KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang
senantiasa memberikan petunjuk, bimbingan dan inayahNya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian mengenai politik yang diberi judul “Kebijakan Politik
Walikota Surabaya Terhadap Penutupan Lokalisasi Prostitusi Dolly Di Mata
Mahasiswa” ini dengan baik dalam waktu yang telah ditentukan, sehingga semua
hambatan kendala yang dihadapi dapat diselesaikan dengan lancar.
Sholalwat dan salam keharibaan Nabi Muhammad
SAW yang menganjurkan umatnya untuk mengajar, belajar, dan mendengar serta
menekankan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
Sumber pengambilan data yang disusun dalam penelitian
ini mengutip dari beberapa buku yang membahas tentang komunikasi politik. Hasil
wawancara dengan beberapa narasumber dan beberapa wacana mengenai politik dan
judul yang dimaksudkan. Penelitian ini dibuat dalam rangka untuk mengetahui dan
mempelajari tentang pemahaman Komunikasi Politik. Sekaligus melakukan apa yang
menjadi tugas mahasiswa dalam pembuatan tugas.
Selanjutnya penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca sehingga akan menumbuhkan rasa syukur kepada
rahmat Allah SWT dan dalam hal perbaikan tugas penelitian ke depannya.
Hanya kepada Allah SWT kami berserah diri,
agar Dia berkenan memberikan kepada kami kesuksesan, pertolongan dan diterima
secara baik oleh pembimbing serta teman-teman mahasiswa serta berkenan
menjadikan tulisan ini bermanfaat dan berpengaruh sesuai harapan. “Sesungguhnya
Tuhanku Maha Mendengar semua permohonan”.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surabaya, 21 Desember
2014
Peneliti
ABSTRAK
Choirotul
Umayah, B06213015, 2014. Kebijakan Politik Walikota Surabaya Terhadap Penutupan
Lokalisasi Prostitusi Dolly DI Mata Mahasiswa. Tugas Penelitian Mata Kuliah
Komunikasi Politik Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah Dan Komunikasi
UIN Sunan Ampel Surabaya.
Kata Kunci :
Kebijakan, Politik, Prostitusi
Yang menjadi latarbelakang diadakannya
penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan mahasiswa terhadap kebijakan
politik walikota Surabaya dalam menutup lokalisasi prostitusi Dolly di
Surabaya. Salah satu yang mencirikan dari komunikasi politik itu sendiri yaitu
sedikit banyak melibatkan pesan dan tokoh politik, atau berkaitan dengan
kekuasaan pemerintah dan kebijakan pemerintah. Sebelumnya sudah banyak
kebijakan yang dilakukan oleh walikota Surabaya, namun kebijakan yang satu ini
lebih banyak menarik perhatian banyak warga, bahkan sampai terdengar ke luar
negri.
Adapun persoalan yang dikaji dalam penelitian
ini yaitu membahas tentang penilaian mahasiswa sebagai salah satu lapisan
masyarakat terhadap dampak yang ditimbulkan pasca penutupan lokalisasi prostitusi
Dolly di Surabaya. Sebagai upayanya, maka penelitian ini menggunakan jenis
penelitian kualitatif dalam melihat dan menemukan realita sosial.
Hasil penelitian ini ditemukan dari beberapa
wacana atau opini publik yang banyak beredar dimasyarakat mengenai judul yang
terkait, juga peneliti mendapatkan data riil dari wawancara yang dilakukan
dengan beberapa mahasiswa Surabaya. Banyak sekali dampak yang timbul pasca
penutupan lokalisasi prostitusi Dolly tersebut, selain dampak positif dan
negative, juga mengundang kontroversi diantara pihak yang bersangkutan mengenai
hal tersebut. Dibandingkan dengan dampak positif, dampak negatifnya lebih
banyak ditemukan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi politik (political communication)
adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik,
atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan
pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal
yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara
”yang memerintah” dan ”yang diperintah”.
Bagi
warga surabaya siapa yang tak kenal dengan sosok walikota yang terkenal dengan
gaya kepemimpinannya yang banyak disukai. Siapa lagi kalau bukan bu Tri
Rismaharini. Orang yang memiliki sapaan akrab Risma ini telah berkali-kali
mendapat pengahargaan sebagai wali kota terbaik, berkatnya juga surabaya, kota
yang dipimpinnya juga mampu meraih banyak penghargaan hingga dari luar negri
sekalipun. Dan semenjak ia menjabat sebagai walikota kota surabaya beberapa
prestasi telah dia catatkan, antara lain ;
Pertama,
kota surabaya meraih tiga kali piala adipura yaitu tahun 2011, 2012, dan 2013
kategori kota metropolitan.
Kedua.
Dibawah kepemimpinannya sebagai walikota ibu tri risma sukses membuat kota
surabaya menjadi kota yang terbaik se-asia pasifik pada tahun 2012 versi
citynet.
Ketiga.
Pada tahun 2013 dibawah kepemimpinanannya kota surabaya berhasil meraih
penghargaan tingkat asia-pasifik yaitu future government awards 2013 di 2
bidang sekaligus yaitu data center dan inklusi digital menyisihkan 800 kota di
seluruh asia-pasifi dan pernah juga meraih penghargaan sebagai taman terbaik
se-Asia.
Keempat
Tri Rismaharini alias Ibu Risma dinobatkan sebagai Mayor of the Month pada
Februari lalu sebagai Walikota terbaik di dunia dimana menempatkan Surabaya
sebagai kota metropolitan yang paling baik penataannya. Juga kurang lebih 50
penghargaan telah diterima ibu risma baik dari dalam negeri mapun dari luar
negeri.
Berbicara mengenai
Surabaya, sudah tak sedikit yang mengetahui suatu lokasi yang banyak dikunjungi
oleh banyak turis local maupun interlokal. Suatu tempat yang selalu hidup
dengan kegiatan prostitusinya, kegiatan yang menjadi sumber mata pencaharian
bagi para pekerja dan warga sekitar, mana lagi kalau bukan lokalisasi
prostitusi terkenal bernama Dolly.
Kegiatan prostitusi
sejatinya telah dipandang sangat buruk dari dulu bagi semua kalangan, namun hal
seperti itu masih tetap hidup dan terus berlangsung dikawasan Dolly. Kehidupan
malam diberbagai kota sudah bukan lagi hal yang luar biasa. Sudah tak sedikit
yang terjebak dalam kerasnya dunia malam. Bahkan seolah-olah sudah menutup
kemungkinan bagi mereka yang terlanjur masuk dalam dunia tersebut untuk kembali
pada kehidupan yang normal. Sejarah prostitusi di Surabaya hampir setua sejarah
ibu kota Jawa Timur ini. Pada mulanya, pelacuran ini merebak di kawasan
pesisir, lantas merambah daerah pinggiran. Kini, Surabaya dikepung bisnis jasa
seks itu.
Tak
hanya diam bu Risma pun membuat kebijakan politik yang berusaha menutup lokasi
prostitusi tersebut, yang mana kini telah resmi ditutup. Namun tak usai hanya
sampai dipenutupan saja, pasti ada dampak dari kebijakan politik tersebut.
Entah itu positif atau pun negative. Pandangan yang diberikan oleh masyarakat
pun berbeda-beda, apalagi paradigma mahasiswa.
Begitu
juga yang melatarbelakangi penelitian ini dilakukan yaitu ingin meneliti
seberapa baik atau seberapa buruk pandangan para mahasiswa Surabaya sebagai
subyek penelitian dalam memandang kebijakan politik walikota Surabaya ini
B. Rumusan Penelitian
1.
Bagaimana
pandangan mahasiswa Surabaya terhadap kebijakan politik bu Risma selaku
walikota surabaya dalam upaya penutupan lokalisasi prostitusi terkenal di
surabaya yang bernama dolli ?
C.
Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pandangan mahasiswa Surabaya
terhadap kebijakan politik bu Risma selaku walikota surabaya dalam upaya
penutupan lokalisasi prostitusi terkenal di surabaya yang bernama dolly.
D.
Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai kajian bagi para peneliti lain untuk
mengembangkan penelitian yang sejenis dan juga sebagai sumbangan ilmiah bagi
perkembangan ilmu pengetahuan intuisi maupun akademis. Serta menggali lebih
dalam realita dari konflik yang tercantum yang belum banyak diketahui oleh
banyak pihak.
BAB I I
KAJIAN PUSTAKA
A. Definisi Konseptual
Agar terarah
pada tujuan penelitian dan tidak terjadi kesalahpahaman atau kesinampungan
dalam memahami isi penelitian ini, maka perlu adanya pembatasan pengertian yang
menjadi bahasan pada judul.
A.1 Komunikasi
Politik
A.1.1 Pengertian
Komunikasi
Terminology
komunikasi berasal dari bahasa Latin yakni, Communico
yang artinya membagi, dan Communis yang berarti membangun
kebersamaan antara dua orang atau lebih. Sebagai ilmu yang multidisiplin,
definisi komunikasi telah banyak dibuat oleh pakar dari berbagai disiplin ilmu.
Kata “komunikasi” sudah tidak asing lagi
ditelinga kita, apalagi bagi mahasiswa komunikasi. Setiap hari apa yang kita
lakukan pasti membutuhkan komunikasi. Komunikasi memegang peran penting dalam
kehidupan, tanpa komunikasi kita tidak dapat hidup, karena kebutuhan kita
terpenuhi melalui komunikasi.
Begitu juga
pengertian yang dipaparkan oleh beberapa para ahli, diantaranya yaitu menurut
Harold D. Laswell, Communication is who say what, in which channel, to whom,
which what effect, (Komunikasi adalah siapa mengatakan apa, dengan chanel apa,
kepada siapa untuk memperoleh efek apa).
Dan juga pengertian
yang diutarakan oleh Onong Uchjana Effendi, Komunikasi adalah proses
penyampaian suatu pernyataan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain
sebagai konsekuensi dari hubungan sosial.
Maka dapat
disimpulkan bahwa komunikasi ialah suatu proses penyampaian ide atau gagasan
atau pesan dari pihak satu (komunikator) dan pihak kedua (komunikan) baik
secara verbal maupun non verbal, melalui media maupun tidak yang menimbulkan
efek berupa perubahan prilaku.[1]
A.1.2 Pengertian
Politik
Istilah ilmu politik
(Science Politique) pertama kali
digunakan oleh Jean Bodin di Eropa pada 1576, kemudia Thomas Fitzherbert dan
Jeremy Bentham pada 1606. Tetapi istilah politik yang dimaksud ialah ilmu
Negara sebagaimana tertulis dalam karya-karya sarjana Eropa daratan yang
bersifat institutional yuridis, sementara yang berkembang di Amerika adalah
teori politik.
Dalam kehidupan kita
sehari-hari istilah “Politik” sudah tidak begitu asing, karena segala sesuatu
yang dilakukan atas dasar kepentingan kelompok atau kekuasaan sering kali
diatas namakan dengan label politik. Pengangkatan atau pencopotan seorang
penjabat kepala kantor misalnya, kadang dilakukan atas dasar pertimbangan
politik. Konflik yang terjadi dengan memicu pertarungan antara etnis dan agama,
juga disebutkan nkarena politik. Gencarnya pemberitaan tentang teroris dalam
media massa juga dinilai memiliki muatan politik. Begitu banyaknya kegiatan
yang melibatkan politik.
Namun sayangnya dari
berbagai tindak kriminal yang melibatkan tokoh politik membuat pandangan
orang-orang terhadap politik menjadi tercemar. Begitu jeleknya citra politik
dimata masyarakat, telah membawa dampak terhadap rendahnya minat mahasiswa yang
ingin belajar politik. Padahal terciptanya kemerdekaan di Indonesia juga
termasuk atas dasar pemainan politik.
Pengertian Politik
Secara Singkat dan Simple adalah teori, metode atau cara untuk bisa meraih apa
yang dituju. dan pendevinisian politik itu sendiri sangat banyak dan berikut
ini Pengertian Politik Secara lengkap:
Politik adalah proses
pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud
proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan
upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat
politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni
dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.[2]
A.1.3
Pengertian Komunikasi Politik
Kajian komunikasi
politik awalnya berakar pada ilmu politik, meskipun penamaan lebih banyak
dikenal dengan nama propaganda. Ini dimulai pada tahun 1922 dengan penelitian
dari Ferdinand Tonnies dan Walter Lippmann tentang opini public pada
masyarakat, kemudian dilanjutkan oleh Bagehot, Maine, Byrde dan graham Wallas
di Inggris yang menelaah peranan pers dan pembentukan opini public.
Bertolak dari konsep
komunikasi dan konsep politik yang telah diuraikan, maka upaya untuk mendekati
pengertian apa yang dimaksud dengan komunikasi politik, menurut Dahlan (1999)
ialah suatu bidang atau disiplin yang menelaah prilaku dan kegiatan komunikasi yang
bersifat politik, mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap prilaku
politik.[3]
Secara sederhana,
komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan
pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan,
pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu
terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga
bisa dipahami sebagai komunikasi antara ”yang memerintah” dan ”yang
diperintah”.
Dalam praktiknya,
komuniaksi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas
sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang
sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian
dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh
kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM
sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR
Gabriel Almond (1960)
menegaskan bahwa komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada
dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political
system, political socialization and recruitment, interest articulation,
interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are
performed by means of communication.”
A.2 Profil Surabaya
Kota
surabaya adalah ibu kota provinsi jawa timur, indonesia sekaligus menjadi kota metropolitan
terbesar di provinsi tersebut. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di
indonesia setelah jakarta. Kota surabaya juga merupakan pusat
bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan indonesia bagian
timur. Kota ini terletak 789 km sebelah timur jakarta, atau 426 km sebelah
barat laut denpasar, bali. Surabaya terletak di tepi pantai utara pulau jawa
dan berhadapan dengan selat madura serta laut jawa.
Surabaya memiliki luas sekitar
333,063 km² dengan penduduknya berjumlah 2.813.847 jiwa (2014). Daerah
metropolitan surabaya yaitu gerbang kertosusila yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa,
adalah metropolitan terbesar kedua di indonesia setelah jabodetabek.
Surabaya dilayani oleh bandar udara
internasional juanda, pelabuhan tanjung
perak, dan pelabuhan ujung.
Surabaya terkenal dengan sebutan kota pahlawan karena sejarahnya yang sangat
diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa indonesia dari
penjajah. Kata surabaya konon berasal dari cerita mitos pertempuran antara sura (ikan hiu)
dan baya (buaya) dan akhirnya menjadi kota surabaya.[4]
A.3 Kebijakan Politik
A.3.1 Pengertian
Kebijakan Politik
Kebijakan politik
adalah segala sesuatu hasil keputusan baik berupa dalam sistem. Kebijakan selalu
berhubungan dengan keputusan-keputusan pemerintah yang sangat berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat melalui instrument-instrumen kebijakan yang
dimiliki oleh pemerintah berupa hukum, pelayanan, transfer dana, pajak dan
anggaran-anggaran serta memiliki arahan-arahan yang bersifat otoritatif untuk
melaksanakan tindakan-tindakan pemerintahan di dalam yurisdiksi nasional,
regional, unisipal, dan local.
Menurut kamus besar
Bahasa Indonesia kebijakan adalah sebuah konsep dan asas yg menjadi pedoman
dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Dalam
pemerintahan negara, maka kebijakan politik adalah sistem konsep resmi yg
menjadi landasan atau pedoman perilaku ( dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak) politik Negara.
Kebijakan publik
merupakan salah satu kajian yang menarik di dalam ilmu politik. Meskipun
demikian, konsep mengenai kebijakan publik lebih ditekankan pada studi-studi
mengenai administrasi negara. Artinya kebijakan publik hanya dianggap sebagai
proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh negara dengan mempertimbangkan
beberapa aspek. Secara umum, kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai
sebuah kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh pihak berwenang (dalam hal ini
pemerintah) yang boleh jadi melibatkan stakeholders lain yang menyangkut
tentang publik yang secara kasar proses pembuatannya selalu diawali dari
perumusan sampai dengan evaluasi.[5]
A.3.2 Profil Singkat
Walikota Surabaya
Ir. Tri Rismaharini,
M.T atau terkadang ditulis Tri Risma Harini (lahir di Kediri, Jawa Timur, 20
November 1961; umur 53 tahun) adalah Wali Kota Surabaya yang menjabat sejak 28
September 2010. Ia adalah wanita pertama yang terpilih sebagai Wali Kota
Surabaya sepanjang sejarahnya. Insinyur lulusan Arsitektur dan pasca sarjana
Manajemen Pembangunan Kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember ini juga
tercatat sebagai wanita pertama di Indonesia yang dipilih langsung menjadi wali
kota melalui pemilihan kepala daerah sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia
pasca Reformasi 98.
Tri Rismaharini
menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Kediri dan lulus pada tahun
1973. Ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 10 Surabaya,
lulus pada tahun 1976, kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum
Negeri 5 Surabaya dan lulus pada tahun 1980.
Ia menempuh
pendidikan sarjana di jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(ITS) Surabaya dan lulus pada tahun 1987. Ia kemudian melanjutkan pendidikan
pascasarjana Manajemen Pembangunan Kota di Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(ITS) Surabaya, lulus pada tahun 2002. Dalam acara ITS EXPO, April 2014, Tri
Rismaharini mengungkapkan keinginannya untuk menjadi dosen di almamaternya,
ITS, seusai selesai mengabdi sebagai Wali Kota Surabaya.[6]
A.3.2 Kebijakan
Politik Walikota Surabaya
Sebuah kebijakan
harus didahului pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil harus
mencerminkan mayoritas yang mendukung keputusan itu, atau dengan kata lain
keputusan yang diambil harus mencerminkan keinginan orang banyak dan bukan
keinginan sendiri. Esensi dalam pengambilan keputusan dalam politik adalah
pengambilan kekuasaan yang mencerminkan representasi public yang diwakili,
sebagaimana dikemukaan oleh Benyamin Disraeli bahwa “Politics are the possession and distribution of power”. (Cummings,
1985). Sebuah pengambilan keputusan dari berbagai alternative yang mungkin bisa
saja terjadi harus mendapat prioritas daripada kepentingan yang lain.[7]
Ibu Risma adalah
wanita yang memiliki segudang prestasi. Prestasinya dimulai ketika beliau
menjabat sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Bappeko Surabaya hingga
menjabat sebagai Walikota Surabaya sampai sekarang. Sebelum menduduki kursi
Walikota Surabaya, beliau pernah menjabat juga sebagai Kepala Cabang Dinas
Pertamanan Kota Surabaya, Kepala Bagian Bina Bangunan, Kepala Bagian Penelitian
dan Pengembangan, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Suabaya dan
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya.
Kebijakan
Kontroversial
Tri Rismaharini -
akrab disapa Risma - menjadi Wali Kota Surabaya wanita pertama periode
2010-2015. Beberapa kebijakan kontroversial Risma, antara lain kebijakan
menolak rencana pemerintah pusat untuk membangun jalan tol tengah di Surabaya.
Hal ini karena tidak menyelesaikan kemacetan Kota Surabaya. Beliau lebih
memilih meneruskan proyek frontage road dan Middle East Ring Road (MERR-IIC)
yang akan menghubungkan area industri Rungkut hingga ke Jembatan Suramadu
melalui area timur Surabaya.
Selain itu,
menerbitkan Peraturan Walikota (Perwali) No. 56 Tahun 2010 tentang Perhitungan
Nilai Sewa Reklame, dan Perwali No. 57 Tahun 2010 tentang Perhitungan Nilai
Sewa Reklame Terbatas di Kawasan Khusus Kota Surabaya. Kedua Perwali itu
mengatur kenaikan pajak reklame ukuran besar dan sedang sebesar 25 persen,
serta menurunkan pajak reklame ukuran kecil.
Tujuan menerbitkan
dua Perwali tersebut untuk menekan pertumbuhan reklame ukuran besar yang kerap
roboh terkena angin kencang apabila cuaca buruk, dan mempermudah Usaha Kecil
Menengah memasang reklame kecil guna mempromosikan usaha mereka. Dengan
meninggikan pajak reklame ukuran besar, maka diharapkan pengusaha iklan beralih
memasang iklan di media massa ketimbang memasang reklame.
Dua Perwali tersebut
menjadi dasar DPRD Surabaya mencoba melengserkan Risma pada 31 Januari 2011.
DPRD Surabaya menganggap Risma melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 16
Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah, karena sang wali
kota tidak melibatkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menyusun Perwali.
Lalu, DPRD Surabaya
pun merekomendasikan pemberhentian Risma, Wali Kota Surabaya. Keputusan itu
didukung oleh enam dari tujuh fraksi politik yang ada di DPRD Surabaya. Bahkan
termasuk PDIP yang mengusungnya sebagai Wali Kota Surabaya. Hanya fraksi PKS
yang menolak.
Akhirnya, Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan tak ada cukup alasan untuk memecat Wali
Kota Surabaya. Gamawan menegaskan, Peraturan Wali Kota tidak bisa dijadikan
alasan pemecatan. Kesalahan administrasi dalam proses penerbitan Perwali
tersebut - tak dilibatkannya SKPD dalam penyusunan Perwali - masih manusiawi.
Segudang Penghargaan.
Tri Rismaharini,
selama menjadi Wali Kota Surabaya mempunyai segudang penghargaan. Penghargaan
Risma yang telah diperoleh antara lain: (a) 2012 Women Leader Award dari Globe
Asia, (b) Tokoh Tempo 2012: Bukan Bupati Biasa, (c) Indonesia Digital Society
Award 2013: The Best of Diamond Champion kategori Government, (d) Future Gov
Award Indonesia 2013, kategori Future City of The Year, (e) MIPI Award 2013, Kategori
Praktisi Pemerintahan, (f) Indonesia Marketeers Champion 2013, kategori
Government and Public Service, (g) Adipura, untuk kategori kota metropolitan
tahun 2011, 2012, dan 2013, (h) Kalpataru Nasional, (i) Penghargaan
Internasional Future Gov Tingkat Asia-Pasifik 2013, kategori Data Center
melalui Media Center Pemerintah Kota Surabaya dan Data Inclusion melalui
Broadband Learning Center, (j) Penghargaan Kota Sehat Swastisaba Pradapa, (k)
Penghargaan Internasional Taman Bungkul, The 2013 Asian Townscape Award dari
PBB.
Selanjutnya,
penghargaan Walikota Surabaya Taraf Nasional dan Internasional Tahun 2012,
yaitu Juara 1 Kategori Kota Indonesia Green Region Award, People of the Year,
Kota Peduli Perempuan, Citynet Kategori Kota Partisipasi Terbaik Se-Asia
Pasifik, Juara 1 Tingkat Nasional Kegiatan OBIT (One Billion Indonesian Trees),
Wahana Tata Nugraha.
Kemudian tahun 2011,
yakni Taman Kota Terbaik Kategori Kota Metropolitan, Penghargaan Nasional Kota
Layak Anak, Penghargaan Nasional Pataka Paramadhana Madya, Penghargaan KPK
Terkait Inisiatif Anti Korupsi (Pemda), Asean Environmentally Sustainable City
Award dan ICT Pura Kategori Utama.[8]
A.4 Prostitusi
A.4.1
Definisi Prostitusi
Prostitusi merupakan salah satu bentuk
penyakit masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan
usaha pencegahan dan perbaikan. Prostitusi berasal dari bahasa Latin Pro-Stituere atau Pro-Stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan
persundalan, percabulan, pergendakan. Sedangkan
Prostitue adalah pelacur atau
sundal. Dikenal pula dengan istilah WTS atau wanita tunasusila.
Professor W.A. Bonger[9] dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der Prostitue menulis
definisi sebagai berikut. “Prostitusi ialah
gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan
seksual sebagai mata penaharian.” Pada definisi ini jelas dinyatakan adanya
peristiwa penjualan diri sebagai profesi atau mata pencarian sehari-hari dengan
jalan melakukan relasi-relasi seksual.
Sarjana P.J. de Bruine Van Amstel menyatakan
sebagai berikut. “Prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak
laki-laki dengan pembayaran.” Definisi diatas mengemukakan adanya unsur-unsur
ekonomis dan penyerahan diri wanita yang dilakukansecara berulang-ulang atau
terus-menerus dengan banyak lelaki.
Sedangkan pasal 296 KUHP mengenai prostitusi
tersebut menyatakan sebagai berikut. “Barang siapa yang pekerjaannya atau
kebiasaannya, dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan
orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat
bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.” Jelasnya, prostitusi itu
bisa dilakukan baik wanita maupun pria. Jadi ada persamaan prediket lacur antara laki-laki dan wanita yang bersama-sama
melakukan perbuatan hubungan kelamin diluar perkawinan. Dalam hal ini,
perbuatan cabuk tidak hanya berhubungan kelamin diluar nikah saja, akan tetapi
termasuk peristiwa homoseksual dan permainan-permainan seksual lainnya.[10]
A.4.2 Motif-motif
yang Melatarbelakangi Prostitusi
Isi prostitusi atau
motif-motif yang melatarbelakangi tumbuhnya prostitusi pada wanita itu beraneka
ragam. Dibawah ini disebutkan beberapa motif, antara lain sebagai berikut :
1.
Adanya
kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari
kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan cepat. Kurang
pengertia, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan prostitusi.
2.
Ada
nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan
keroyalan seks. Histeris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadakan
relasi seks dengan satu pria/suami.
3.
Tekanan
ekonoi, factor kemiskinan, ada pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status
sosial yang baik.
4.
Aspirasi
materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap
pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewahan, namun
malas bekerja.
5.
Kompensasi
terhadap perasaan-perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang negative,
terutama sekali terjadi masa puber dan adolesens. Ada keinginan untuk melebihi
kakak, ibu sendiri, teman putrid, tante-tante atau wanita-wanita mondain
lainnya.
6.
Rasa
melit dan ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks,
yang kemudian tercebur dalam dunia prostitusi oleh bujukan-bujukan bandit seks.
7.
Anak-anak
gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekan banyak tabu dan
peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma susila
yang dianggap terlalu mengekang diri anak-anak remaja mereka lebih menyukai
pola seks bebas.
8.
Pada
masa kanak-kanak pernah melakukan relasi seks atau suka melakukan hubungan seks
sebelum perkawinan (ada pemaritial sexrelation) untuk sekadar iseng atau untuk
menikmati “masa indah” dikala muda. Atau symbol dan kegagahan telah menjelajahi
dunia seks secara nyata. Selanjutnya gadis-gadis tadi terbiasa melakukan banyak
relasi seks secara bebas dengan pemuda-pemuda sebaya, lalu terperosoklah mereka
kedalam dunia prostitusi.
9.
Gadis-gadis
dari daerah slums (perkampungan melarat dan kotor engan lingkungan yang immoral
yang sejak kecil selalu melihat persenggamaan orang-orang dewasa secara kasar
dan terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya dengan tindak-tindak asusila).
10. Oleh bujuk rayu kaum
laki-laki dan para calo, terutama yang menjanjikan pekerjaan-pekerjaan
terhormat dengan gaji tinggi.
11. Banyaknya stimulasi
seksual dalam bentuk film-film biru, gambar-gambar porno, bacaan cabul,
gang-gang anak muda yang mempraktikan relasi seks, dan lain-lain.
12. Gadis-gadis pelayan
tokoh dan pembantu rumah tangga tunduk yang patuh melayani kebutuhan-kebutuhan
seks dari majikannya untuk tetap mempertahankan pekerjaannya.
13. Penundaan perkawinan,
jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan
ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih suka melacurkan diri daripada
kawin.
14. Disorganisasi dan
disentegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah atau ibu lari, kawin
lagi atau hidup dengan patner lain. Sehingga anak gadis merasa sangat sengsara
batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu menghibur diri terjun dalam diri
dunia prostitusi.
15. Mobilitas dari
jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak sempat membawa keluarganya.
16. Adanya ambisi-ambisi
besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi, dengan
jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau keterampilan khusus.
17. Adanya anggapan bahwa
wanita memang dibutuhkan dalam macam-macam permainan cinta, sebagai iseng
belaka maupun sebagai tujuan-tuuan dagang.
18. Anak-anak gadis dan
wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius.
19. Pengalaman traumatis
(luka jiwa) dan shock mental, misalnya gagal dalam bercinta atau perkawinan
dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini.
20. Ajakan teman-teman
sekampung yang sudah terjun lebih dulu dalam dunia prostitusi.
21. Ada kebutuhan seks
yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami.[11]
A.4.3 Jenis
Prostitusi dan Lokalisasi
Jenis prostitusi
dapat dibagi menurut aktivitasnya yaitu :
a) Prostitusi yang
terdaftar
Pelakunya diawasi
oleh bagian Vice Control dari kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama dengan
Jawatan sosial dan Jawatan kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisasikan dalam
satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodic harus memeriksakan diri pada
dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan suntikan serta pengobatan,
sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum.
b) Prostitusi yang tidak
terdaftar
Termasuk dalam
kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan
liar, baik secara erorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak
terorganisasi, tempatnya pun tidak tertentu. Bisa di sembarang tempat, baik
mencari mangsa sendiri, maupun melalui calo-calo dan panggilan. Mereka tidak
mencatatkan diri kepada yang berwajib. Sehingga kesehatannya sangat diragukan,
karena belum tentu mereka itu mau memeriksakan kesehatannya kepada dokter.[12]
Lokalisasi pada
umumnya terdiri atas rumah-rumah kecil yang berlampu merah, yang dikelola oleh
mucikari atau germo. Ditempat tersebut disediakan segala perlengkapan, tempat
tidur, kursi tamu, pakaian, dan alat berhias. Juga tersedia macam-macam gadis
dengan tipe karakter dan suku bangsa yang berbeda. Disiplin ditempat-tempat
lokalisasi tersebut diterapkan sangat ketat, misalnya tidak boleh mencuri uang
langganan, dilarang merebut langganan orang lain, tidak boleh mengadakan janji
diluar, dilarang memonopoli seorang langganan, dan lain-lain. Wanita-wanita
pelacur itu harus membayar pajak rumah dan pajak obat-obatan, sekaligus juga
uang keamanan agar mereka terlindung dan terjamin identitasnya.
Adapun tujuan dari
lokalisasi ini ialah :
1) Untuk menjauhkan
masyarakat umum, terutama anak-anak puber dan adolesens dari pengaruh immoral
dari praktek prostitusi juga menghindarkan dari gangguan-gangguan kaum pria
hidung belang terhadap wanita-wanita baik.
2) Memudahkan pengawasan
tunasusila, terutama mengenai kesehatan dan keamanannya.
3) Mencegah pemerasan
yang keterlaluan terhadap para PSK (Pekerja Seks Komersial) yang pada umumnya
selalu menjadi pihak yang paling lemah.
4) Memudahkan bimbingan
mental bagi para PSK dalam usaha rehabilitasi dan resosialisasi. Kadang kala
juga diberikan pendidikan keterampilan dan latihan-latihan kerja, sebagai
persiapan untuk kembali keddalam masyarakat biasa.
5) Kalau mungkin
diusahakan pasangan hidup bagi para tunasusila yang benar-benar bertanggung
jawab dan mampu membawanya kejalan yang benar.[13]
A.4.4 Reaksi Sosial
Kenyataan membuktikan
bahwa semakin ditekan prostitusi, maka semakin luas menyebar prostitusi
tersebut. Reaksi sosial itu bisa bersifat menolak sama sekali dan mengutuk
keras serta emmberikan hukuman berat sampai pada sikap netral, masa bodoh dan
acuh serta menerima dengan baik. Sikap menolak bisa bercampur dengan rasa
benci, ngeri, jijik, takut dan marah. Sedang sikap menerima bisa bercampur
dengan rasa senang, memuji-muji, mendorong dan simpati.
Apabila deviasi atau
penyimpangan tingkah laku berlangsung terus-menerus dan jumlah pelacur menjadi
semakin banyak menjadi kelompok-kelompok deviant dengan tingkah lakunya yang
menyolok, maka terjadilah perubahan pada sikap dan organisasi masyarakat
terhadap prostitusi. Terjadi pula perubahan-perubahan dalam kebudayaan itu
sendiri. Stigma atau noda sosial dan eksploitasi komersialisasi seks yang
semula dikutuk dengan hebat, kini berubah dan mulai diterima sebagai gejala
sosial yang umum. Usaha penghukuman, pencegahan, pelarangan, pengendalian,
reformasi, dan perubahan, semuanya ikut bergeser dan berubah. Tngkah laku
seksual immotile yang semula dianggap noda bagi kehidupan normal dan mengganggu
sistem yang sudah ada, mulai diterima sebagai gejalan yang wajar. Yang semua
ditolak oleh umum, kemudian diintegrasikan menjadi bagian dari kebudayaan
masyarakat, demikian pula halnya dengan gejala prostitusi ini.[14]
A.4.5 Akibat-Akibat
Prostitusi
Beberapa akibat yang
ditimbulkan oleh prostitusi adalah sebagai berikut :
1) Menimbulkan dan
menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit.
2) Merusak sendi-sendi
kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh PSK biasanya melupakan
fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan.
3) Mendemoralisasi atau
memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan khususnya anak-anak muda
remaja pada masa pebur dan adolensensi.
4) Berkorelasi dengan
kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan nerkotika (ganja, morfin, heroin dan
lain-lain).
5) Merusak sendi-sendi
moral, susila, hokum dan agama. Terutama
sekali menggoyahkan norma perkawinan, sehingga menyimpang dari adat kebiasaan,
norma hokum, dan agama.
6) Adanya pengeksploitasian
manusia oleh manusia. Pada umumnya wanita-wanita PSK itu Cuma menerima upah
sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya, karena sebagian
besar harus diberikan kepada germo, calo, centeng, pelindung, dan lain-lain. Dengan kata lain ada sekelompok
manusia benalu yang memeras darah dan keringat para PSK ini.
7) Bisa menyebabkan
terjadinya disfungsi seksual, misalnya; impotensi, anorgasme, nymphomania,
satiriasis, ejakulasi premature yaitu pembuangan sperma sebelum zakar melakukan
penetrasi dalam vagina atau liang sanggama, dan lain-lain.[15]
A.5 Lokalisasi
Prostitusi Dolly
Dolly atau Gang Dolly
adalah nama sebuah kawasan lokalisasi pelacuran yang terletak di daerah Jarak,
Pasar Kembang, Kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia. Di kawasan lokalisasi ini,
wanita penghibur "dipajang" di dalam ruangan berdinding kaca mirip
etalase.
Konon lokalisasi ini
adalah yang terbesar di Asia Tenggara lebih besar dari Patpong di Bangkok,
Thailand dan Geylang di Singapura. Bahkan pernah terjadi kontroversi untuk
memasukkan Gang Dolly sebagai salah satu daerah tujuan wisata Surabaya bagi
wisatawan mancanegara.
Gang Dolly ini sudah
ada sejak zaman Belanda dan dikelola oleh seorang perempuan keturunan Belanda
yang dikenal dengan nama Dolly van der mart. Keturunan dari Dolly sampai
sekarang masih ada di Surabaya, meskipun sudah tidak mengelola bisnis. Kawasan
Dolly berada di tengah kota, berbaur dengan pemukiman penduduk yang padat, di
kawasan Putat, Surabaya. Kompleks lokalisasi Dolly menjadi sumber rezeki bagi
banyak pihak. Bukan hanya bagi pekerja seks, tetapi juga pemilik warung,
penjaja rokok, tukang parkir, tukang ojek, dan tukang becak. Para pekerja seks
berasal dari Semarang, Kudus, Pati, Purwodadi, Nganjuk, Surabaya, dan
Kalimantan.[16]
A.6
Respon
Respons adalah
istilah yang digunakan oleh psikologi untuk menamakan reaksi terhadap rangsang
yang diterima oleh panca indera. Respons biasanya diujudkan dalam bentuk
perilaku yang dimunculkan setelah dilakukan perangsangan.
Teori Behaviorisme
menggunakan istilah respons yang dipasangkan dengan rangsang dalam menjelaskan
proses terbentuknya perilaku. Respons adalah perilaku yang muncul dikarenakan
adanya rangsang dari lingkungan. Jika rangsang dan respons dipasangkan atau
dikondisikan maka akan membentuk tingkah laku baru terhadap rangsang yang
dikondisikan.[17]
Respon adalah Setiap
tingkah laku pada hakekatnya merupakan tanggapan atau balasan (respon) terhadap
rangsangan atau stimulus (Sarlito, 1995). Menurut Gulo (1996), respon adalah
suatu reaksi atau jawaban yang bergantung pada stimulus atau merupakan hasil
stimulus tersebut. Individu manusia berperan serta sebagai pengendali antara
stimulus dan respon sehingga yang menentukan bentuk respon individu terhadap
stimulus adalah stimulus dan faktor individu itu sendiri (Azwar, 1988).
Interaksi antara beberapa faktor dari luar berupa objek, orang-orang dan dalam
berupa sikap, mati dan emosi pengaruh masa lampau dan sebagiannya akhirnya
menentukan bentuk perilaku yang ditampilkan seseorang.
Respon seseorang
dapat dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negatif (Azwar, 1988). Apabila
respon positif maka orang yang bersangkutan cenderung untuk menyukai atau
mendekati objek, sedangkan respon negatif cenderung untuk menjauhi objek
tersebut.[18]
B. Metode Penelitian
Metode
penelitian merupakan ajaran mengenai metode-metode yang digunakan dalam proses
penelitian untuk mendapatkan data ataupun informasi guna memperoleh jawaban
atas pertanyaan penelitian.
B.1 Pendekatan Penelitian
Pedekatan
yang digunakan adalah pendekatan kritis. Paradigm kritis berangkat dari cara
melihat realitas dengan mengasumsikan bahwa selalu saja ada struktur social
yang tidak adil. Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat
paradigma ilmu pengetahuan social dalam mengungkapkan hakekat realitas atas
ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini.
Keempat
paradigma itu ialah : positivism, postpositivisme, konstruktivisme, dan
analisis wacana kritis (guba & egon).[19] peneliti memilih pada paradigm kritis sebagai
salah satu alternatif dalam melihat dan menemukan realitas sosial atau
kebenaran khususnya realitas komunikasi politik. Paradigm atau aliran ini
dikembangkan oleh tokoh-tokoh mazhab frankfurt, yang berangkat dari pemikiran
marxisme, meskipun sekarang sudah semakin jauh dari landasan alasannya.
Diantara
tokoh-tokohnya adalah max horkheimer, theodore adorno, hebert marcuse, dan
tokoh pemikir teori kritis temporer sampai sekaarang yaitu jurgen habermas.
Paradigma kritis (critical paradigma) adalah semua teori sosial yang mempunyai
maksud dan implikasi praktis dan berpengaruh terhadap perubahan sosial.
Paradigma
ini tidak sekedar melakukan kritik terhadap ketidakadilan system yang dominan
yaitu sistem sosial kapitalisme, melainkan suatu paradigma untuk mengubah
sistem dan struktur tersebut menjadi lebih adil. Meskipun terdapat beberapa
variasi teori sosial kritis seperti: feminism, cultural stidies, posmodernisme
(aliran ini tidak mau dikategorikan dalam golongan kritis) tetapi kesemuanya
aliran tersebut memilki tiga asumsi dasar yang sama.
Pertama,
semuanya menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu sosial interpretif. Kedua,
paradigma ini mengkaji kondisi-kondisi sosial tersembunyi. Ketiga, paradigma
kritis secara sadar berupaya untuk menggabungkan teori dan tindakan (praksis).
Dalam
analisis wacana kritis, wacana tidak hanya dipahami sebagai stidi bahasa.
Bahasa dianalisis tidak hanya dari aspek kebahasaanya saja, tetapi juga
menghubungkannya dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa dipakai untuk
tujuan dan praktik tertentu. Karena analisis wacana adalah studi tentang
struktur dalam komunikasi lebih tepatnya mengenai aneka fungsi (pragmatic)
bahasa, analisis kritis ini dapat memberikan kesadaran nyata pada masyarakat
atas peran mereka dalam memberikan makna pada sebuah konteks.
Menurut
sobur[20],
analisis wacana merupakan studi tentang struktur pesan dalam komunikasi atau
telaah melalui aneka fungsi bahasa. Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa
persoalan yang terdapat alam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat
atau bagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang
lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana.
B.2 Jenis Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan adalah analisis isi kualitatif, analisis isi
kualitatif ini yang dominan dan lebih banyak digunakan. Menurut eriyanto[21],
analisis isi kualitatif lebih menekankan pada pertanyaan “Apa” (What). Karena
melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita,
tetapi juga bagaimana pesan itu
disampaikan. Analisis wacana lebih melihat pada “Bagaimana” (How) dari pesan
teks komunikasi. Analisis wacana justru berpresentasi memfokuskan pada pesan
laten (tersembunyi). Makna suatu pesan dengan demikian tidak bisa hanya
ditafsirkan sebagai apa yang tampak nyata dalam teks, namun harus dianalisis
dari makna yang tersembungi. Presentase analisis wacana adalah muatan, nuansa,
dan makna laten (terpendam) dalam teks.
B.3 Jenis dan Sumber Data
B.3.1 Jenis
Data
Jenis
data yang digunakan untuk mendukung penelitian ini diantaranya adalah data sekunder,
yaitu data yang diperoleh peneliti dari karya ilmiah, artikel, buku, internet
dan bahan tertulis lainnya yang dapat melengkapi data penelitian.
B.3.2 Sumber
Data
Data-data
yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari internet, karya ilmiah,
artikel, buku, sehingga peneliti dapat menyelesaikan suatu penelitian dengan
baik, karena didukung oleh data-data yang mendukung dari tulisan-tulisan yang
sudah dipublikasikan.
B.4 Subyek dan Obyek
Penelitian
B.4.1 Subyek
Penelitian
Moleong (2010: 132) mendeskripsikan
subjek penelitian sebagai informan, yang artinya orang pada latar penelitian
yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar
penelitian. Sejalan dengan definisi tersebut, Moeliono (1993: 862)
mendeskripsikan subjek penelitian sebagai orang yang diamati sebagai sasaran
penelitian. Dalam penelitian ini, subjek yang digunakan sebagai informan adalah
beberapa sample mahasiswa dari berbagai universitas yang ada di Surabaya.
B.4.2 Obyek
Penelitian
Yang dimaksud obyek
penelitian, adalah hal yang menjadi sasaran penelitian ( Kamus Bahasa
Indonersia; 1989: 622). Menurut (Supranto 2000: 21) obyek penelitian adalah
himpunan elemen yang dapat berupa orang, organisasi atau barang yang akan
diteliti. Kemudian dipertegas (Anto Dayan, 1986: 21), obyek penelitian, adalah
pokok persoalan yang hendak diteliti untuk mendapatkan data secara lebih
terarah. Dalam penelitian ini, objek penelitiannya adalah pandangan mahasiswa
mengenai kebijakan bu Risma sebagai walikota Surabaya dalam upaya menutup
lokalisasi prostitusi Dolly di Surabaya.
B.5 Teknik
Pengumpulan Data
Wawancara merupakan
teknik pengumpulan data yang didasarkan pada
percakapan secara intensif dengan suatu tujuan (Marshall dan Rossman,
1989 :82).
Wawancara adalah teknik
penelitian yang paling sosiologis karena bentuknya yang berasal dari interaksi
verbal antara peneliti dan responden (Black. 2009: 305). percakapan dengan
maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan
tersebut. percakapan in-formal menunjuk pada kecenderungan sifat sangat terbuka
sehingga wawancara benar-benar mirip dengan percakapan (Pawito, 2007: 132).
Dalam penelitian ini,
kami mewawancarai subyek penelitian yang yang disebutkan tadi, yang mana
sebagai mahasiswa Surabaya.
B.6 Identitas
Narasumber
Dalam
penelitian ini, kami menggunakan 5 narasumber yang mewakili kampuanya
masing-masing sebagai subjek penelitian. Kesemuanya adalah mahasiswa aktif dibeberapa
Universitas atau Perguruan Tinggi di Surabaya. Dengan rician sebagai berikut :
1)
Burhanuddin
Assyadilly
Beliau adalah
Mahasiswa jurusan Administrasi Negara semester 7 di UNSURI Surabaya. Beliau
bertempat tinggal di kawasan Rungkut Kidul Gg 5 Surabaya.
2)
Asmaul
Fauziyah
Beliau
adalah Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia semester 1 di
UNIPA Surabaya. Beliau bertempat tinggal di kawasan Wadung Asri.
3)
Zahrotun
Nisa’
Beliau
adalah Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab semester 1 di Universitas
Muhammadiyah. Beliau bertempat tinggal di kawasan Jl. Mojopahit 666B.
4)
Nur
Laily Faizah
Beliau
adalah Mahasiswa jurusan Sosiologi semester 7 di UNESA Surabaya. Beliau
bertempat tinggal di kawasan Rungkut Kidul Gg 5 Surabaya.
5)
Isti’adzah
Putri Sendari
Beliau adalah
Mahasiswa Ilmu Komunikasi semester 3 di UINSA Surabaya.
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
Penelitian
Kehidupan malam
diberbagai kota sudah bukan lagi hal yang luar biasa. Sudah tak sedikit yang
terjebak dalam kerasnya dunia malam. Bahkan seolah-olah sudah menutup
kemungkinan bagi mereka yang terlanjur masuk dalam dunia tersebut untuk kembali
pada kehidupan yang normal.
Sejarah prostitusi di
Surabaya hampir setua sejarah ibu kota Jawa Timur ini. Pada mulanya, pelacuran
ini merebak di kawasan pesisir, lantas merambah daerah pinggiran. Kini,
Surabaya dikepung bisnis jasa seks itu.
Prostitusi di
Surabaya tumbuh seiring dengan perkembangan kota itu sebagai kota pelabuhan,
pangkalan Angkatan Laut, dan tujuan akhir kereta api. Saat penjajahan Belanda
pada abad ke-19, Surabaya sudah dikenal dengan kegiatan pelacuran. Catatan
resmi sejarah Kota Surabaya menyebutkan, tahun 1864, terdapat 228 pelacur di
rumah-rumah bordil di kawasan Bandaran di pinggir Pelabuhan Tanjung Perak.
Dari sejarah yang
terlanjur tua mengenai asal muasal kegiatan prostitusi, sepertinya masyarakat
dahulu lebih akrab dengan kegiatan ini. Begitulah seterusnya hingga kegiatan
itu tak bisa dihentikan hingga kini, bahkan mayoritas dari mereka menjadikan
ini sebagai lahan pekerjaan. Berbagai motif melatarbelakangi pekerjaan,
diantaranya yang paling sering terucap yaitu motif ekonomi, banyak sekali yang
menggunakan ekonomi sebagai alasan dasar mereka yang masuk dalam dunia
prostitusi.
Seperti halnya yang
dipaparkan oleh Zahrotun Nisa, salah satu narasumber yang peneliti wawancarai.
“Sebenarnya diantara
mereka juga tidak mau berbuat seperti itu, tapi apalah daya, semua karena
keadaan ekonomi yang memaksa mereka bertindak seperti itu, menjadikan hal yang
tak bermoral itu sebagai ladang pekerjaan”[22] begitulah jawabannya.
Semakin besarnya
perkembangan lokalisasi prostitusi itu menimbulkan kecemasan bagi mayarakat
lain, tak hanya diam, bu Risma sebagai walikota Surabaya berupaya membuat
kebijakan politik untuk menutup tempat tersebut. Beberapa hal yang telah
dilakukan bu Risma menunjukkan hasil yang positif, diantaranya yaitu
tercapainya tujuan, lokalisasi prostitusi Dolly tersebut telah resmi ditutup.
Banyak dampak yang
ditimbulkan dari kebijakan ini, diantaranya yaitu dampak positif, tempat yang selama ini menjadi sarang tindak
ketidak moralan sudah tidak ada, terbebasnya PSK yang terpaksa melakukan
pekerjaan tersebut, dan lain-lain. Namun tidak menutup kemungkinan adanya dampak
negative juga dari kebijakan politik tersebut apabila tidak diimbangi dengan
usaha perbaikan dan penanggulangan yang tepat.
Seperti realita yang
terjadi kini malah semakin parah, keresahan warga semakin besar, prostitusi
semakin menjadi-jadi, penyebarannya semakin luas, bahkan kini telah ada situs
PSK online. Begitu juga yang diutarakan oleh Burhanuddin yang telah peneliti
wawancarai sebelumnya.
“Saya setuju dengan
kebijakan politik tersebut, namun ada beberapa syarat. Jadi dari pihak
pemerintah tidak hanya menutup tempat itu lalu usai, harus ada tindak lanjut
yang memperhatikan kehidupan para pekerja disitu setelahnya. Harus ada
kompensasi yang jelas, para mantan PSK perlu disediakan lapangan kerja, agar
tak nganggur tiba-tiba. Soalnya kasus penutupan Dolly ini bersifat kompleks,
agak ruwet. Apalagi dengar-dengar kabar yang beredar kini jejraing PSK merambah
kedunia maya dan semakin terorganisir, malah yang lebih parah sekarang ada
situs sosial media PSK online, Akan semakin bahaya kalau pemerintah tidak peka.
Kegiatan prostitusi akan terjadi dimana-mana, dari hotel ke hotel. Bahkan
hampir merata di Surabaya”.[23]
Dari beberapa dampak
yang semakin parah itu memang seharusnya perlu diadakan tindak lanjut dari
kebijakan politik tersebut. Bukan berarti setelah menutup lokasi itu, usai
sudah kegiatan prostitusi. Bahkan semakin parah dan tersebar luas. Ancaman bagi
masyarakat lain khususnya yang masih anak-anak akan lebih besar bila tidak ada
kebijakan selanjutnya.
Gambar
I. Salah satu situs PSK online yang masih
aktif dan mudah dijangkau
Jangkauan luas
semakin memudahkan para pria hidung belang untuk melakukan prostitusi
diberbagai tempat yang mereka inginkan. Terlalu banyak dampak yang ditimbulkan
dari kebijakan ini. Alangkah lebih baiknya diimbangi dengan solusi yang tepat dan
tindak lanjut dari kebijakan ini, berikut yang diutarakan oleh Nur Laily Faizah
yang peneliti wawancarai tempo hari.
“Harus ada solusi
sebagai penawaran atas penutupan lokalisasi tersebut, diantaranya yaitu
berusaha memenuhi kebutuhan fisik berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal,
serta memberikan informasi mengenai lapangan kerja atau bahkan menyediakan
lapangan pekerjaan. Memenuhi kebutuhan psikis juga berupa siramana rohani agar
mereka termotivasi untuk tetap bertahan hidup dengan pekerjaan yang lain.”[24]
Senada dengan
pernyataan yang diberikan oleh Asmaul Fauziyah, salah satu yang termasuk dalam
subyek penelitian ini.
“Para mantan PSK harus disediakan lapangan
kerja, Memberikan pembinaan tetap secara kontinyu, agar mereka bisa sedikit
demi sedikit meninggalkan kebiasaan yang tidak baik itu. Karna pada dasarnya
mereka melakukan hal serupa karena keterpaksaan, krisis ekonomilah yang membuat
mereka melakukan pekerjaan yang tidak beradab tersebut. Dan mantan PSK jangan
dikucilkan di masyarakat, karena mereka juga sama-sama manusia, hanya saja
mereka berbeda nasib dengan yang lain.”[25]
Tak sedikit yang
menaruh perhatian atas kebijkan ini, kegiatan yang bertentangan dengan hukum
ini tak seharusnya ada, apalagi dari semua pihak agama dalam artian dari semua
norma agama yang berlaku di Indonesia tak ada yang memberlakukan peraturan
bahwa prostitusi diperbolehkan, semua menolak kegiatan tidak bermoral itu. Seperti yang diutarakan oleh Isti’adzah selaku
narasumber penelitian ini.
“Mengingat bahwa Negara kita adalah Negara
yang meyakini suatu ajaran agama, maka prostitusi saya rasa melanggar salah
satu tatanan ajaran umat beragama. Tidak selayaknya hal tersebut tetap
dipertahankan.“[26]
Tindakan tegas
Pemerintah Kota Surabaya dalam mengalihfungsikan beberapa lokalisasi di
Surabaya, tidak sekadar untuk mengangkat martabat masyarakat setempat, namun
juga agar beralih profesi menjadi lebih mandiri.
Lebih dari itu,
penutupan lokalisasi juga dimaksudkan untuk menyelamatkan masa depan anak-anak.
Ini karena keberadaan lokalisasi ternyata menjadi horor menakutkan yang
menimbulkan trauma mendalam bagi anak-anak yang selama ini tumbuh dan
berkembang di kawasan mesum tersebut.
B. Analisis Hasil
Penelitian
Pernyataan yang diperoleh dari hasil
wawancara kepada para mahassiswa yang menjadi subyek penelitian, peneliti
memperoleh banyak sekali informasi mengenai perkembangan prostitusi setelah
kebijkan politik walikota Surabaya untuk menutup lokalisasi prostitusi Dolly
tersebut. Banyak dari mereka menyetujui adanya kebijakan politik tersebut
dengan alasan memperbaiki nama baik Surabaya yang sudah lama tercemar dengan
adanya lokalisasi prostitusi tersebut, namun tak sedikit pula yang tidak
sependapat atau mendukung upaya penutupan lokalisasi prostitusi Dolly tersebut,
dikarenakan ada beberapa alasan yang menjadi dasar penolakan mereka.
Beberapa dampak yang ditimbulkan dari
kebijakan poitik tersebut mengandung segi positif, diantaranya yaitu :
·
Terbebasnya
mayarakat sekitar dari kegiatan seks bebas, khususnya anak-anak kecil yang
masih puber.
·
Terselamatkannya
masa depan anak-anak.
·
Salah
satu lokasi yang digunakan sebagai tempat perzinahan telah resmi ditutup.
·
Terbebasnya
para mantan PSK dari pekerjaan yang menyiksa lahir dan batin mereka.
·
Menurunkan
tingkat penyebaran virus HIV/AIDS di kota surabaya.
·
Surabaya
kembali mendapatkan
Namun tak hanya itu, dampak negative dari
penutupan lokalisasi prostitusi Dolly tersebut juga banyak bermunculan setelah
resmi ditutup, diantaranya yaitu :
·
Apabila
tidak ada kompensasi yang jelas, maka para mantan PSK tersebut menjadi
penggangguran tiba-tiba karena kehilangan pekerjaan secara paksa dan mendadak.
·
Jaringan
PSK semakin luas, memanfaatkan sosial media untuk mempertahankan
keeksistensiannya melalui jejaring sosial, diantaranya yaitu bermunculan
situs-situs porno yang menawarkan PSK secara online.
·
Merambah
ke dunia maya, ini yang lebih parah karena banyak anak kecil dibawah usia yang
telah banyak memiliki akun pribadi seperti facebook, twitter dan lain-lain.
Bahaya yang ditawarkan akan lebih besar apabila prostitusi ini mempengaruhi
anak-anak dibawah usia.
·
Praktek
prostitusi semakin luas, salah satunya yaitu memanfaatkan hotel sebagai tempat
melakukan perbuatan tidak bermoral tersebut.
·
Keberadaan
PSK semakin merata di Surabaya, bisa saja sewaktu-waktu mereka kembali pada
pekerjaan yang tidak bermoral tersebut ditempat yang baru dan menimbulkan
dampak negative bagi warga baru sekitarnya.
·
Tidak
hanya PSK saja yang kehilangan pekerjaan, namun banyak juga elemen-elemen
pencari rizki yang bergantung pada kehidupan yang berlangsung di Dolly sebagai
ladang pekerjaan, seperti ibu-ibu tukang cuci baju, tukang parker, tukang
becak, dan lain-lain kehilangan pekerjaan mereka.
Dari beberapa dampak
yang telah peneliti paparkan diatas dapat diketahui bahwa kebijakan politik
untuk menutup lokalisasi prostitusi Dolly bisa sepenuhnya berdampak baik
apabila ada tindak lanjut untuk mengganti pekerjaan para PSK maupun para
pekerja lainnya yang menggantungkan kehidupan malam dunia prostitusi Dolly demi
sebuah rupiah.
Jadi kebijkan politik
seharuanya tidak hanya sampai pada tahap penutupan saja, melainkan juga
menjamin pekerjaan pengganti bagi mereka yang kehilangan pekerjaan secara paksa
dan mendadak tersebut. Seharusnya juga walikota Surabaya sebagai penegak
kebijakan politik dalam hal penutupan lokalisasi prostitusi tersebut juga
menyediakan lahan pekerjaan baru bagi para PSK dan pekerja lainya demi tetap
mempertahankan tujuan awal untuk meminimalis kegiatan prostitusi di Surabaya,
agar mereka tidak merasa dirugikan dan tetap bisa bertahan hidup dengan
mendapat pekerjaan yang lebih wajar dan halal.
Selain
itu alangkah baiknya juga walikota Surabaya memberikan pelatihan keterampilan
tambahan guna membimbing mereka untuk mencari pekerjaan, memenuhi kebutuhan
psikis juga berupa siramana rohani agar mereka termotivasi untuk tetap bertahan
hidup dengan pekerjaan yang lain, berusaha memenuhi kebutuhan fisik berupa makanan,
pakaian dan tempat tinggal, serta memberikan informasi mengenai lapangan kerja
atau bahkan menyediakan lapangan pekerjaan.
Dengan
begitu usaha penutupan tidak akan sia-sia bahkan berdampak buruk apabila hal
yang tidak diinginkan tersebut merambat lebih luas keseluruh daerah Surabaya.
BAB IV
PENUTUPAN
A. Simpulan
Setelah penulis
menulis berbagai macam pandangan beserta alasan masing-masing mahasiswa
terhadap kebijakan politik walikota Surabaya dapat disimpulkan bahwa setelah
kebijakan tersebut terlaksana banyak sekali dampak yang timbul pasca penutupan
lokalisasi prostitusi Dolly tersebut, dibandingkan dengan dampak positif,
dampak negatifnya lebih banyak ditemukan. Meski ada dampak positif yang sangat
mendukung, namun tak menutup kemungkinan munculnya dampak negative, juga
mengundang kontroversi diantara pihak yang bersangkutan mengenai hal tersebut.
B. Saran
Melihat banyaknya pandangan yang berbeda dari
setiap lapisan masyarakat mengundang pro kontra, apalagi masalah yang terkait
merupakan hal yang menarik banyak perhatian, terciptalah juga berbagai dampak
yang dirasakan bagi pelaku subjek dan objek yang bersangkutan.
Mengenai kebijkan politik walikota Surabaya
dalam menutup lokalisasi prostitusi Dolly juga mengundang banyak pro kontra,
diantaranya sudah banyak disebutkan oleh penulis dalam laporan penelitiannya
ini.
Dari semua data dan hasil penelitian
ditemukan beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki, baik bagi warga maupun
pihak pemerintah. Beberapa saran yang diajukan antara lain sebagai berikut :
·
Bagi
masyarakat, untuk melakukan kebijakan politik ini tidak mudah, perlu adanya
keberanian dan juga tekad yang kuat untuk menutup lokalisasi prostitusi Dolly
tersebut, motif yang melatarbelakangi juga berdasarkan niat baik, untuk
melindungi anak-anak kecil dari perbuatan yang tidak bermoral, membebaskan para
PSK yang terpaksa bekerja seperti itu dengan alasan ekonomi dan lain-lain.
Setidaknya memberi dukungan dan bekerjasama untuk mewujudkan Surabaya sebagai
kota yang benar-benar green and clean, bukan hanya clean dari sampah makanan
ataupun lainnya, tapi juga terhindar dari sampah masyarakat.
·
Untuk
pihak pemerintah, lebih peka lagi dengan realita, kebijakan ini tidak berhenti
begitu saja hanya sampai pada usaha penutupan, tetapi juga menindaklanjuti
kehidupan berikutnya bagi para pekerja yang turut tergusur oleh penutupan
lokalisasi tersebut. Lebih memperhatikan pekerjaan warga sekitar yang
menggantungkan rizkinya pada kehidupan ditempat lokalisasi sebelumnya.
·
Untuk
pihak keamanan yang dibawah naungan pemerintah, melakukan pengamanan yang lebih
ketat lagi diberbgai daerah yang memungkinkan menjadi tempat pelarian para PSK
yang telah tergusur dari Dolly. Juga mengaktifkan pengamanan di dunia maya, yang
kini banyak ditemukan situs-situs jual PSK online beredar yang mudah dijangkau
dimana saja dan kapan saja.
·
Untuk
pemerintah, menyediakan lapangan kerja sebagai ganti pekerjaan para mantan PSK
yang menganggur tiba-tiba karena penutupan lokalisasi prostitusi tersebut.
Memberikan pelatihan keterampilan, agar mereka bisa diterima kerja ditempat
lain. Menyediakan solusi sebagai penawaran atas penutupan lokalisasi tersebut,
diantaranya yaitu berusaha memenuhi kebutuhan fisik berupa makanan, pakaian dan
tempat tinggal, serta memberikan informasi mengenai lapangan kerja. Memenuhi
kebutuhan psikis juga berupa siramana rohani agar mereka termotivasi untuk
tetap bertahan hidup dengan pekerjaan yang lain
·
Untuk
para warga sekitar ataupun masyarakat luas, tidak perlu mengucilkan para pantan
PSK, justru alangkah lebih baiknya memperlakukan para mantan PSK itu layaknya
manusia biasa. Karena sejatinya mereka
juga hanya sebatas manusia, tak lebih, hanya saja mereka berbeda nasib dengan
yang lainnya.
·
Untuk
para penegak hukum, lebih ketat lagi memberlakukan peratutan undang-undangnya.
Karena realita mengatakan mayoritas pengguna jasa PSK tersebut berasal dari
kalangan kelas menengah keatas yang notabenenya kebanyakan dari para
pejabat-pejabat Negara yang seharusnya telah faham betul dengan hukum Negara.
DAFTAR PUSTAKA
·
Buku
Kartono, Kartini. “Patologi Soial”, Jakarta,
Rajawali Pers, 2013
Mudjiono, Yoyon. Pengantar Ilmu Komunikasi, Surabaya,
Jaudar Pers, 2013.
Cangara, Hafied. “Komunikasi Politik konsep,
teori dan strategi”, Jakarta, Rajawal Pers, 2011.
Kamus Besar bahasa Indonesia edisi III.
Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
W.A. Bonger, De Maatschappelijke Oorzaken der
Prostitue, Verspreide Geschriften, dell II, Amsterdam, 1950, terjemahan B.
Simanjutak, Mimbar Demokrasi, Bandung, April 1967
Mulia, T.S.G. et. Al., Pelacuran, Ensiklopedia Indonesia, Penerbit
N.V.W. van Hoevc, Bandung
Sobur, Alex, “Analisis Teks Media; Suatu
Wacana Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Freming” Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2004.Eriyanto, “Analisis Wancan; Pengantar Analisis Teks
Media” Yogyakarta; LKiS, 2001.
·
Artikel
dan Berita
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Judul
Penelitian : Kebijakan Politik
Walikota Surabaya Terhadap penetupan Lokalisasi Prostitusi Dolly Di Mata
Mahasiswa
Kajian
Penelitian :Komunikasi Politik, Kebijakan, Politik, Prostitusi, Lokalisasi
Ø
Pertanyaan yang
diajukan kepada narasumber, diantaranya yaitu :
1.
Setujukan
anda dengan kebijakan politik walikota Surabaya dalam menutup lokasi prostitusi
Dolly ?
2.
Apa
alasannya ?
3.
Kira-kira
dampak apa yang akan terjadi setelah penutupan lokalisasi prostitusi Dolly
tersebut ?
4.
Lalu
solusi apakah yang tepat untuk menangani hal tersebut ?
Ø
Identitas narasumber
1)
Burhanuddin
Assyadilly
Beliau adalah
Mahasiswa jurusan Administrasi Negara semester 7 di UNSURI Surabaya. Beliau
bertempat tinggal di kawasan Rungkut Kidul Gg 5 Surabaya.
2)
Asmaul
Fauziyah
Beliau
adalah Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia semester 1 di
UNIPA Surabaya. Beliau bertempat tinggal di kawasan Wadung Asri.
3)
Zahrotun
Nisa’
Beliau
adalah Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab semester 1 di Universitas
Muhammadiyah. Beliau bertempat tinggal di kawasan Jl. Mojopahit 666B.
4)
Nur
Laily Faizah
Beliau
adalah Mahasiswa jurusan Sosiologi semester 7 di UNESA Surabaya. Beliau bertempat
tinggal di kawasan Rungkut Kidul Gg 5 Surabaya.
5)
Isti’adzah
Putri Sendari
Beliau adalah
Mahasiswa Ilmu Komunikasi semester 3 di UINSA Surabaya.
[1]
Yoyon mudjiono. Pengantar Ilmu Komunikasi, 2013. Jaudar Pers, Surabaya. Hal 6-7
[2] “Pengertian Politik secara lengkap dan
singkat”
http://presiden-indonesia2014.blogspot.com/2014/01/pengertian-politik-secara-lengkap-dan.html Tuesday-16-12-2014, at 08.20 AM
[3]
Prof. Hafied Cangara, M.S., Ph.D. “Komunikasi Politik konsep, teori dan
strategi” (Jakarta, Rajawal Pers, 2011), Hal. 29
[4]
“Kota Surabaya” http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surabaya,
Monday-08-12-2014, at 9:29 PM
[5] Bastian Widyatama, “Konsep dan Teori
kebijakan public” http://politik.kompasiana.com/2013/04/07/konsep-dan-teori-kebijakan-publik-543743.html Tuesday-16-12-2014,
at 10.32 AM
[6] “Profil lengkap bu Tri Rismaharini” http://id.wikipedia.org/wiki/Tri_Rismaharini
Wednesday-17-12-2014, at 06.09 PM
[7]
Ibid. Hal 27
[8]
Josua Sibarani “Kebijakan Kontroversial walikota Surabaya” http://politik.kompasiana.com/2014/02/13/akankah-risma-mundur-dari-wali-kota-surabaya-633079.html Wednesday-17-12-2014, at 06.33
PM
[9]
Prof. W.A. Bonger, De Maatschappelijke
Oorzaken der Prostitue, Verspreide Geschriften, dell II, Amsterdam, 1950.
(terjemahan B. Simanjutak, Mimbar Demokrasi, Bandung, April 1967).
[10]
Mulia, T.S.G. et. Al., Pelacuran,
Ensiklopedia Indonesia, Penerbit N.V.W. van Hoevc, Bandung, Hal. 161
[11]
Ibid, Hal. 245
[12]
Ibid, Hal. 251
[13]
Dr. Kartini Kartono, “Patologi Soial” (Jakarta, Rajawali Pers, 2013),, Hal. 254
[14]
Dr. Kartini Kartono, “Patologi Soial” (Jakarta, Rajawali Pers, 2013), Hal. 257
[15]
Ibid, Hal. 249
[16]
“Sejarah nama tempat Dolly” http://id.wikipedia.org/wiki/Dolly,_Surabaya,
Friday-12-12-2014, at 8:43 PM
[17]
Wikipedia “Pengertian Respon”
http://id.wikipedia.org/wiki/Respons
Wednesday-17-12-2014,
at 07.49 PM
[18] Pratama Sandra. “Pengertian respon” https://pratamasandra.wordpress.com/2011/05/11/pengertian-respon/
[19]
Guba dan Egon, “Paradigma komunikasi kritis” dalam http://www.scribd.com/doc/17187005/paradigma-komunikasi-kritis
Monday-16-04-2012 at 01:10am
[20]
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Wacana Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Freming. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Hal.48
[21]
Eriyanto, Analisis Wancan; Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta; LKiS,
2001), Hal. 337
[22]
Hasil wawancara dengan Zahrotun Nisa, Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab
semester 1 dari Universitas Muhammadiyah, yang dilakukan pada tanggal 10
desember 2014 pukul 10.00 WIB.
[23]
Hasil wawancara dengan Burhanuddin Asyadili, Mahasiswa jurusan Administrasi
Negara semester 7 di Universitas Sunan Giri (UNSURI) yang dilaksanakan pada
tanggal 9 Desember 2014 pukul 13.00 WIB.
[24]
Hasil wawancara dengan Burhanuddin Asyadili, Mahasiswa jurusan Administrasi
Negara semester 7 di Universitas Sunan Giri (UNSURI) yang dilaksanakan pada
tanggal 9 Desember 2014 pukul 13.00 WIB.
[25]
Hasil wawancara dengan Nur Laily faizah Mahasiswa jurusan sosiologi semester 7
di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) yang dilaksanakan pada tanggal 6
Desember 2014 pada pukul 20.00 WIB.
[26]
Hasil wawancara dengan Isti’adzah Putri Sendari Mahasiswa Ilmu Komunikasi
semester 3 di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya yang
dilaksanakan pada tanggal 19 Desember 2014 pukul 11.00 WIB.