan tauhid dan `irfan sehingga zatnya selalu dalam pengawasan zat Tuhan dan sifatnya selalu
dalam pengawasan sifat Tuhan. ketika itu lah orang tersebut fana dan
lenyap dalam keadaan “maa siwallah”
(segala yang lain daripada Allah) ia tidak lagi melihat dalam wujud alam ini
kecuali Allah.
Orang yang mencapai maqam ma`rifah itu disebut `Arif billah. Dan
pada tingkat inilah ia dapat mengenal dan merasakan adanya Tuhan, bukan sekedar
mengetahui Tuhan itu ada.
Dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa mendekati Tuhan,
merasa adanya Tuhan dari ma`rifatullah hanya dapat dicapai dengan menempuh satu
jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh kaum Sufi.
Selanjutnya Al-Ghazali berkata: “barangsiapa mengalaminya, hanya
akan dapat mengatakan bahwa itu, suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah,
utama dan jangan lagi bertanya”. Beliau
berkata lagi: “Bahwa hatilah yang dapat
mencapai haqiqat sebagaimana yang telah tertulis pada Lauh Mahfudh, yaitu hati
yang sudah bersih dan suci murni. Sehingga tempat untuk mengenal dan melihat
Allah adalah Hati.
B.
Alat untuk
mencapai Ma’rifah
Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya
adalah Dzun al-Nun al-Mishri.
Ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab :
عرفت ربّى بربّى ولو لا ربّى لما عرفت ربّى
“Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku,
niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku”.
Dzun al-Nun al-Mishri adalah orang yang pertama sekali meletakkan
dasar ilmu tasawuf, karena setiap orang mengambil darinya dan dinisbahkan
kepadanya. Dia-lah orang yang pertama kali menafsirkan isyarat-isyarat sufi dan
membicarakan hal ini di jalan sufi. Pengarang kitab Tadzkirah seperti yang
dikutip oleh Dr. Ibrahim Basyuni dalam kitabnya, Nas’ah at-Taswwuf al-Islami, pernah
mengemukakan ungkapan Dzun al-Nun dalam membicarakan "afir dan ma’rifah”
sekitar dua halaman. Dia dikatakan
sebagai bapak paham ma’rifah merupakan orang pertama yang membawa paham
ma’rifah. Reinold Nicholson mengatakan
bahwa ia adalah orang yang membedakan antara ma 'rifah dengan ilmu. Ketika ia ditanya orang tentang perbedaan orang
yang alim dengan orang yang arif, dia berkata: "orang yang alim itu
ditauladani, sedangkan orang yang arif diminta petunjuknya."
Ketika membicarakan ma’rifah Dzun al-Nun membagi tiga bentuk
ma’rifah.yaitu:
a. Ma’rifah tauhid, terdapat pada diri mu'min awam.
Ma’rifah tauhid yaitu pengetahuan awam mengenai keesaan Allah
melalui perantara syahadat tanpa disertai dengan logika.Ma’rifah jenis pertama
ini dimilki oleh mayoritas orang Islam.
b. Ma’rifah hujjah (alasan) dan uraian berupa pengetahuan
yang didapat melalui hasil pembuktian nalar. Ma’rifah jenis ini dimiliki oleh
orang khawash.
c. Ma’rifah sifatkeesaan Allah, bagi para wali dan kekasih
Allah.
Dua bentuk ma’rifah pertama disebut sebagai ilmu (al-llm),
sementara bentuk terakhir disebut ma’rifah hakiki yaitu pengetahuan
tentang keesaan Tuhan dengan perentaraan hati sanubari. Ma’rifah ini hanya
terdapat pada kaum sufi.
Dalam ungkapannya yang lain Dzun-al-Nun mengatakan bahwa ma’rifah
hakiki terhadap Allah bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan yang dipercayai semua
orang mukmin dan bukan pula ilmu yang berdasarkan pembuktian dan pengamatan
para filosof serta mutakallimin, tetapi ini adalah pengetahuan tentang
sifat-sifat keesaan Allah yang diperoleh wali-wali Allah tertentu karena mereka
adalah orang yang menyaksikan Allah melalui hatinya, sehingga Allah
menyingkapkan kepada mereka sesuatu yang tidak diperlihatkan Allah kepada hamba-hambanya
yang lain.
Hal ini menggambarkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja,
tetapi adalah pemberian dari Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil dari pemikiran
manusia tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan kepada sufi yang
sanggup menerimanya.
Adapun persoalan jalan yang harus ditempuh seseorang untuk sampai
kepada ma’rifah secara sistematis belum diketemukan keterangan dari Dzun
al-Nun. Namun menurut Imam al-Qusyairi, pokok pembicaraannya tidak terlepas
dari empat hal, yakni:
1. Mengikuti wahyu.
2. Menjauhkan diri dari
takut berubah dan berpalingnya sesuatu darinya atau disebut juga membenci
kekikiran.
3. Menganggap kecil dunia
dan berpaling darinya.
4. Mencintai Allah.
Pada tahap pertama sufi harus mentaati syari'at, yaitu Alquran dan
hadits. Hal ini sesuai dengan kecenderungan Dzun al-Nun mengaitkan ma’rifah
dengan syariat.Kedua, timbulnya rasa takut untuk melakukan kejahatan, sebab
semakin banyaknya dosa yang dilakukan, maka manusia semakin terhijab untuk
berhubungan dengan Allah.Ketiga, menganggap kecil dunia, harta benda dan
kehidupan dunia hanya sebagian kecil saja dari yang sebenarnya. Maka pada tahap
ini akan muncul sikap zuhud, qana’ah, sabar dan tawkkal dan lain sebagainya.
Keempat, kecintaan kepada Allah bersemi dalam diri seseorang sufi. Di sinilah
baru didapat Mahabbah dan ma’rifah. Mahabbah menggambarkan mesranya hubungan
seseorang sufi dengan Tuhan. Sedangkan ma’rifah melukiskan hubungan yang erat
dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
Selain itu alat untuk memperoleh ma’rifah. Menurut Al-Qusyairi ada
tiga, yaitu :
1) Qalbu القلب (hati) fungsinya untuk dapat mengetahui
siffat Tuhan.
2) Ruh الرّوح (roh) fungsinya untuk dapat mencintai Tuhan.
3) Sirrun السِّرٌّ (rahasia) fungsinya untuk melihat Tuhan.
Selain Dzun al-Nun, Imam al-Ghazali juga banyak berbicara tentang
ma’rifah. Al-Ghazali mengatakan bahwa ma’rifah itu adalah al-Nazru ila wajh
Allah, atau mengetahui Tuhan dengan mata hati. Ia melihat Tuhan dengan mata
hatinya, bukan dengan mata indranya. Oleh karena itu kata al-Ghazali, orang
arif atau yang sudah mencapai ma’rifah, tidak lagi menyeru Tuhan dengan kalimat
"ya allah", karena ucapan seperti itu menunjukkan pengertian, bahwa
Aliah masih berada di belakang tabir, padahal bagi orang arif tabir itu sudah
tidak ada, maka tidak pernah lagi saling memanggil. Menurut al-Ghazali inilah
maqam tertinggi yang dapat dicapai oleh sufi.
la menolak faham ittihad yang
dibawa oleh Abu Yazid al-Bustami bahwa tingkatan ma’rifah itu masih bisa
dilampaui manusia. Jadi menurut
al-Ghazali, bahwa ma’rifah tidak menyebabkan seseorang menjadi padu dan bersatu
dengan Tuhan.
Menurut al-Ghazali, jalan menuju ma'rifat antara lain dengan bentuk
latihan terhadap jiwa, yaitu menghilangkan sifat-sifat marah, dengki, kikir,
riya, sombong, dan sebagainya. Kemudian melalui tingkatan-tingkatan seperti,
taubat, zuhud, sabar, tawakkal, juga melalui hal, seperti, syukur, rasa takut,
rasa harap, hidup fakir, rendah hati, ikhlas dan sebagainya.Menurut al-Ghazali
"sarana ma’rifah seorang sufi adalah kalbu".Kalbu menurutnya bukanlah
bagian tubuh yang dikenal terletak bagian kiri pada seorang manusia, tapi
adalah percikan rohaniah yang merupakan hakekat realitas manusia.Lebih lanjut
dia mengatakan bahwa kalbu itu bagaikan cermin.Sementara ilmu adalah pantulan
gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin kalbu tidak bening, maka
ia tidak dapat memantulkan realitas realitas ilmu. Menurut al-Ghazali lagi,
yang membuat cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu
tubuh.Sementara"ketaatan" kepada Allah serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang membuat kalbu berlinang dan cemerlang.
Menurut Dzunun Al-Misrilah (bapak paham Ma’rifat) bahwa pengetahuan
tentang Tuhan itu ada tiga macam:
a. Pengetahuan Awam
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan
syahadat.
b. Pengetahuan Utama
Member penjelsan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika).
c. Pengetahuan Sufi
Memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara hati sanubari.
Bahwa pengetahuan Awam dan Ulama diatas belum dapat memberikan
pengetahuan haqiqi tentang Tuhan.Sehingga kedua pengetahuan tersebut baru
disebut “ilmu” belum dapat dikatakan sebagai Ma’rifat. Akan tetapi pengetahuan
yang disebut ma’rifat adalah pengetahuan sufi. Ia dapat mengetahui hakikat
Tuhan (ma’rifat). Sehingga ma’rifat hanya dapat diperoleh pada kaum sufi.
Mereka mampu melihat Tuhan dengan cara melalui hati sanubarinya. Disamping juga
mereka didalam hatinya penuh dengan cahaya.Ada perbedaan antara makna ma’rifat
versi al-Gazali dengan versi Dzunnun al-Misri.Menurut al-Gazali ma’rifat dapat
diperoleh dengan latihan dan metode tertentu, karena itu tingkatan ma’rifat
seseorang diukur dari latihan dan metodenya.Lain halnya dengan al-Misri, yang
mengatakan bahwa ma’rifat merupakan pemberian Allah dan tidak bisa
diusahakan.Ma’rifat datang dengan sendirinya ketika hal seseorang telah
mencapai keadaannya. Selain itu, al-Gazali menganggap dalam urutan maqamat
bahwa ma’rifat mendahului mahabbah,
sebaliknya dengan Dzunnun.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai
tingkat ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:
a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat, bagaikan berada di muka cermin, dan yang dilihatnya hanya Allah SWT
saja.
b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai
tingkatan ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna
gelasnya.
c. Sahal bin Abdillah mengatakan, puncak ma’rifat adalah keadaan
yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan
Tuhan-nya, sehingga membawa pada kelupaan dirinya.
C. Tokoh yang mengembangkan Ma’rifah
Dalam literature tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenal
paham Ma’rifat, yaitu Al-Ghazali dan Zun Al-Nun Al-Misri.
a)
Al-Ghazali
Nama lengkapnya
adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, yang karena kedudukan
tingginya dalam lslam dia digelari Hujjah al-Islam.Ayahnya, menurut sebagian
penulis biografi, bekerja sebagai pemintal wol. Dari latar itulah sufi kita ini
terkenal dengan al-Ghazzali (yang memintal wol) dan juga terkenal dengan
al-Ghazali (dengan memakai satu huruf "z") dinisbahkan pada suatu kawasan
yang disebut Ghazalah. Ia dilahirkan di
Thus, kawasan Khurasan, tahun 450 H atau 451 H. Ia menerima pendidikan
mistisnya di rumah seorang sufi sahabat ayahnya, setelah ayahnya meninggal
dunia. Pada masa kecilnya ia belajar fiqih kapada Ahmad al-Radzkani di Thus,
lalu belajar kepada Imam Abu Nashr al-Isma'ili di Jurjan dan belajar kepada Abu
al-Ma'ali al-Juwaini, yaitu salah seorang teolog aliran Asy'ariyah yang
bergelar Imam al-Haramain di Nishapur.
Di bawah
bimbingan gurunya inilah dia bersungguh-sungguh belajar dan berijtihad sampai
benar-benar menguasai mazhab-mazhab, perbedaan pendapatnya, perbantahannya,
teologinya, ushul fikihnya, logikanya, dan membaca filsafat dan ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan itu.Dan dia terus mendapingi gurunya, al-Juwaini, sampai
gurunya meninggal dunia tahun 478 H. Dia
lalu meninggalkan Nishapur menuju al-Askar, di sana dia bertemu dengan seorang
menteri yang terkenal, Nizham al-Mulk dan dia ditawarkan untuk mengajar di
perguruannya, yaitu al-Nizhamiyah di Baghdad. Maka al-Ghazali menyambut baik
tawaran mengajar itu.Selama kehidupannya al-Ghazali menimba dan mendalami
banyak cabang ilmu, dan juga filsafat. Dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut,
barangkali untuk menghilangkan keraguannya yang muncul sejak ia mengajar. Ternyata
ilmu-ilmu ini tidak memberinya ketenangan jiwa.Kegelisahan jiwanya malah
semakin menggelora sampai membuatnya tertimpa krisis psikis yang kronis, yang
diuraikannya dengan menarik dalam karyanya, al-Munqidz min al-Dalal.Di antara
ungkapannya adalah,"Lalu keadaan diriku pun kurenungi, dan temyata aku
telah tenggelam dalam ikatan-ikatan (yang bercorak duniawi) yang meliputi
diriku dari segala sudut.Amal-amalku pun kurenungi, khususnya amalku yang
terbaik, yaitu mengajar, dan temyata aku hanya menerima ilmu-ilmu yang sepele
dan tidak berguna.Akupun memikirkan niatku dalam mengajar, dan tertyata niatku
tidak ikhlas demi Allah.Bahkan hanya didorong keinginan untuk menadapatkan
jabatan serta menjadi terkenal”.
Akibat keadaan krisis ini, al-Ghazali lalu meninggalkan
kedudukannya sebagai guru besar di al-Nizhamiyah dan kemudian hidup menyendiri.
Dalam penyendiriannya, ia menggeluti bidang tasawuf, tasawuf yang dipilihnya
adalah tasawuf Sunni yang berdasarkan doktrin Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah. Menurut
Al-Ghazali Ma’rifah urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena
mahabbah timbul dari Ma’rifah.
b)
Dzun Al-Nun
Al-Misri
Nama aslinya
adalah Abul Faidh Dzun al-Nun Tsauban bin Ibrahim al-Mishri (155 H-245H/859 M).
Ayahnya adalah orang Naubi, luar biasa kepandaiannya.Dia-lah satu satunya orang
yang berilmu pada masanya, bersikap wara’ dan hal serta serta berakhlak.Ia pun
pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk
diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil. Berasal
dari Naubah, suatu negeri yang terletak diantara Sudan dan Mesir. Tahun
kelahirannya tidak banyak yang mengetahui, yang diketahui hanya tahun wafatnya,
yaitu 860 M.
Menurutnya
Ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati
sanubari mereka. Baginya Ma’rifat tidak diperbolehkan begitu saja, tetapi
melalui pemberian Tuhan.Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi
tergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan.
D.
Ma’rifah dalam
pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadits
Allah menciptakan manusia dengan sempurna yaitu diberikannya bentuk
tubuh yang baik, akal pikiran dan nafsu, kemudian manusia itu sendiri yang
menentukan mampu atau tidaknya menggunakan pemberian Allah dengan baik (QS.
Attin: 4-5).
Ruh sebagai power untuk menghidupkan seluruh anggota badan, Akal sebagai alat
untuk menerima ilmu pengetahuan atau untuk mengetahui hakikat sesuatu secara
logis tanpa mempertimbangkan hal-hal yang irasional, anggota tubuh seperti
panca indra yang hanya dapat merealisasikan secara indrawi tanpa mempertimbangkan
penghalangnya. Dari semua anggota tubuh manusia hanya hati yang dapat menerima
sesuatu yang mutlak dari Allah yang maha kuasa karena hati adalah sebagai tuan
dari anggota tubuh, semua aktivitas anggota tubuh digerakkan oleh hati dan hati
adalah Allah yang menggerakkan.
وَالَّذِينَيُؤْمِنُونَبِمَاأُنْزِلَإِلَيْكَوَمَاأُنْزِلَمِنْقَبْلِكَوَبِالآخِرَةِهُمْيُوقِنُونَ
أُولَئِكَعَلَىهُدًىمِنْرَبِّهِمْوَأُولَئِكَهُمُالْمُفْلِحُونَ.
إِنَّالَّذِينَكَفَرُواسَوَاءٌعَلَيْهِمْءَأَنْذَرْتَهُمْأَمْلَمْتُنْذِرْهُمْلايُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian kami
kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shalih; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya
" (QS.Al Bayyinah:4-6).
أَلَمْتَرَإِلَىالَّذِينَخَرَجُوامِنْدِيَارِهِمْوَهُمْأُلُوفٌحَذَرَالْمَوْتِفَقَالَلَهُمُاللَّهُمُوتُواثُمَّأَحْيَاهُمْ
ۚ إِنَّاللَّهَلَذُوفَضْلٍعَلَىالنَّاسِوَلَٰكِنَّأَكْثَرَالنَّاسِلَايَشْكُرُونَ.
“Sesungguhnya
Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi manusia kebanyakan tidak bersyukur
" (QS.Al Baqarah:243)
بِئْسَمَااشْتَرَوْابِهِأَنْفُسَهُمْأَنْيَكْفُرُوابِمَاأَنْزَلَاللَّهُبَغْيًاأَنْيُنَزِّلَاللَّهُمِنْفَضْلِهِعَلَىٰمَنْيَشَاءُمِنْعِبَادِهِ
ۖ فَبَاءُوابِغَضَبٍعَلَىٰغَضَبٍ ۚ وَلِلْكَافِرِينَعَذَابٌمُهِينٌ
“Allah
menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendakinya diantara hamba-hamba
Nya " (QS.Al Baqarah:90).
Allah
telah menyediakan dan memberikan beberapa kelebihan untuk manusia sehingga
manusia yang asal mulanya sama diciptakan dari tanah kemudian mempunyai tingkat
kelebihan yang berbeda disisi Allah karena ketaqwaan dan usaha mereka untuk
mencapai kehadhirat-Nya. Kelebihan Allah yang diberikan kepada manusia diluar
adat kebisaan manusia biasa (Khariqul Adat) dan diluar akal manusia, sehingga
manusia yang mendapat kelebihan dapat berbuat diluar adat dan akal manusia.
Dengan limpahan cahaya Allah itulah manusia dapat mengetahui
rahasia-rahasia yang ada pada-Nya.Dia lalu bisa mengetahui hal-hal yang tidak diketahui
oleh manusia biasa.Orang yang sudah mencapai ma’rifat bisa berhubungan langsung
dengan sumbar ilmu yaitu Allah.Dengan hati yang telah dilimpahi cahaya,
seseorang bagaikan memiliki antena parabola yang mendapatkan pengetahuan
langsung dari Tuhan.
Allah swt
berfirman:
فَبَدَأَبِأَوْعِيَتِهِمْقَبْلَوِعَاءِأَخِيهِثُمَّاسْتَخْرَجَهَامِنْوِعَاءِأَخِيهِ
ۚ كَذَٰلِكَكِدْنَالِيُوسُفَ ۖ مَاكَانَلِيَأْخُذَأَخَاهُفِيدِينِالْمَلِكِإِلَّاأَنْيَشَاءَاللَّهُ
ۚ نَرْفَعُدَرَجَاتٍمَنْنَشَاءُ ۗ وَفَوْقَكُلِّذِيعِلْمٍعَلِيمٌ.
Artinya :
”dan tatkala
telah datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata:
"Sesungguhnya ini adalah sihir yang nyata". (QS. Yunus : 76)
Ma’rifat
yang dicapai seseorang terkadang diberi nama beragam. Al-Syarbasi menyebutkan ilmu
Al Mauhubah (pemberian),
Al Syuhrawardi menyebutkan al Isyraqiyah (pancaran), dan Ibn Sina
menyebutkan al Fa’id (limpahan).
Sementara itu, kalangan pesantren mengistilahkannya sebagai Futuh (pembuka),
kalangan masyarakat Jawa menyebutnya ilmu laduni, dan kalangan kebatinan
menamakannya sebagai wangsit .
Uraian
di atas telah menginformasikan bahwa ma’rifat adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari
Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang
dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian, ma’rifat
berhubungan dengan Nur (Cahaya Tuhan).Di dalam Al-Qur’an, dijumpai tidak kurang
dari 43 kata “nur” dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan.Misalnya
ayat yang berbunyi:
أَوْكَظُلُمَاتٍفِيبَحْرٍلُجِّيٍّيَغْشَاهُمَوْجٌمِنْفَوْقِهِمَوْجٌمِنْفَوْقِهِسَحَابٌظُلُمَاتٌبَعْضُهَافَوْقَبَعْضٍإِذَاأَخْرَجَيَدَهُلَمْيَكَدْيَرَاهَاوَمَنْلَمْيَجْعَلِاللَّهُلَهُنُورًافَمَالَهُمِنْنُورٍ
Artinya :
”atau
seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di
atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang
tindih-bertindih, apabila Dia mengeluarkan tangannya, Tiadalah Dia dapat
melihatnya, (dan) Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah
Tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun”. (QS. An Nur : 40)
Artinya :
” Maka Apakah
orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia
mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka
kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat
Allah.mereka itu dalam kesesatan yang nyata”.
(QS. Az Zumar : 22)
Dua
ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan.Cahaya tersebut ternyata
dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang
mendapatkan cahaya dengan mudah mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka
yang tidak mendapatkan cahaya akan menemui kesesatan. Dalam ma’rifat kepada
Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran
ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an .Selanjutnya, simak juga hadits qudsi berikut:
“Aku (Allah)
adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa
Aku, maka Aku ciptakan mahluk.Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada
mereka.Maka mereka mengenal Aku”.
Hadits
tersebut memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia.Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya.
Ini menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
BAB
II
KESIMPULAN
v Pengertian Ma’rifat
Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan hal-halyang
bersifat dzahir, tetapi lebih terhadap bathinnya dengan mengetahui rahasianya.
Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat
ketuhanan.Hakikat itu satu dan segala yang maujud berasal dari yang satu.
v Alat untuk mencapai Ma’rifat
Alat yang dapat digunakan untuk mencapai ma’rifat telah ada dalam
diri manusia, yaitu qalb (hati). Selain sebagai alat untuk merasa, qalb
juga menjadi alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal
tidak dapat memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan
qalb bisa mengetahui hakekat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya
Tuhan bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
v Faham Ma’rifat
Menurut Dzunun Al-Misrilah (bapak paham Ma’rifat) bahwa pengetahuan
tentang Tuhan itu ada tiga macam:
a.
Pengetahuan
Awam
b.
Pengetahuan
Utama
c.
Pengetahuan
Sufi
v Jalan Ma’rifat
·
Menurut
Al-Qusyairi ada tiga, yaitu :
1)
Qalbu القلب (hati)
2)
Ruh الرّوح (roh)
3)
Sirrun السِّرٌّ
(rahasia)
v Tokoh yang mengembangkan Ma’rifat
c)
Al-Ghazali
d)
Dzun Al-Nun
Al-Misri
v Ma’rifat dalam pandangan al-Qur’an dan
al –Hadits
Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah
cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam
Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an .Selanjutnya, simak juga hadits
qudsi berikut:
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku
ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakan mahluk.Oleh karena itu Aku
memperkenalkan diri-Ku kepada mereka.Maka mereka mengenal Aku”.
Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh
manusia.Caranya dengan mengenal atau
meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Daftar pustaka
SUWITO, sejarah sosial pendidikan islam, Jakarta, Prenada
Media, cet ke-1, 2005
Tim Penyusun
MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf, Surabaya,cet. Ke-3, 2013
http://belajarilmutasawuf.blogspot.com/2011/10/pengertian-marifat.html
Abuddin Nata,
Akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. Ke-4, 2002
Harun Nasution,
Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1983
Mustafa Zahri,
Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya, cet. Ke-1, 1995
Tim Penyusun
MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf, Surabaya,cet. Ke-3, 2013