BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa melepaskan diri dari aktivitas berpikir.
Dengan berpikir manusia mampu memberi makna bagi realitas yang hadir dihadapan
kesadarannya dalam pengalaman dan pengertian. Artinya orang itu benar-benar
dikatakan sebagai manusia ketika ia mampu memaknai realitas yang mewujud
dihadapannya. Dan mampu memberikan reaksi secara proposional dan professional.
Tujuan
langsung dari logika hanya menelaah hal-hal yang berksar pada teknik berpikir
yang menjadi milik manusia. Adapun tujuan berpikir lebih lanjut yaitu sebagai
tujuan terakhir ialah mencapai kebenaran.
Dengan kata
lain ditunjuk sasaran atau bidang logika, yaitu kegiatan pikiran atau akal budi
manusia. Dengan berpikir dimaksudkan kegiatan akal untuk “mengolah” pengetahuan
yang telah kita terima melalui panca indra, dan ditunjukkan untuk mencapai
suatu kebenaran.
Jadi dengan
istilah “berpikir” ditunjukkan suatu kegiatan akal yang khas dan terarah.
Dengan kata-kata yang lebih sederhana dapat dikatakan berpikir adalah
“berbicara dengan diri sendiri didalam batin” (Plato, Aristoteles);
mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan
alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari berbagai
hal yang berhubungan satu sama lain, mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi,
serta membahas suatu realitas.
Dengan ini
ditunjukkan segi khusus yang diperhatikan dalam logika, yaitu tepatnya
pemikiran kita. Suatu jalan yang tepat dan jitu, yang sesuai dengan
patokan-patokan seperti yang dikemukakan dalam logika disebut “logis”. Jalan
pikiran yang tidak mengindahkan patokan-patokan logika itu tentu berantakan dan
sesat dan dari pikiran yang tersesat akan timbul tindakan yang sesat pula.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Prinsip-prinsip dasar logika
Dasar logika yang kedudukannya sebagai bagian langsung dari bentuk
logika adalah pernyataan, karena pernyataan inilah yang digunakan dalam
pengolahan dan perbandingan.[1]
Prinsip-prinsip dasar logika :
1) Prinsip Identitas (Principium Identitas)
Prinsip ini sebetulnya amat sederhana
tetapi sebaliknya amatpenting. Prinsip ini adalah dasar dari semua pemikiran
dan bahkan prinsip yang lain. Kita tidak mungkin dapat berpikir tanpa prinsip
ini. Prinsip ini mengatakan “sesuatu hal adalah sama dengan halnya sendiri”
dengan kata lain bahwa sesuatu itu adalah dia sendiri bukan lainya. Jika kita
mengatakan Z maka ia adalah Z dan bukan A, B atau C. Bila kita beri perumusan
akan berbunyi “Bila proposisi itu benar maka benarlah ia”.[2]
2) Prinsip Keindividuan (Principium
Individuationis)
Prinsip ini sebetulnya hanya merupakan
penegasan dari prinsip pertama. Disini ditegaskan bahwa suatu hal bagaimana
nampaknya sama dengan hal yang lain, toh tidak mungkin sama benar-benar, tidak
identik! Tiap-tiap hal merupakan suatu individu, jadi lainlah dengan yang lain.
Mungkin seorang, Ahmad misalnya, mempunyai
banya persamaan sifat dengan orang lain yang bernama Budi. Walaupun demikian
tak pernahlah si Ahmad sama persis (identik) dengan Budi. Selama suatu hal
dapat dihitung, jadi dapat disebut “satu”, lainlah ia dari yang lain. Tak aa
dua buah batu yang sama. Tiap-tiap satu merupakan individu, dan yang
dimaksudkan dalam prinsip ini adalah benda kongkrit.[3]
3) Prinsip Kontradiksi (Principium
Contradictoris)
Pendapat yang dikeluarkan secara positif
disebut pengakuan, disitu diakui hubungan sesuatuterhadap sesuatu. Kalau
disamping pengakuan ini dimajukian pengingkarannya dengan menambahkan “tidak”
atau “bukan”, maka hanya satu pendapat saja yang benar, maksudnya hanya satu
pendapat sajalah yang dianggap benar. Prinsip ini mengatakan bahwa pengingkaran
sesuatu tidak mungkin sama dengan pengakuan. Jika kita mengakuibahwa sesuatu
itu bukan A maka tidak mungkin pada saat itu ia adalah A, sebab realitas ini
hanya satu sebagaimana disebut oleh prinsip identitas. Dengan kata lain = Dua
kenyataan yang kontradiktoris tidak mungkin bersama-sama secara simultan. Jika
hendak kita rumuskan, akan berbunyi “Tidak ada proposisi yang sekaligus benar
dan salah”
4) Prinsip Penolakan Kemungkinan Ketiga
(Principium Exclusi Tertii)
Prinsip ini mengatakan bahwa antara
pengakuan dan pengingkaran kebenarannya terletak pada salah satunya. Pengakuan
dan pengingkaran adalah pertentangan yang mutlak, karena itu disamping tidak
mungkin benar keduanya juga tidak mungkin salah keduanya. Bila pernyataan dalam
bentuk positifnya salah berarti ia memungkiri realitasnya, atau dengan kata
lain realitas ini bertentangan dengan pernyataannya. Dengan begitu maka
pernyataan berbentuk ingkarlah yang benar, karena inilah yang sesuai dengan
realitas. Juga sebaliknya, jika pernyataan ingkarnya salah, berarti ia
mengingkari realitasnya, maka pernyataan positifnya yang benar, karena ia
sesuai dengan realitasnya.
Pernyataan kontradiktoris kebenarannya
terdapat pada salah satunya (tidak memerlukan kemungkinan ketiga). Jika kita
rumuskan, akan berbunyi “suatu proposisi selalu dalam keadaan benar atau salah”[4]
5) Prinsip Alasan yang Cukup (Principium
Rationis Sufficientis)
Prinsip ini sebenarnya melengkapi sekali
lagi prinsip identitas. Memang suatu hal yang merupakan individu itu sama
dengan dirinya dan hanya dengan dirinya sendiri. Prinsip identitas dan
individuation masih tetap berlaku setelah ada perubahan itu. Jadi kalau
dikatakan A ya A, kalu A itu menjadi B, maka dalam keadaan itu harus lalu
berlaku B ya B. prinsip alasan yang cukup ini hanya mengatakan, bahwa
berubahnya A menjadi B itu haus ada alasannya yang cukup.[5]
B.
Pengertian berfikir ilmiah
Berpikir Ilmiah merupakan suatu pemikiran atau tindakan seorang
manusia yang menggunakan dasar-dasar dan ilmu tertentu. Sehingga ide tersebut
dapat diterima orang lain. Berpikir ilmiah juga harus melalui proses yang
panjang dan benar karena akan menyangkut kebenaran. Berpikir ilmiah adalah
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan dsb.
secara ilmu pengetahuan (berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengethuan. Atau
menggunakan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan
penjelasan kebenaran. Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas
dengan pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian. [6]
Dalam berpikir ilmiah seseorang harus memperhatikan dasar-dasarnya.
Yang didalamnya menyangkut apa, siapa, dimana, kapan, dan bagaimana. Biasanya
hal itu digunakan untuk mencari rumusan masalah dan mencari solusi atau
kesimpulan suatu masalah. Berpikir ilmiah sangat penting dalam melakukan
sesuatu, tidak hanya di lingkungan masyarakat tetapi juga di lingkungan sekolah
atau kampus. Jika dalam suatu pekerjaan untuk menunjukkan hasil dari pekerjaan
kita. Kita pasti akan dituntut untuk menunjukkan apa saja hasil dari pekerjaan
kita dan semua itu pasti akan diuji kebenarannya sehingga orang lain akan
percaya dengan pekerjaan kita.
Berpikir ilmiah juga sangat penting dalam melakukan penelitian
sesuatu, baik tentang tanaman, hewan, manusia dan sebagainya. Pasti dalam
membuat dan mengumpulkan data itu sendiri harus sesuai dengan kebenaran karena
untuk menjelaskan hasil dari penelitian kita dibutuhkan suatu pemikiran yang
ilmiah. Selain itu berpikir ilmiah juga tanpa emosi dan berpikir sesuai
kebenaran yang ada. Untuk itu sebagai manusia yang ingin selalu menjadi
terbaik, kita harus selalu menggunakan pemikiran ilmiah dalam setiap pendapat
rasional orang–orang sekitar kita akan selalu menganggap kita tidak berpendapat
yang omong kosong. Setiap manusia disamping berpikir ilmiah harus didukung
dengan berpikir positif serta pemikiran-pemikiran yang yang baik. Untuk
menjadikan setiap pendapat kita selalu dapat dipercaya dan diterima oleh semua
orang.
Kegiatan berfikir kita lakukan dalam keseharian dan kegiatan
ilmiah. Berpikir merupakan upaya manusia dalam memecahkan masalah. Berfikir
ilmiah merupakan berfikir dengan langkah – langkah metode ilmiah seperti
perumusan masalah, pengajuan hipotesis, pengkajian literatur, menguji
hipotesis, menarik kesimpulan. Kesemua langkah – langkah berfikir dengan metode
ilmiah tersebut harus didukung dengan alat / sarana yang baik sehingga
diharapkan hasil dari berfikir ilmiah yang kita lakukan mendapatkan hasil yang
baik. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam
berbagai langkah yang harus ditempuh. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah
untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan
tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengehahuan yang
memungkinkan untuk bisa memecahkan masalah sehari-hari. Ditinjau dari pola
berfikirnya, maka ilmu merupakan gabungan antara pola berfikir deduktif dan
berfikir induktif, untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada
proses logika deduktif dan logika induktif .Penalaran ilmiah mengharuskan kita
menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan
fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berfikir ilmiah
yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berfikir ini dengan baik pula.
Salah satu langkah kearah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan
masing-masing sarana berfikir tersebut dalam keseluruhan berfikir ilmiah
tersebut
Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis
adalah masuk akal, dan empiris adalah dibahas secara mendalam berdasarkan
fakta yang dapat dipertanggung jawabkan, selain itu menggunakan akal budi
untuk mempertimbangkan, memutuskan, dan mengembangkan. Berpikir merupakan
sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian
gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai
pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Berpikir ilmiah adalah kegiatan
akal yang menggabungkan induksi dan deduksi. Induksi adalah cara berpikir yang
di dalamnya kesimpulan yang bersifat umum ditarik dari pernyataan-pernyataan
atau kasus-kasus yang bersifat khusus, sedangkan, deduksi ialah cara berpikir
yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat khusus ditarik dari
pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.[7]
C.
Karakteristik berfikir ilmiah
Para mahasiswa selalu diajak untuk berpikir ilmiah. Cara berpikir itu tidak saja terkait dalam
kegiatan riset, atau tatkala mengikuti
perkuliahan di ruang kelas, melainkan juga dalam segala tindakannya
sehari-hari. Setiap komunitas memiliki cara berpikir yang
berbeda-beda. Orang kampus adalah disebut sebagai masyarakat ilmiah, sehingga
cara berpikirnya pun juga harus mengikuti cara berpikir ilmiah.
Setidaknya ada empat ciri berpikir ilmiah.
1.
Harus obyektif. Seorang ilmuwan dituntut mampu berpikir obyektif atau apa adanya. Seorang yang berpikir obyektif selalu
menggunakan data yang benar.
Disebut sebagai data yang benar, manakala data itu diperoleh dari sumber dan cara yang benar.
Sebaliknya, data yang tidak
benar oleh karena diperoleh dengan cara yang tidak benar. Data itu dibuat-buat, misalnya. Data yang benar adalah data yang benar-benar sesuai dengan
kenyataan yang ada, tidak kurang dan tidak lebih.
Ternyata untuk mendapatkan data yang benar juga tidak mudah. Lebih
mudah mendapatkan data palsu. Seorang ilmuwan
harus mampu membedakan antara data yang benar itu dari data yang palsu. Data yang benar tidak selalu mudah mendapatkannya,
dan hal itu sebaliknya adalah data palsu. Banyak orang berpikir salah, oleh
karena mendasarkan pada data yang salah atau bahkan data palsu. Dari
kenyataan seperti ini, maka seorang yang berpikir ilmiah, harus hati-hati terhadap data yang tersedia.
2.
Rasional atau secara
sederhana orang menyebut masuk akal.
Seorang berpikir ilmiah harus mampu menggunakan logika yang benar. Mereka bisa
mengenali kejadian atau
peristiwai mulai apa yang menjadi sebab dan apa pula akibatnya.
Segala sesuatu selalu
mengikuti hukum sebab dan akibat. Bahwa sesuatu ada, maka pasti ada yang
mengadakan. Sesuatu menjadi
berkembang, oleh karena ada kekuatan yang mengembangkan. Seseorang
menjadi marah oleh karena terdapat sebab-sebab yang menjadikannya marah.
Manakala sebab itu tidak ada, tetapi tetap marah, maka
orang dimaksud dianggap di luar kebiasaan, atau tidak masuk akal.
Orang berikir ilmiah tidak akan terjebak atau terpengaruh oleh
hal-hal yang tidak masuk akal. Informasi, pendapat atau pandangan baru bagi
seseorang yang selalu berikir ilmiah
tidak segera diterimanya. Mereka akan mencari tahu informasi itu tentang
sumbernya, siapa yang membawa, dan kalau perlu diuji terlebih dahulu atas kebenarannya. Begitu pula tatkala
menghadapi pandangan atau pendapat, maka seorang yang berpikir ilmiah akan berusaha mendapatkan alasan atau dasar-dasar
yang digunakan hingga muncul pandangan atau pendapat itu. Atas sikapnya seperti itu, maka seorang yang berpkir ilmiah dianggap kritis.
3.
Terbuka. Ia selalu memposisikan diri bagaikan gelas yang terbuka
dan masih bisa diisi kembali. Seorang
yang terbuka adalah selalu siap mendapatkan masukan, baik
berupa pikiran, pandangan,
pendapat dan bahkan juga data atau informasi baru dari manapun asal atau sumbernya.
Ia tidak segera menutup diri, bahwa hanya pendapatnya sendiri saja
yang benar dan selalu mengabaikan
lainnya dari mana pun asalnya. Seseorang
yang berpikir ilmiah tidak akan tertutup dan apalagi menutup diri.
4.
Selalu berorientasi pada kebenaran,
dan bukan pada kalah dan menang. Seorang yang berpikir ilmiah
sanggup merasa kalah tatkala buah
pikirannya memang salah. Kekalahan itu tidak dirasakan sebagai sesuatu yang
mengecewakan dan menjadikan dirinya
merasa rendah. Seorang yang berpikir ilmiah lebih mengedepankan
kebenaran daripada sekedar kemenangan. Kebenaran menjadi tujuan utamanya. Oleh
karena itu, seseorang yang berpikir ilmiah, dalam suasana apapun harus mampu mengendalikan diri, agar tidak bersikap emosional,
subyektif, dan tertutup.
Keempat hal itulah karakteristik berpikir ilmiah, setidaknya yang
harus disandang oleh warga kampus yang biasa disebut mampu berpikir ilmiah.[8]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Ø Prinsip-prinsip
dasar logika
Dasar logika yang kedudukannya sebagai bagian langsung dari bentuk
logika adalah pernyataan, karena pernyataan inilah yang digunakan dalam
pengolahan dan perbandingan.
Prinsip-prinsip dasar logika :
1) Prinsip Identitas (Principium Identitas)
2) Prinsip Keindividuan (Principium
Individuationis)
3) Prinsip Kontradiksi (Principium
Contradictoris)
4) Prinsip Penolakan Kemungkinan Ketiga
(Principium Exclusi Tertii)
5) Prinsip Alasan yang Cukup (Principium
Rationis Sufficientis)
Ø Pengertian Berpikir Ilmiah
Berpikir Ilmiah
merupakan suatu pemikiran atau tindakan seorang manusia yang menggunakan
dasar-dasar dan ilmu tertentu. Sehingga ide tersebut dapat diterima orang lain.
Berpikir ilmiah juga harus melalui proses yang panjang dan benar karena akan
menyangkut kebenaran. Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk
mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan dsb. secara ilmu pengetahuan
(berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengethuan. Atau
menggunakan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan
penjelasan kebenaran. Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas
dengan pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian.
Ø Karakteristik
berfikir ilmiah
Setidaknya ada empat ciri berpikir ilmiah.
1) Harus obyektif.
2) Rasional atau secara sederhana orang menyebut masuk
akal
3)
Terbuka
4) Selalu
berorientasi pada kebenaran, dan bukan
pada kalah dan menang.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Mundiri. 2012.
Logika, Jakarta: Rajawali Pers.
Surajiyo.
2012. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Poespoprodjo.
2011. Logika Ilmu Menalar. Bandung: CV Pustaka Grafika.
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil
Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.
Poedjawijatna.
2000. Logika – Filsafat Berpikir. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
[1]
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar(Jakata: cet. Ke-V, 2012), hal 34
[2]
Mundiri, Logika (Jakarta: cet. Ke-15, 2012), hal 11
[3]
Poedjawijatna, Logika-Filsafat Berpikir (Jakart: cet. Ke-9, 2000), hal 22
[4]
Mundiri, Ibid., Hal 12
[5]
Poedjawijatna, Ibid., Hal 25
[6]
Kartono (1996, Khodijah, 2006) Hal 118
[7]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: 2009) Hal 68
[8]
UIN Maliki Malang. Logika Filsafat (Malang 2009) hal. 73